Wednesday, July 8, 2020

Tukang Becak: Melampaui Dunia Maya

Blasius Haryadi atau lebih dikenal Harry Van Yogya.  Begitulah pria ini dikenal,  tidak hanya di kalangan tukang becak yang mangkal di Malioboro-Yogyakarta tetapi juga di dunia maya. Profesinya sebagai tukang becak. Setiap hari, sambil menunggu penumpang ia berkesempatan untuk mengunjungi warnet yang ada di sekitarnya. Ia menyapa sahabat-sahabat dunia maya lewat facebook dan juga menulis tentang Yogyakarta, kota wisata bagi turis mancanegara dan diupload pada blog pribadinya.  Teman-temannya  di dunia maya kebanyakan orang-orang asing, turis mancanegara. Karena itu ia melihat peluang ini untuk mempromosikan Yogyakarta sekaligus menawarkan jasa becak pada turis-turis asing  yang hendak ke Yogyakarta.

Suatu ketika beberapa  turis berkebangsaan Inggris datang ke Yogyakarta, pertama-tama ia cari adalah Harry Van Yogya. Pertemanan di dunia maya menjadikan mereka semakin akrab di dunia nyata saat turis itu datang ke Yogyakarta. Kemampuan berbahasa asing, menjadikan si tukang becak ini (Harry Van Yogya) sanggup berkomunikasi dengan turis asing. Berkeliling Yogya bersama turis, Mas Harry bertindak sebagai pemandu (guide) dan becak-becak milik teman-temannya menjadi kendaraan favorit buat para turis.  Kelompok tukang becak merasa senang karena salah satu di antara mereka bisa berbahasa asing dan dengannya mereka berani menawarkan jasa kepada para turis.

Keterbatasan ekonomi yang dimiliki oleh Harry Van Yogya, mengantarnya untuk menggeluti kehidupan  tukang becak. Namun di sisi lain, ia memiliki kemampuan berbahasa asing (bahasa Inggris dan Belanda) dengan baik maka ia memanfaatkan media sosial untuk membuka sebuah “jalan baru” untuk memperluas jaringan dengan orang-orang asing yang sering mengunjungi Malioboro dan Yogyakarta secara keseluruhan. Harry Van Yogya, lulusan SMA De Brito-Yogyakarta ini memang dikenal memiliki kemampuan berbahasa asing secara baik. Sebagai orang yang memiliki cita-cita, tentu Mas Harry pasti memiliki cita-cita lain, namun apa daya pilihan terakhir sebagai tukang becak dijalani dengan tekun punuh syukur.

Kehadiran media sosial membuatnya melek teknologi dan membantunya untuk menawarkan jasa, sekaligus juga bisa menambah penghasilan. Ketekunannya di dunia tukang becak dan dipadu dengan media sosial,  seolah mengangkat martabat tukang becak ke atas permukaan hidup untuk mengatakan bahwa tukang becak juga bisa menembus dunia maya. Si tukang becak, barangkali memiliki “mimpi-mimpi” baru untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Meraih cita-cita yang diimpikan tidak harus memiliki modal uang yang banyak, tetapi hanya bermodal ketekunan, seperti Mas Harry yang berani melampaui keterbatasannya. Meminjam kata-kata Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa “kita tidak hanya berusaha untuk meraih mimpi tetapi berusaha untuk melampaui mimpi itu.” Mimpi tidak hanya menjadi bunga tidur tetapi menyadarkan kita juga setelah kita terjaga dari mimpi. Teruslah meraih mimpi itu karena hanya orang yang berani bermimpi, ia punya hak untuk menikmati masa depan yang lebih cerah.***(Valery Kopong)     

Yesus Mengutus Murid-Murid-Nya

Bacaan Injil pada hari ini mengisahkan tentang Yesus yang memanggil para murid dan perutusan-Nya. Mereka dipa
nggil oleh Yesus bukan dari kalangan politikus, cendekiawan, ahli taurat, maupun pemimpin, tetapi dari kalangan masyarakat biasa dengan aneka macam profesinya. Mereka dipanggil oleh Yesus bukan hanya cukup sebagai murid saja, tetapi dengan sebuah perutusan. Mereka dipanggil untuk mengusir roh-roh jahat dan melenyapkan segala penyakit serta segala kelemahan. Mereka juga diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah sudah dekat. Mereka pasti bangga sebagai murid Yesus dan bangga melaksanakan perutusan-Nya.

