Monday, June 19, 2017

TOLERANSI: SEBUAH PARADOKS ?


Oleh: Valery Kopong

Ketika  mencermati gerak  perjalanan sejarah bangsa ini terkesan ada kemunduran yang  luar biasa menyangkut toleransi antarmasyarakat di tengah pluralisme ini. Saat ketika orang mengkotak-kotakan  kelompok di negeri ini, kesan publik yang muncul yakni orang baru sadar bahwa bangsa Indonesia  berada pada nuansa kemajemukan.  Kemajemukan dilihat sebagai sesuatu yang “terberi” dan bukannya sebuah permintaan. Itu berarti bahwa kemajukan yang dimiliki oleh bangsa ini merupakan pemberian Allah dan ini menjadi kekayaan Indonesia yang luar biasa.
            Toleransi menjadi sesuatu yang “mewah”  di Indonesia  karena nilai-nilai toleransi sedang tergerus oleh pemahaman  yang  sempit  oleh begitu banyak kelompok. Bahkan ada pejabat negara pun masih terjebak dalam cara berpikir yang sempit tentang  toleransi dan kemajemukan. Memang, antara toleransi dan kemajemukan adalah dua hal yang saling ber singgungan dan berpengaruh terhadap satu dengan yang lain. Ketika orang mengabaikan dan bahkan menutup mata terhadap kemajemukan bangsa ini maka pada saat yang sama, nilai toleransi mulai hilang. Kemajemukan ini dilihat sebagai “perekat utama” karena ketika kita memandang miring tentang orang lain dalam konteks kemajemukan bangsa ini maka pada saat yang sama, kita sedang meruntuhkan sebuah kenyataan sejarah bangsa ini.
           
Toleransi seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia? Memang pertanyaan ini sederhana tetapi sulit dijawab oleh siapapun.  Secara sederhana, toleransi dimengerti sebagai sikap saling menghargai antarkelompok maupun antarindividu. Yang mau dihargai dalam proses toleransi adalah perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Keunikan dari masing-masing kelompok maupun individu merupakan sebuah ciri yang melekat dan bahkan merupakan hak asasi yang mesti dihargai oleh siapapun. Nilai-nilai yang selama ini dibangun untuk menghargai orang lain, perlahan mengalami kemunduran karena kebanyakan  orang, hanya bisa menghargai orang lain apabila seagama dengannya. Konsep ini sangat berbahaya dan tidak pas bila diterapkan di Indonesia sebagai negeri yang memiliki kemajemukan.
            Apa yang harus kita lakukan untuk  meredam situasi intoleran di Indonesia? Cara yang ditempuh adalah  menghilangkan dikotomi minoritas dan mayoritas. Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhkan dengan dua istilah penting, yakni minoritas dan mayoritas yang mengarah pada soal kepemelukan agama. Istilah minoritas lebih tertuju pada kelompok agama non muslim sedangkan istilah mayoritas ditujukan kepada mereka yang memeluk agama Islam. Seolah-seolah pemakaian dua istilah ini memberikan “konsep pertarungan” yang sengit dan opini publik yang terbentuk adalah kemenangan biasanya dikantongi oleh mereka yang mayoritas. Dua istilah ini semakin absurd maknanya ketika digiring masuk ke dalam pasar politik.   Sadar atau tidak bahwa kita semua terseret pada pola pemahaman yang sempit ini. Untuk meredam persoalan intoleransi maka perlu adanya minimalisasi penggunaan dua istilah di atas agar kita tidak terjebak di dalam kerangka  berpikir yang sempit.
            Upaya lain adalah perlu adanya perlindungan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Konsep ini sudah lama diusung oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur yang selalu belajar menghargai orang lain, terutama mereka yang beragama lain. NTT dilihat sebagai “laboratorium toleransi” untuk Indonesia karena banyak peristiwa penting yang mengusung perbedaan yang menyatukan itu. Tetapi upaya menggemakan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat umumnya dan “dunia maya” khususnya,  bermula dari kaum agamawan dan para pejabat pemerintah. Kaum agamawan selalu menebarkan nilai-nilai kebaikan tanpa harus berdemonstrasi. Mimbar agama bukan lagi menjadi tempat membaca kitab suci saja tetapi lebih dari itu menerjemahkan pesan-pesan Injil, kabar gembira  kepada orang lain. Ini merupakan tugas profetis para agamawan yang tidak kenal lelah memproklamirkan tentang kebaikan dan kebenaran.
Lalu apa tugas pejabat pemerintah? Tugasnya menyerukan kebaikan kepada masyarakat dan mengambil kebijakan yang  tidak diskriminatif. Tetapi kenyataan ini masih sulit dilakukan oleh pejabat negara. Ada pejabat yang menulis tentang “menenun kemajemukan” tetapi pada saat yang sama, karena tuntutan politik dan kekuasaan harus merobek kebhinekaan itu demi kursi kekuasaan. Atau pejabat lain yang memprovokasi masyarakat dengan isu SARA tetapi pada saat yang sama, ia mewartakan toleransi di Indonesia di hadapan dunia internasional. Toleransi, karenanya masih paradoks  dengan kenyataan di Indonesia. Mudah-mudahan NTT menebarkan toleransi sejati untuk Indonesia.***      
           

0 komentar: