
Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus
mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi
tertawanya Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa
gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang
pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-
biblis.
Tertawa ala Yesus menjadi Konsumsi
rohani yang baik karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak
terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai
bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri.
Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapih di biara itu tetap mengundang
para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu
bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang
tertawa.
Mungkin Yesus mengajarkan kepada
umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan
itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar
tidak membawa beban batin pada setiap
orang yang berhadapan dengan masalah. Tawa tidak cuma berarti menertawakan,
merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa
juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan
yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti
yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar
gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan.
Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang
sinis seperti yang ada dalam lukisan
membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan
tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain
dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk
merendahkan dan mematikan orang lain,
melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.
Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan
maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya.
Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk
penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah
dikonstruksinya.
Sang pelukis telah mengangkat persoalan
manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh penulis kitab suci.
Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang
pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu
kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang
dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau
karena Aku murah hati?” Membaca kitab suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap
orang-orang kecil sepertinya membawa sebuah teater yang menyuguhkan peran yang
antagonis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis
menampilkan wajah dan peran yang berbeda-beda sesuai dengan tuntutan karakter
tokoh yang diperankannya.
Memang di dalam teater, sering
ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa
para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam
yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak
selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang
baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas
panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di
dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak
ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang
memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri. Sikap
penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan
untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.
Memang, tidak semua teater mengundang
tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah
teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru
menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang
kritik. Dalam lukisan sederhana itu,
barangkali tawanya Sang Guru memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak
sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang,
tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang
berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi
pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi
harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment