Thursday, September 4, 2008

Apa yang kau cari, Alfredo?

17 February 2008



Mayor Alfredo Reinado Alves, Senin (11/2/2008), tewas di tangan pasukan pengawal Jose Ramos Horta di Dili. Sebelumnya, Alfredo memimpin serangan yang menyebabkan presiden Timor Leste itu kritis. Apa yang kau cari Alfredo?

Wajah Alfredo Reinado Alves (51) sebenarnya tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sebab, dia sempat nongol di acara Kick Andy pada Mei 2007. Secara blak-blakan pria kelahiran Dili pada 1956 ini mengecam keras Ramos Horta (presiden Timor Leste), Xanana Gusmao (perdana menteri), Mari Alkatiri (bekas presiden), serta para pemimpin Timor Leste dari faksi Fretelin.

Alfredo mengklaim sebagai orang yang sangat gigih membela konstitusi negaranya. Sebaliknya, dia menilai Xanana, Horta, dan kawan-kawan sebagai pengkhianat konsitusi. "Saya tidak desersi. Saya bukan pemberontak. Saya justru melayani bangsa dan negara," tegas Alfredo saat diwawancarai Andy F Noya, pengasuh Kick Andy. Wawancara di sebuah tempat yang dirahasiakan di Indonesia ini ditayangkan kembali oleh Metro TV Senin malam.

Seperti diketahui, setelah revolusi bunga di Portugis pada 1975, terjadi kekosongan kekuasaan di Timor Timur. Terjadi pergolakan di dalam negeri karena partai-partai politik seperti Fretelin, Apodeti, UDT, dan Kota gagal mencapai kesepakatan tentang masa depan negerinya. Perang saudara pun pecah. Ribuan warga Timor Timur terpaksa mengungsi ke Indonesia, tepatnya di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Lalu, sebagian elemen politik menyatakan berintegrasi dengan Indonesia. Pada Sidang Umum MPR 1976, Timor Timur secara resmi dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Republik Indonesia. Sejak itulah Alfredo serta para elemen anti-integrasi, termasuk Xanana Gusmao, bergerilya di hutan-hutan dan ranah diplomasi.

Pada 1976 dia berpisah dari ibunya, asli Timor, dan ayahnya, keturunan Portugis, dan memilih berjuang. Usianya baru 20 tahun. Pasukan TNI dari Batalyon 725/Kendari pernah menjinakkan Alfredo sebagai tenaga bantuan. Beberapa saat kemudian, ia dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke Kendari lewat kapal laut. Di ibukota Sulawesi Tenggara itu dia tinggal bersama orang Bugis.

"Saya kemudian lari ke Kalimantan, kemudian Surabaya, dan beberapa kota di Jawa," tutur Alfredo. Tak heran, Alfredo bisa berbahasa Indonesia dengan fasih dan diplomatis.

Lama tak ada kabarnya, pascareferendum 1999, yang dimenangi kubu prokemerdekaan, Alfredo turun gunung untuk menikmati euforia kemerdekaan. "Saya dipanggil untuk masuk militer karena saya dianggap punya kemampuan," kenang Alfredo.

Taur Matan Ruak, pentolan gerilyawan Fretelin, menjadi bosnya. Alfredo mengaku diminta membangun unit khusus tentara Timor Leste dari nol.

Yang menarik, pria ganteng ini mengaku sebetulnya tidak ingin menjadi tentara di negara baru tersebut. Ia lebih senang menjadi rakyat biasa, nelayan kecil. Tapi, karena negara membutuhkannya, Alfredo pun akhirnya bersedia berkarir di militer.

"Saya minta cukup empat tahun saja. Sebab, keluarga tidak mau saya jadi militer," papar Alfredo.

Pada 20 Mei 2002, Republik Timor Leste alias Timor Lorosae diakui dunia internasional sebagai negara merdeka. Xanana Gusmao dipercaya sebagai presiden, Ramos Horta perdana menteri. Para bekas gerilyawan pun mendapat posisi penting di negara yang berbatasan dengan Kabupaten Belu, NTT, itu.

Meskipun merdeka, Timor Leste tidak mampu menjamin ketertiban dan keamanan di dalam negeri. Maka, pasukan asing pun dikerahkan ke sana, mayoritas berasal dari Australia. Sampai sekarang pun Timor Leste masih mengandalkan pasukan Australia untuk menjaga stabilitas nasional negara miskin itu. Bukan itu saja. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Timor Leste melakukan kerja sama ekonomi dengan Australia, khususnya dalam rangka eksploitasi minyak di celah Timor.

Nah, Alfredo ternyata sangat menentang kerja sama serta ketergantungan pada Australia. Dia menilai hal ini sebagai 'memerkosa' konstitusi. "Kehadiran pasukan internasional itu melanggar konstitusi. Dan saya seorang nasionalis yang ingin membela konstitusi," tegas Alfredo.

Dia juga menuduh Horta, Xanana, Mari Alkatiri, serta petinggi Fretelin melakukan rekayasa politik sedemikian rupa agar bisa berkuasa hingga 50 tahun ke depan. Termasuk memaksakan ideologi komunisnya di Timor Leste.

Namanya juga mantan gerilyawan, diam-diam Alfredo menyusun kekuatan. Pada 28 April 2006, dia bersama 591 tentara Timor Leste membuat kerusuhan di Dili, ibukota Timor Leste. Sejumlah orang terbunuh dan sekitar 150 ribu warga mengungsi, termasuk ke Indonesia. Sejak itulah Alfredo menjadi buronan pemerintah. Xanana, yang saat itu menjadi presiden dan Horta menjabat menteri luar negeri meminta pasukan Australia untuk menangkap Alfredo.

Setelah bernegosiasi dengan pemerintah, pada 25 Juli 2006 Alfredo menyerahkan diri. Pria yang istrinya tinggal di Australia ini juga menyerahkan sebagian senjata. Namun, kesempatan itu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menahan 'sang pemberontak', begitu julukan pemerintah Timor Leste pada Alfredo.

"Saya ditahan tanpa alasan yang jelas. Katanya, saya membawa senjata ilegal, melakukan revolusi, meninggalkan dinas. Saya tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Padahal, semua tuduhan itu fitnah," katanya.

Menurut Alfredo, 80 persen petinggi Timor Leste sekarang, termasuk Xanana dan Ramos Horta, pembohong karena pernyataan mereka berbeda dengan praktik sehari-hari. Dia juga kecewa dengan Xanana yang berubah setelah menjadi orang penting di Timor Leste.

"Xanana saat perjuangan dengan Xanana sekarang sudah lain. Saya kecewa karena Xanana memfitnah hati nuraninya hanya karena alasan ekonomi dan kekuasaan," tegasnya.

Sebulan kemudian, tepatnya 30 Agustus 2006, Mayor Alfredo kabur dari penjara Becora, Timor Leste. Mantan kepala polisi militer sekaligus pemimpin tentara desersi itu melarikan diri bersama 56 tahanan lainnya setelah menjebol beberapa tembok di sisi timur penjara. Kepala Penjara Becora Carlos Sarmento mengatakan, beberapa tahanan yang dulu menjadi milisi pro-Indonesia juga ikut kabur.

"Siapa bilang saya kabur? Saya dan teman-teman bisa keluar dengan santai. Kami kan militer, jadi punya kemampuan," ujar Alfredo lalu tertawa kecil.

Sejak itulah Alfredo seperti lenyap ditelan bumi. Tiba-tiba saja dia membuat geram pemerintah Timor Leste karena muncul di talkshow Metro TV pada Mei 2007. Setahun kemudian, tepatnya 11 Februari 2008, Alfredo kembali bikin ulah dengan menyerang Ramos Horta, presiden negara miskin itu. Kudeta ini gagal. Sang pemberani ini pun tewas. Lalu, dia dimakamkan dengan iringan lagu Ungu Band, Andai Kutahu.

"Pemberontak yang benar-benar gaul," celetuk Mr Pecut di Jawa Pos.

Apa yang kau cari Alfredo?

Danau Kelimutu di Flores

28 June 2008



Oleh Metta Dharmasaputa

Sejaras cahaya jingga seolah membelah langit ketika saya tiba di puncak gunung suatu pagi pada Maret 2008. Pucuk-pucuk cemara tegak di tepian kawah, hening dan berkilau keemasan dalam cahaya fajar. Di ketinggian 1.670 meter, angin dingin menderu menusuk tulang. Yohanes Voda, 61 tahun, menyuguhkan secangkir kopi jahe hangat. Nikmatnya bukan main. Apalagi kerongkongan sudah kering setelah mendaki Gunung Kelimutu.

Seperti semua turis lain yang sudi mendaki satu kilometer anak tangga sampai ngos-ngosan, tujuan saya adalah menikmati keelokan kawah tiga warna di puncak gunung itu: Danau Kelimutu. Tak ada catatan pasti kapan danau tiga warna ini mua-mula ditemukan penduduk setempat. Warna airnya berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, kelir air danau paling terkenal adalah merah, putih, dan biru. Inilah warna yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah dasar di berbagai belahan Pulau Flores. Dari masa ke masa, warna ini berubah-ubah seturut dengan musim, cahaya matahari, serta aneka perubahan kimiawi di dasar kawah.

Di sebuah tugu kecil di puncak gunung saya bertemu Yohanes Voda. Dia penduduk setempat yang telah 'merawat' Kelimutu selama 26 tahun terakhir sembari berjualan sekadar minuman bagi para turis. Dia pula yang memandu saya ke puncak menunjukkan kawah tiga warna. Indah, tenang, dan mistis, air danau terbentang jauh di dasar kawah dalam warna hijau kebiru-biruan, hitam, dan cokelat pekat seperti Coca Cola. Pak Tua Voda ibarat 'juru kunci tak resmi' bagi para pelancong Kelimutu.

Di sebuah pelataran dekat tugu kecil, Voda 'menjamu' tamunya setiap pagi--turis lokal dan asing. Mereka datang pagi-pagi benar, mengejar matahari terbit, agar keindahan puncak ketiga danau gunung itu dapat dilahap mata secara maksimal. "Saya sudah 26 tahun berjualan di sini," ujar Voda. Berdiam di sebuah desa di kaki gunung, dia berjalan kaki enam kilometer setiap hari untuk menjajakan kopi jahe khas Ende, teh hangat, serta lembar-lembar tenun ikat.

Kain-kain itu bersepuh warna alami dari akar mengkudu dan daun nila. Selembar kain dia hargai Rp 125 ribu. "Agak mahal karena selembar kain itu butuh tiga bulan untuk membuatnya," kata Voda. Puncak Kelimutu bukan sekadar tempat dia mencari nafkah. Tiga kawah itu dia yakini sebagai tempat bermukim para arwah leluhur suku Lio, suku asli di Kabupaten Ende.

"Tempat ini keramat dan disucikan," kata Voda. Karena itu, ia meminta setiap pengunjung tak sembarang memetik buah dari tanaman khas bedaun merah yang tumbuh di sepanjang bukit. "Itu makanan para arwah. Kalau mau petik, izin dulu," dia menambahkan.

***

Terletak 60 kilometer dari Ende, ibu kota Kabupaten Ende, kawah di puncak Kelimutu telah lama menjadi andalan pariwisata di Nusa Tenggara Timur. Namanya masyur bahkan hingga ke berbagai belahan dunia, terutama melalui getok tular para turis asing yang pernah melancong ke sana.

Bentuknya mirip danau membuat sisa kawah ini pun disebut Danau Kelimutu atau danau triwarna. Berada di lahan sekitar 5.000 hektare, sejak 1967 kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Wilayahnya masuk lima kecamatan: Detusoko, Ndona, Ndona Timur, Wolojita, dan Kelimutu.

Van Schuktelen, warga negara Belanda, yang mula-mula 'membuka' informasi danau tiga warna ini ke dunia luas pada 1915. Keindahan Kelimutu kian tesia setelah Y. Bouman, juga seorang pelancong Eropa, menuliskannya pada 1929. Sejak saat itulah turis asing mulai berdatangan. Misionaris asing di Flores turut membawa kabar tentang danau unik ini ke belahan Eropa dan negeri lain. Belum lagi peneliti yang amat tertarik mencari tahu penyebab fenomena alam yang amat langka ini.

Di Ende Lio, penduduk menyebut ketiga danau ini sebagai Tiwu Ata Mbupu (danau orang tua), Tiwu Nua Muri Ko'o Fai (danau muda-mudi), dan Tiwu Ata Polo (danau tukang tenung) yang dikenal angker. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri hanya dipisahkan dinding terjal selebar 15-20 meter. Sekitar 300 meter di sebelah barat Tiwu Nua Muri terletak Tiwu Ata Mbupu. Masyarakat sekitar percaya bahwa Danau Kelimutu adalah tempat semayam arwah para leluhur. Setelah meninggal, arwah mereka pindah dari kampung ke puncak Kelimutu untuk selamanya. Kawah mana yang akan ditempati tergantung usia dan amal perbuatannya semasa hidup.

Sebelum masuk ke salah satu danau, menurut kepercayaan, para arwah terlebih dahulu menghadap Konde Ratu. Dialah penjaga gerbang Perikonde, yang diyakini sebagai pintu masuk arwah menuju Danau Kelimutu. Di sini setiap pengunjung diperkenankan memberikan kepingan uang logam, sirih pinang, atau rokok sebagai persembahan kepada Konde Ratu.

***

Kelimutu juga memiliki tempat tersendiri di hati Soekarno. Menurut Voda, presiden pertama Indonesia itu biasa bersemedi di puncak gunung semasa keluarganya dibuang pemerintah Belanda pada 1934-1938. Sebagian jejak Soekarno masih terekam di Museum Bung Karno di Jalan Perwira Ende. Sejumlah barang koleksi miliknya masih tesimpan baik. Seperti foto keluarga dan pribadi Bung Karno, barang-barang keramik, dua tongkat berkepala monyet, lemari pakaian, dan tempat tidur.

Di halaman belakang ada sumur yang digali sendiri oleh Soekarno untuk keperluan sehari-hari. Sebagian kalangan percaya airnya berkhasiat menyembuhkan penyakit dan obat awet muda. Musa, penjaga museum, mengatakan: "Ada pengunjung khusus datang untuk mengambil air dari sumur itu."

Peninggalan lain yang menjadi daya tarik museum adalah ruang semadi Bung Karno. Dalam ruang senyap dan dingin berukuran tiga kali dua meter itu Soekarno biasa menghabiskan malam untuk bersujud memohon 'bantuan' bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Anggota DPR Permadi pernah juga bersemadi di situ," kata Musa. Di kota ini pulalah Soekarno mencetuskan ide lahirnya Pancasila. "Jika ke Kelimutu, Bung Karno pergi dengan berkuda," Musa menambahkan.

Guntur Soekarnoputra, anak tertua Bung Karno, meneruskan kebiasaan ayahnya. Voda menuturkan, dua tahun lalu [2006] Guntur datang mengendarai ojek untuk mengambil air dari dasar kawah. Setelah bersemadi dari malam hingga subuh, ia melepas ayam merah. "Sayalah yang menjaga ayam itu," kata Voda.

