Oleh: Valery
Kopong*
Malam semakin
larut dan keheningan perlahan turun mencium bumi Pasar Kemis-Tangerang-Banten.
Tepat pukul 21.30 malam, kami tiba di rumah sang pengacara itu, setelah lama
menunggunya karena baru tiba dari luar kota. Memang, kesibukan telah melingkupi
kehidupan pria berdarah Batak itu. Di selah-selah kesibukan dan boleh dikatakan
bahwa hampir tidak ada waktu senggang baginya, tetapi ia masih menyempatkan
diri menerima kami untuk
mewawancarainya.
“Selamat malam,” sapa Pak
Johnson Panjaitan S.H, kepada kami yang bertandang ke rumahnya. wawancara
kami dengannya, sepertinya berlangsung secara alamiah dan non formal. Kami
diterima dalam suasana kekeluargaan dan langsung diajak untuk mengambil bagian
pada santap malam. Sambil menikmati
hidangan yang telah disediakan keluarga Pak Johnson, obrolan pun terus
mengalir. Pertama-tama ia menyatakan keprihatinan terhadap situasi negara yang
sedang carut-marut. “Tidak lama lagi harga barang-barang kebutuhan mulai naik
disertai dengan kenaikan BBM. Memang, tahun 2011 merupakan tahun keprihatinan
bersama atas seluruh situasi yang terjadi di negeri ini,” keluh Pak Johnson.
Sering sekali wajah Pak Johnson
Panjaitan tampil di televisi. Tetapi siapakah dia yang begitu berani
menyuarakan keprihatinan masyarakat, terutama dalam bidang hukum? Pak Johnson
adalah seorang Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia. Sebagai seorang pengacara, ia
dikenal akrab dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan hukum.
Menjadi pengacara bukanlah cita-citanya. Cita-cita awal Pak Johnson adalah mau
menjadi Jaksa Agung. Tetapi kenyataan berbicara lain, ia bahkan lebih
membaurkan hidupnya dalam pusaran persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Selain sebagai Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia, ia juga sebagai penasihat
hukum “Indonesia Police wacth”
(Lembaga Pengamat Polri), sebuah LSM yang memantau seluruh gerak perjalanan
Polri sekaligus memberikan kritik terhadap lembaga yang mempunyai peran strategis
ini.