Beberapa tahun lalu, ketika masih berkecimpung di gereja untuk mengelola sebuah media cetak, redaksi sempat mewawancarai seorang koster yang hidupnya sederhana. Sehari-hari ia menyiapkan peralatan misa untuk digunakan oleh imam dalam mempersembahkan Ekaristi. Di samping itu juga ia membersihkan gereja dan area seputar gereja. Pekerjaan sebagai koster ia lakoni dengan cinta penuh tulus. Karena baginya melayani Tuhan dengan mempersiapkan seluruh keperluan yang digunakan dalam perayaan Ekaristi merupakan suatu nilai lebih di hadapan Tuhan.
Namun pengorbanan tulus seorang koster ini belum tentu diimbangi dengan kehidupan ekonomi yang baik dan mapan. Sejak jadi stasi, koster ini terus menghidupi gereja dengan berbekal kepercayaan dari seorang romo berkebangsaan Jerman. Namun sejak kematian romo yang mempercayakan untuk mengurusi stasi ini, ia merasa kehilangan. Namun hari demi hari dilakoni dengan tulus terutama melayani Tuhan dengan menempatkan diri sebagai seorang koster.
Sejak pergantian romo, pada saat yang sama, perhatiannya juga sedikit berbeda, terutama dalam kaitan dengan finansial. Ketika gereja itu beralih status menjadi sebuah paroki maka pada saat yang sama terjadi pembenahan secara menyeluruh. Koster ini dikasih honor yang terbilang sedikit. Walaupun honorarium ini terbilang sedikit tapi lumayan untuk mencukupi satu orang ketika hidup di kota-kota besar. Tetapi menjadi persoalan adalah bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya dengan mengandalkan uang itu? Pertanyaan ini terus menghantuinya ketika melakoni pekerjaan di seputar altar, terutama menyiapkan peralatan misa.
Memang, “mamon” selalu memberikan rasa gelisah pada setiap orang. Mamon yang cukup bisa memberikan ketenangan hidup tetapi jika mamon itu berkurang maka pikiran setiap orang yang menggunakan mamon itu pun semakin gelisah. Hal yang sama juga dialami oleh koster itu. Suatu malam ia merenung di dalam gereja dan pada akhirnya mengambil sebuah keputusan untuk bekerja di luar gereja agar kebutuhan hidup bisa tercukupi. Baginya, gereja hanya memberikan ketenangan hidup secara batiniah tetapi tidak memberikan kemapanan hidup secara finansial.
Keputusannya sudah bulat dan tekadnya semakin teguh untuk segera mengeksekusi keputusan itu. Koster itu mencoba untuk melamar pekerjaan di luar. Hampir enam bulan ia mencari pekerjaan melalui sahabat / kenalan dan juga melamar. Namun perjuangannya sia-sia belaka karena semakin ia gencar melakukan pencarian pekerjaan tetapi pada saat yang sama ia menemukan jalan buntu. Ia kecewa terhadap Tuhan. Ia lelah di hadapan-Nya.
Dalam suasana kecewa dan dibalut dengan pikiran yang carut-marut, ia kembali bersimpuh pada Tuhan dalam doa-doa pribadi. Dia masuk ke dalam gereja, tempat ia melayani setiap hari, ia mulai memanjatkan doa agar Tuhan memberikan jalan terbaik baginya. Dalam doa itu, ia pada akhirnya menemukan sebuah gagasan baru. Karena di luar gereja ia tidak pernah mendapatkan pekerjaan maka ia memutuskan untuk tetap bekerja sebagai koster. Namun untuk mengimbangi kehidupan ekonomi, ia mulai menghimpun beberapa orang tukang batu. Team tukang batu yang dibentuknya merupakan wadah baginya untuk bisa bekerja membangun rumah-rumah warga dan koster ini berperan sebagai pemborong.
Sambil bekerja sebagai koster, ia mencoba mencari rumah-rumah yang hendak dibangun dan menawarkan tukang-tukangnya untuk membangun rumah itu. Ternyata, orderan semakin banyak, bahkan ia kewalahan melayani permintaan warga untuk mengerjakan rumah-rumah.
Pesan penting dari pengalaman koster bahwa ketika kita bekerja dan mementingkan Tuhan dalam hidup maka semuanya akan terlaksana secara baik. Atau meminjam bahasa kitab suci, “carilah dahulu kerajaan Allah maka semua akan mengikutinya.” Pengalaman iman yang sederhana ini mengajarkan kita bahwa melayani Tuhan di seputar altar merupakan hal pertama yang harus dilakoni. Karena itu setelahnya Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih pada kita. Pengalaman iman dari sang koster juga menjadi pengalaman berharga buat kita dalam menjalani hidup ini. *** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment