(Catatan
Untuk Calon Gubernur NTT)
Oleh:
Valery Kopong
Membaca peta perpolitikkan Nusa Tenggara
Timur, tidak lebih sebagai perhelatan para elite politik dan masyarakat sekedar
sebagai penonton pasif. Situasi ini agak kontradiktif dengan proses Pilkada DKI
Jakarta di mana partisipasi publik sangat terasa karena warganya telah paham
tentang politik dan lebih dari itu ingin mempertahankan gubernur yang telah
berhasil mengedepankan program pro-rakyat. Memang bagi masyarakat awam,
berbicara tentang politik itu merupakan sesuatu yang menjenuhkan karena
masyarakat telah memprediksi “goal kekuasaan” yang ingin direbut. Itu berarti bahwa proses pertarungan politik
didesain sebagai upaya untuk meraih kekuasaan dengan cara apapun dan cara ini telah mengangkangi makna
esensial dari politik itu sendiri. Apa itu politik? Pertanyaan ini sederhana,
tetapi memiliki kedalaman makna. Ketika makna politik ditempatkan dalam konteks
perhelatan pemilihan kepala daerah maka yang muncul dalam ingatan publik bahwa
politik itu tidak lain adalah jurus jitu membangun strategi dan mematahkan
lawan. Namun di mata orang kampung, politik itu sama dengan seni menipu orang
lain.
NTT sepertinya sedang mencari seorang
figur pemimpin yang bisa digadang pada perhelatan demokrasi Pilgub
mendatang. Sosok pemimpin yang bekerja
keras dan tranparan dalam
penggunaan anggaran mestinya
menjadi catatan penting partai politik pengusung. Tetapi proses
mencari figur yang akan menjadi calon
gubernur, merupakan pencarian yang sulit
untuk menemukan kriteria pemimpin yang ideal untuk NTT satu. Terhadap
kesulitan mencari figur ini menyisahkan pertanyaan penting untuk
kita. Mengapa NTT sulit menemukan figur pemimpin yang
ideal, pekerja keras dan pernah berhasil memimpin kabupaten atau
kota? Memilih pemimpin pada era
reformasi dan keterbukaan digital ini tidak hanya mengandalkan pencitraan
diri dan partai pengusung tetapi yang
lebih penting adalah “apa yang pernah
dilakukan dan berhasil.”
Kinerja kerja seorang figur mestinya menjadi landasan utama dan perlu
menjadi pertimbangan karena mengingat bahwa NTT
merupakan salah satu provinsi terkebelakang dari sisi kemajuan
infrastruktur dan rentan dari ketahanan ekonomi. Calon gubernur yang akan
diusung oleh partai, sudah waktunya memikirkan persoalan besar yang sedang
dihadapi oleh masyarakat NTT umumnya. Perlu dikedepankan komitmen membangun NTT
secara holistik dan disini calon gubernur mestinya mengusung program-program
brilian pada saat kampanye. Program-program yang diangkat ke permukaan kampanye
nanti adalah program baru yang belum digarap oleh gubernur sebelumnya.
Tentang kinerja seorang pemimpin, banyak
hal yang harus kita belajar dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Selama sepuluh tahun menjadi partai oposisi, PDIP tidak hanya memberikan kritik
pada pemerintahan SBY tetapi secara
internal membenah diri melalui kinerja para pemimpinya yang sedang menjabat
sebagai gubernur, wali kota dan bupati. Program-program
pro-rakyat menjadi target para pemimpin PDIP
di bawah asuhan tangan dingin
Megawati. Menyiapkan kader partai tidak hanya berkoar tentang politik tetapi berusaha bekerja dalam
sunyi dan pada waktunya masyarakat terbuka matanya tentang apa yang dilakukan
oleh pemimpin yang sudah berhasil. Membangun “trust politik” antara masyarakat
dengan partai, tidak hanya dengan pencitraan diri tetapi lebih dari itu
“trust politik” dibangun pada landasan
kinerja yang baik.
Karena itu tidak berlebihan bahwa
membangun tatanan politik saat ini berarti membangun “kesadaran manusia” NTT
untuk cerdas memberikan kontribusi pada partai politik karena memberikan informasi tentang segala
persoalan yang sedang terjadi bisa menjadi masukan berharga bagi partai yang
menggodoknya menjadi sebuah
program. Hanya menjadi persoalan adalah
dari mana kita memulai membangun NTT yang begitu luas dan disekat oleh lautan.
Titik fokus pertama adalah menerjemahkan gagasan “tol laut” yang diusung oleh
Jokowi karena hanya dengan “tol laut” bisa membantu menghubungkan satu pulau
dengan pulau lain. Dampak lain yang timbul dari
“tol laut” adalah regulasi peredaran
bahan kebutuhan pokok menjadi lebih lancar dan bisa menekan biaya yang murah.
Persoalan kedua adalah masalah ekonomi
yang tak kunjung berakhir. Mestinya para calon pemimpin harus membuat pemetaan
karakter pada masing-masing wilayah.
Dengan membuat pemetaan ini maka seorang pemimpin mudah memberikan perhatian
pada wilayah dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan. Wilayah mana yang cocok
menjadi area pertanian, maka perlu pendampingan ekstra dalam bidang pertanian.
Demikian juga ada wilayah yang cocok untuk beternak sapi, maka perlu
pendampingan khusus berkaitan dengan peternakan. NTT merupakan penyuplai sapi
untuk beberapa wilayah, salah satunya adalah DKI Jakarta maka peternakan sapi
menjadi ciri utama NTT, khusunya wilayah Timor dan Sumba yang penuh dengan
sabana.
Dengan melihat kondisi masing-masing wilayah
maka secara tidak langsung membuka mata seorang calon gubernur untuk melihat
dan apa yang mau dilakukannya setelah menjadi pemimpin. Perhelatan demokrasi
pada Pilgub NTT mendatang, tidak hanya menyisahkan gema pada saat kampanye
tetapi harus ditunjukkan lewat kinerja. Karena itu calon gubernur yang diusung
memiliki beban tersendiri apabila tidak memperlihatkan kinerja sebelumnya.
Rekam jejak calon gubernur menjadi sebuah catatan penting bagi warga NTT
sebelum menentukan pilihannya. Memilih calon gubernur NTT berarti memilih
seorang pekerja yang menawarkan jalan sejahtera bagi masyarakat.***
0 komentar:
Post a Comment