Sejak kita dibabtis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, maka saat itu kita diproklamirkan sebagai murid Yesus dan kita diutus untuk melanjutkan perutusan-Nya. Sebagai murid Yesus di jaman saat ini, kita hendaknya bangga sebagai murid-Nya dan hendaknya menjadi seorang murid Yesus yang militan dan jeli mewartakan Kerajaan Allah sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Kita hendaknya tidak cukup mengaku sebagai murid-Nya saja,tetapi kita hendaknya melakukan sesuatu yang baik dalam rupa-rupa pelayanan dan kesaksian hidup sesuai dengan bakat dan pekerjaan kita demi keselamatan banyak orang.
Yesus memanggil dan memilih kita sebagai  perpanjangan tangan-Nya untuk melanjutkan rencana dan karya keselamatan umat manusia. Siapkah Anda?   (Inspirasi:Matius 10:1-7,  08 Juli, Suhardi )

Tuesday, July 7, 2020

Berani Berbuat Baik


Dalam realitas kehidupan, terkadang kita mengalami bahwa perbuatan baik kita disalah-mengerti oleh orang lain. Perbuatan baik kita ditanggapi dengan nada negatif. Lalu, apakah kita akan berhenti berbuat baik?" Pasti tidak!  Itulah jawaban yang kita kehendaki.Yesus membutuhkan pribadi kita untuk mewujudkan cinta kasih dan perbuatan baik-Nya demi keselamatan sesama.

Pada hari ini kita mendengarkan bacaan Injil yang menceritakan perbuatan baik dan kasih Yesus untuk menyembuhkan orang sakit bisu yang kerasukan setan.Tetapi
,perbuatan baik Yesus itu ditanggapi negatif oleh orang Farisi. Mereka mengatakan bahwa Yesus menyembuhkan orang sakit bisu itu dengan kuasa penghulu setan.

 Orang yang membenci orang  lain biasanya hatinya tertutup terhadap perbuatan baik dari orang yang dibenci itu. Orang Farisi tertutup hatinya terhadap cinta kasih dan perbuatan baik Yesus. Namun demikian,Yesus tetap berkeliling dari desa dan kota untuk melakukan kasih dan perbuatan baik serta mewartakan Kerajaan Allah. Sekarang,Yesus membutuhkan kita untuk melanjutkan kasih dan perbuatan baik-Nya kepada sesama kita. Yesus membutuhkan diri kita, karena sedikit orang  yang bersedia menanggapi panggilan Yesus untuk melanjutkan misi-Nya itu.

Marilah kita katakan,  "Never Give  Up " untuk berbuat baik dan cinta kasih, karena Yesus sangat membutuhkan diri kita untuk melanjutkan misi-Nya menyelamatkan banyak orang.
( inspirasi:Matius 9:32-38, 07 Juli,Suhardi )

Friday, July 3, 2020

Mementingkan Tuhan Dalam Hidup

Beberapa tahun lalu, ketika masih berkecimpung di gereja untuk mengelola sebuah media cetak, redaksi sempat mewawancarai seorang koster yang hidupnya sederhana. Sehari-hari ia menyiapkan peralatan misa untuk digunakan oleh imam dalam mempersembahkan Ekaristi. Di samping itu juga ia  membersihkan gereja dan area seputar gereja. Pekerjaan sebagai koster ia lakoni dengan cinta penuh tulus. Karena baginya melayani Tuhan dengan mempersiapkan seluruh keperluan yang digunakan dalam perayaan Ekaristi merupakan suatu nilai lebih di hadapan Tuhan.

Namun pengorbanan tulus seorang koster ini belum tentu diimbangi dengan kehidupan ekonomi yang baik dan mapan. Sejak jadi stasi, koster ini terus menghidupi gereja dengan berbekal kepercayaan dari seorang romo berkebangsaan Jerman. Namun sejak kematian romo yang mempercayakan untuk mengurusi stasi ini, ia merasa kehilangan. Namun hari demi hari dilakoni dengan tulus terutama melayani Tuhan dengan menempatkan diri sebagai seorang koster.

