Tuesday, June 6, 2017

Membangun “Trust Politik”



(Catatan Untuk Calon Gubernur NTT)

Oleh: Valery Kopong

Membaca peta perpolitikkan Nusa Tenggara Timur, tidak lebih sebagai perhelatan para elite politik dan masyarakat sekedar sebagai penonton pasif. Situasi ini agak kontradiktif dengan proses Pilkada DKI Jakarta di mana partisipasi publik sangat terasa karena warganya telah paham tentang politik dan lebih dari itu ingin mempertahankan gubernur yang telah berhasil mengedepankan program pro-rakyat. Memang bagi masyarakat awam, berbicara tentang politik itu merupakan sesuatu yang menjenuhkan karena masyarakat telah memprediksi “goal kekuasaan” yang ingin direbut.   Itu berarti bahwa proses pertarungan politik didesain sebagai upaya untuk meraih kekuasaan dengan cara apapun  dan cara ini telah mengangkangi makna esensial dari politik itu sendiri. Apa itu politik? Pertanyaan ini sederhana, tetapi memiliki kedalaman makna. Ketika makna politik ditempatkan dalam konteks perhelatan pemilihan kepala daerah maka yang muncul dalam ingatan publik bahwa politik itu tidak lain adalah jurus jitu membangun strategi dan mematahkan lawan. Namun di mata orang kampung, politik itu sama dengan seni menipu orang lain.
Politik memiliki arti yang mulia, yakni “seni menata sebuah kehidupan bersama.” Kehidupan bersama perlu ditata oleh yang berwewenang  dan ditangan pejabat publik ini, kehidupan bersama didesain mengikuti sang arsitek (pejabat) lewat tata aturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau politik itu adalah seni maka ada kolaborasi pelbagai pihak untuk diajak menata kehidupan bersama itu. Memang, selain sebagai seni, politik juga merupakan sebuah permainan yang seru, bahkan melelahkan bagi para petarung. Sang politisi dan juga kandidat pejabat publik yang bertarung meraih kursi kekuasaan, mestinya melihat bahwa “setiap detik adalah final bagi kehidupan, “demikian Penyair Frans Kafka. Karena pertarungan politik adalah final  maka kandidat pejabat publik yang bertarung untuk meraih suara rakyat, mesti menawarkan program-program produktif dan berpihak pada kepentingan publik agar masyarakat secara final menentukan sikap pada pilihan itu. 
NTT sepertinya sedang mencari seorang figur pemimpin yang bisa digadang pada perhelatan demokrasi Pilgub mendatang.  Sosok pemimpin  yang bekerja  keras  dan tranparan dalam penggunaan  anggaran mestinya menjadi  catatan penting  partai politik pengusung. Tetapi proses mencari figur yang  akan menjadi calon gubernur, merupakan pencarian  yang sulit untuk menemukan kriteria pemimpin yang ideal untuk NTT satu. Terhadap kesulitan  mencari figur  ini menyisahkan pertanyaan penting untuk kita. Mengapa  NTT sulit menemukan figur  pemimpin yang  ideal, pekerja keras dan pernah berhasil memimpin kabupaten atau kota?   Memilih pemimpin pada era reformasi dan keterbukaan digital ini tidak hanya mengandalkan pencitraan diri  dan partai pengusung tetapi yang lebih  penting adalah “apa yang pernah dilakukan dan berhasil.”
Kinerja kerja seorang figur  mestinya menjadi landasan utama dan perlu menjadi pertimbangan karena mengingat bahwa NTT  merupakan salah satu provinsi terkebelakang dari sisi kemajuan infrastruktur dan rentan dari ketahanan ekonomi. Calon gubernur yang akan diusung oleh partai, sudah waktunya memikirkan persoalan besar yang sedang dihadapi oleh masyarakat NTT umumnya. Perlu dikedepankan komitmen membangun NTT secara holistik dan disini calon gubernur mestinya mengusung program-program brilian pada saat kampanye. Program-program yang diangkat ke permukaan kampanye nanti adalah program baru yang belum digarap oleh gubernur sebelumnya.
Tentang kinerja seorang pemimpin, banyak hal yang harus kita belajar dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Selama sepuluh tahun menjadi partai oposisi, PDIP tidak hanya memberikan kritik pada pemerintahan SBY  tetapi secara internal membenah diri melalui kinerja para pemimpinya yang sedang menjabat sebagai gubernur, wali kota dan bupati.  Program-program pro-rakyat menjadi target para pemimpin PDIP  di bawah asuhan tangan dingin  Megawati. Menyiapkan kader partai tidak hanya berkoar  tentang politik tetapi berusaha bekerja dalam sunyi dan pada waktunya masyarakat terbuka matanya tentang apa yang dilakukan oleh pemimpin yang sudah berhasil. Membangun “trust politik” antara masyarakat dengan partai, tidak hanya dengan pencitraan diri tetapi lebih dari itu “trust  politik” dibangun pada landasan kinerja yang baik.
Karena itu tidak berlebihan bahwa membangun tatanan politik saat ini berarti membangun “kesadaran manusia” NTT untuk cerdas memberikan kontribusi pada partai politik  karena memberikan informasi tentang segala persoalan yang sedang terjadi bisa menjadi masukan berharga bagi partai yang menggodoknya menjadi  sebuah program.  Hanya menjadi persoalan adalah dari mana kita memulai membangun NTT yang begitu luas dan disekat oleh lautan. Titik fokus pertama adalah menerjemahkan gagasan “tol laut” yang diusung oleh Jokowi karena hanya dengan “tol laut” bisa membantu menghubungkan satu pulau dengan pulau lain. Dampak lain yang timbul dari  “tol laut”  adalah regulasi peredaran bahan kebutuhan pokok menjadi lebih lancar dan bisa menekan biaya yang murah.
Persoalan kedua adalah masalah ekonomi yang tak kunjung berakhir. Mestinya para calon pemimpin harus membuat pemetaan karakter pada  masing-masing wilayah. Dengan membuat pemetaan ini maka seorang pemimpin mudah memberikan perhatian pada wilayah dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan. Wilayah mana yang cocok menjadi area pertanian, maka perlu pendampingan ekstra dalam bidang pertanian. Demikian juga ada wilayah yang cocok untuk beternak sapi, maka perlu pendampingan khusus berkaitan dengan peternakan. NTT merupakan penyuplai sapi untuk beberapa wilayah, salah satunya adalah DKI Jakarta maka peternakan sapi menjadi ciri utama NTT, khusunya wilayah Timor dan Sumba yang penuh dengan sabana.
Dengan melihat kondisi masing-masing wilayah maka secara tidak langsung membuka mata seorang calon gubernur untuk melihat dan apa yang mau dilakukannya setelah menjadi pemimpin. Perhelatan demokrasi pada Pilgub NTT mendatang, tidak hanya menyisahkan gema pada saat kampanye tetapi harus ditunjukkan lewat kinerja. Karena itu calon gubernur yang diusung memiliki beban tersendiri apabila tidak memperlihatkan kinerja sebelumnya. Rekam jejak calon gubernur menjadi sebuah catatan penting bagi warga NTT sebelum menentukan pilihannya. Memilih calon gubernur NTT berarti memilih seorang pekerja yang menawarkan jalan sejahtera bagi masyarakat.***  

No comments: