Oleh: Valery Kopong
Ketika mencermati gerak perjalanan sejarah bangsa ini terkesan ada
kemunduran yang luar biasa menyangkut
toleransi antarmasyarakat di tengah pluralisme ini. Saat ketika orang
mengkotak-kotakan kelompok di negeri
ini, kesan publik yang muncul yakni orang baru sadar bahwa bangsa
Indonesia berada pada nuansa
kemajemukan. Kemajemukan dilihat sebagai
sesuatu yang “terberi” dan bukannya sebuah permintaan. Itu berarti bahwa
kemajukan yang dimiliki oleh bangsa ini merupakan pemberian Allah dan ini
menjadi kekayaan Indonesia yang luar biasa.
Toleransi
menjadi sesuatu yang “mewah” di
Indonesia karena nilai-nilai toleransi
sedang tergerus oleh pemahaman yang sempit
oleh begitu banyak kelompok. Bahkan ada pejabat negara pun masih terjebak
dalam cara berpikir yang sempit tentang
toleransi dan kemajemukan. Memang, antara toleransi dan kemajemukan
adalah dua hal yang saling ber singgungan dan berpengaruh terhadap satu dengan
yang lain. Ketika orang mengabaikan dan bahkan menutup mata terhadap
kemajemukan bangsa ini maka pada saat yang sama, nilai toleransi mulai hilang.
Kemajemukan ini dilihat sebagai “perekat utama” karena ketika kita memandang
miring tentang orang lain dalam konteks kemajemukan bangsa ini maka pada saat
yang sama, kita sedang meruntuhkan sebuah kenyataan sejarah bangsa ini.
Apa
yang harus kita lakukan untuk meredam
situasi intoleran di Indonesia? Cara yang ditempuh adalah menghilangkan dikotomi minoritas dan mayoritas.
Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhkan dengan dua istilah penting, yakni
minoritas dan mayoritas yang mengarah pada soal kepemelukan agama. Istilah
minoritas lebih tertuju pada kelompok agama non muslim sedangkan istilah
mayoritas ditujukan kepada mereka yang memeluk agama Islam. Seolah-seolah
pemakaian dua istilah ini memberikan “konsep pertarungan” yang sengit dan opini
publik yang terbentuk adalah kemenangan biasanya dikantongi oleh mereka yang
mayoritas. Dua istilah ini semakin absurd maknanya ketika digiring masuk ke
dalam pasar politik. Sadar atau tidak bahwa kita semua terseret
pada pola pemahaman yang sempit ini. Untuk meredam persoalan intoleransi maka
perlu adanya minimalisasi penggunaan dua istilah di atas agar kita tidak
terjebak di dalam kerangka berpikir yang
sempit.
Upaya
lain adalah perlu adanya perlindungan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas. Konsep ini sudah lama diusung oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur
yang selalu belajar menghargai orang lain, terutama mereka yang beragama lain. NTT
dilihat sebagai “laboratorium toleransi” untuk Indonesia karena banyak
peristiwa penting yang mengusung perbedaan yang menyatukan itu. Tetapi upaya
menggemakan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat umumnya dan “dunia maya”
khususnya, bermula dari kaum agamawan
dan para pejabat pemerintah. Kaum agamawan selalu menebarkan nilai-nilai
kebaikan tanpa harus berdemonstrasi. Mimbar agama bukan lagi menjadi tempat
membaca kitab suci saja tetapi lebih dari itu menerjemahkan pesan-pesan Injil,
kabar gembira kepada orang lain. Ini
merupakan tugas profetis para agamawan yang tidak kenal lelah memproklamirkan
tentang kebaikan dan kebenaran.
Lalu apa tugas pejabat
pemerintah? Tugasnya menyerukan kebaikan kepada masyarakat dan mengambil kebijakan
yang tidak diskriminatif. Tetapi
kenyataan ini masih sulit dilakukan oleh pejabat negara. Ada pejabat yang
menulis tentang “menenun kemajemukan” tetapi pada saat yang sama, karena
tuntutan politik dan kekuasaan harus merobek kebhinekaan itu demi kursi
kekuasaan. Atau pejabat lain yang memprovokasi masyarakat dengan isu SARA
tetapi pada saat yang sama, ia mewartakan toleransi di Indonesia di hadapan dunia
internasional. Toleransi, karenanya masih paradoks dengan kenyataan di Indonesia. Mudah-mudahan
NTT menebarkan toleransi sejati untuk Indonesia.***
0 komentar:
Post a Comment