Sejak pergantian romo, pada saat yang sama, perhatiannya juga sedikit berbeda, terutama dalam kaitan dengan finansial. Ketika gereja itu beralih status menjadi sebuah paroki maka pada saat yang sama terjadi pembenahan secara menyeluruh. Koster ini dikasih honor yang terbilang sedikit. Walaupun honorarium ini terbilang sedikit tapi lumayan untuk mencukupi satu orang ketika hidup di kota-kota besar. Tetapi menjadi persoalan adalah bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya dengan mengandalkan uang itu? Pertanyaan ini terus menghantuinya ketika melakoni pekerjaan di seputar altar, terutama menyiapkan peralatan misa.

Memang, “mamon” selalu memberikan rasa gelisah pada setiap orang. Mamon yang cukup bisa memberikan ketenangan hidup tetapi jika mamon itu berkurang maka pikiran setiap orang yang menggunakan mamon itu pun semakin gelisah. Hal yang sama juga dialami oleh koster itu. Suatu malam ia merenung di dalam gereja dan pada akhirnya mengambil sebuah keputusan untuk bekerja di luar gereja agar  kebutuhan hidup bisa tercukupi. Baginya, gereja hanya memberikan ketenangan hidup secara batiniah tetapi tidak memberikan kemapanan hidup secara finansial.

Keputusannya sudah bulat dan tekadnya semakin teguh untuk segera mengeksekusi keputusan itu. Koster itu mencoba untuk melamar pekerjaan di luar. Hampir enam bulan ia mencari pekerjaan melalui sahabat / kenalan dan juga melamar. Namun perjuangannya sia-sia belaka karena semakin ia gencar melakukan pencarian pekerjaan tetapi pada saat yang sama ia menemukan jalan buntu. Ia kecewa terhadap Tuhan. Ia lelah di hadapan-Nya.

Dalam suasana kecewa dan dibalut dengan pikiran yang carut-marut, ia kembali bersimpuh pada Tuhan dalam doa-doa pribadi. Dia masuk ke dalam gereja, tempat ia melayani setiap hari, ia mulai memanjatkan doa agar Tuhan memberikan jalan terbaik baginya. Dalam doa itu, ia pada akhirnya menemukan sebuah gagasan baru. Karena di luar gereja ia tidak pernah mendapatkan pekerjaan maka ia memutuskan untuk tetap bekerja sebagai koster. Namun untuk mengimbangi kehidupan ekonomi, ia mulai menghimpun beberapa orang tukang batu. Team tukang batu yang dibentuknya merupakan wadah baginya untuk bisa bekerja membangun rumah-rumah warga dan koster ini berperan sebagai pemborong.

Sambil bekerja sebagai koster, ia mencoba mencari rumah-rumah yang hendak dibangun dan menawarkan tukang-tukangnya untuk membangun rumah itu. Ternyata, orderan semakin banyak, bahkan ia kewalahan melayani permintaan warga untuk mengerjakan rumah-rumah.

Pesan penting dari pengalaman koster bahwa ketika kita bekerja dan mementingkan Tuhan dalam hidup maka semuanya akan terlaksana secara baik. Atau meminjam bahasa kitab suci, “carilah dahulu kerajaan Allah maka semua akan mengikutinya.” Pengalaman iman yang sederhana ini mengajarkan kita bahwa melayani Tuhan di seputar altar merupakan hal pertama yang harus dilakoni. Karena itu setelahnya Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih pada kita. Pengalaman iman dari sang koster juga menjadi pengalaman berharga buat kita dalam menjalani hidup ini. *** (Valery Kopong)    

 

Bersikap Kritis dan Selektif

Dari kisah Injil pada hari ini,mungkin kita dapat merefleksikan bahwa Tomas adalah salah satu murid Yesus yang selektif dan kritis terhadap berita yang dia terima. Sikap selektif dan kritis itu untuk menunjukkan kebenaran berita itu. Hal itu nampak ketika dia mendengar berita tentang kebangkitan Yesus, dia tidak langsung percaya. Dia tidak menerima begitu saja berita itu. Dia harus menunjukkan kebenaran berita itu. Dia berkata,"Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya, dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya,aku sama sekali tidak akan percaya." Dan ketika Yesus berdiri di depan dirinya sambil menunjukkan tangan dan lambung-Nya,barulah dia percaya bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati. Yesus bersabda,"Karena telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat,namun percaya."

Sikap kritis dan selektif Tomas ini dapat kita teladani,karena dalam dunia saat ini,kita begitu mudah mendapat atau mendengar informasi dari orang lain. Kita harus bersikap kritis dan selektif terhadap berita itu, apakah berita itu hanya sebuah hoax atau sebuah fakta.Kita ngak boleh menerima sebuah gosip, bisa jadi itu hanya sebuah fitnah untuk menjatuhkan nama baik orang lain. Dengan kata lain, kebenaran berita itu harus dicari kebenarannya dan diketahui bahwa berita itu benar adanya, barulah kita mempercayai kebenaran berita itu.

( inspirasi:Yohanes 20:24-29, 03 Juli,Suhardi )

Thursday, July 2, 2020

Melampaui Cinta

Seorang perempuan cacat tanpa tangan, hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh seorang laki-laki yang adalah anak dari seorang pejabat. Pernikahan mereka direstui oleh kedua orang tua laki-laki. Pesta pernikahan terlaksana begitu meriah. Para undangan yang datang, umumnya merasa terharu sekaligus bangga atas keputusan mempelai laki-laki.  Para undangan terharu melihat kondisi mempelai wanita yang tidak memiliki kedua tangannya.

Wanita ini hidup di panti asuhan karena sejak dilahirkan oleh ibunya di rumah sakit dan ternyata kondisi tubuhnya yang cacat, terutama kedua tangan, membuat kedua orang tua meninggalkan bayi itu. Bayi itu kemudian dititipkan pada salah satu panti asuhan di Yogyakarta. Ia dididik dan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi, perempuan ini tidak mau mencari pekerjaan lain tetapi memutuskan untuk kembali bekerja pada panti asuhan yang telah membesarkannya.

Pernikahan mereka merupakan sebuah keputusan yang baik dan unik karena pasti melewati proses yang panjang. Proses itu memberikan sebuah pencerahan baru untuk bagaimana memahami dan menerima orang lain sebagai bagian penting dalam hidup. Mencintai orang yang cacat dan memutuskan untuk menikahinya adalah upaya menggempur ego dan berani keluar dari diri untuk menerima orang lain dengan apa adanya. Pernikahan mereka merupakan sebuah cara untuk mengingatkan pada publik bahwa orang-orang cacat, karena cinta  juga mencintai orang-orang normal secara fisik.

Cinta itu melampaui segala-galanya. Karena cinta maka si lelaki itu berani memutuskan untuk menikahi perempuan cacat itu. Yang membuat pernikahan itu sedikit bergengsi karena laki-laki (mempelai laki-laki) berasal dari golongan kaya dan anak dari orang terpandang. Keputusannya didukung juga oleh keluarganya, terutama ayanya  yang memiliki jabatan penting. Cinta mengalahkan segala-galanya, termasuk jabatan. Cinta menjadi daya tarik dan masuk ke dalam seluruh lini kehidupan.

Pernikahan mereka merupakan bagian penting untuk menerima diri dan orang lain. Cinta itu bisa hidup dan bersemi ketika kedua belah pihak bisa menerima dan menghidupkannya. Tanpa sikap penerimaan yang baik maka cinta tidak bisa bertumbuh secara baik. Cinta itu tumbuh di mana ada lahan subur, tempat berseminya benih-benih cinta itu. “Cinta bukanlah untuk mengharapkan pemberian. Cinta adalah tentang keanggunan hati untuk memberi. “Tidak sedikit orang baru belajar mencintai dengan lembut dan mesra hanya setelah kekasih mereka mencintai orang lain.” ***(Valery Kopong)