***

Bagi para turis yang tidak suka pada urusan klenik, 'keajaiban' tiga kawah Kelimutu tetap punya daya tarik. Warna air di ketiga kawah itu terus berubah. Kawah Tiwu Ata Mbupu yang pada 1915 berwarna merah darah, kini berwarna hitam kecokelatan. Begitu pula Tiwu Nua Muri. Kawah aktif dengan kedalaman 127 meter ini terus berubah warna dari hijau zamrud menjadi putih, biru, dan akhirnya hijau muda. Sedangkan Tiwu Ata Polo dari putih, hijau, biru, merah, dan kini cokelat kehitaman.

Menurut sejumlah peneliti, perubahan warna di kawah itu bisa jadi akibat pembiasan cahaya matahari dan pantulan warna dinding kawah, biota air, pantulan dasar danau, serta perubahan zat kimia yang terlarut di kawah. "Luar biasa indah," kata Mary, turis asal Amerika berdarah Indian.

Sayang, keindahan itu tak bisa dinikmati lama-lama. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, kabut sudah menyelimuti permukaan kawah. Karena itu, para wisatawan harus berangkat dari Ende ketika hari masih gelap agar setelah dua jam perjalanan mobil, mereka bisa mencapai danau ketika matahari terbit.

Pilihan lain adalah menginap semalam di Kampung Moni, 12 kilometer dari Kelimutu. Kebanyakan turis asal Eropa bahkan bisa menghabiskan 4-5 hari di sana. "Pagi-pagi mereka berlari menuju puncak gunung," ujar seorang staf penginapan. Setelah kabut menyergap, barulah mereka turun.

Perjalanan pulang biasanya menjadi saat-saat menarik karena banyak 'lukisan alam' yang luput terlihat sebelum terang tanah. Persawahan, air terjun, pemandian air hangat, serta jalan terjal yang melingkar di punggung bukit-bukit Flores yang permai. (Majalah TEMPO, 29 Juni 2008)

Imamat perak Romo Zakarias Benny




Kejadiannya sudah agak lama, 9 Agustus 2008, tapi saya kebetulan baru saja membaca di www.antara.co.id. Perayaan 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr di Witihama, Adonara Timur, Flores Timur, ternyata diwarnai peristiwa tragis.

Mama Maria Imaculata Barek Bunga, yang biasa disapa Ina Siti, orang tua angkat Romo Zaka selama bertugas di Adonara Timur selama seperempat abad meninggal dunia karena tertabrak sepeda motor. Maka, perayaan 25 tahun imamat--momentum sangat penting bagi seorang pastor--pun berubah nuansa. Usai misa syukur, Romo Zaka memimpin misa requiem, sekaligus melepas Ina Siti ke tempat peristirahatan terakhir.

Bagi kami di kampung, Desa Mawa [Napasabok] dan Nobolekan [Bungamuda], Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr punya posisi sentral. Romo Zaka, tetangga kakek saya di Nobolekan itu, merupakan pastor pertama di kampung saya. Namanya juga sangat dikenal di Ile Ape, kecamatan tandus di sebelah utara Pulau Lembata, karena jumlah pastor asal Ile Ape memang sangat sedikit.

Ile Ape yang tanahnya tidak subur sejak dulu dikenal sangat tandus untuk panggilan. Kalaupun ada benih panggilan, biasanya lekas kering, tak sampai berbuah. Beda sekali dengan tiga kecamatan lain di Lembata--Lebatukan, Atadei, dan Nagawutun--yang subur panggilan. Wilayah Kedang [Omesuri dan Buyasuri], meski tanahnya subur, tergolong kering panggilan. Tapi kasus di Kedang [bapak saya pernah jadi guru di Kedang] sangat berbeda dengan Ile Ape.

Pastor asal Ile Ape bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Sebut saja Pater Gabriel Goran SVD, Pater Yulius Yuli Hada CSsR, Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, kemudian Romo Paskalis Kabe Hurek Pr. Lalu, siapa lagi ya? Oh, ya, berbeda dengan umat Katolik di Jawa yang menyamaratakan sebutan ROMO untuk pastor, di Flores umat mengenal PATER dan ROMO. PATER untuk imam biarawan [klerus], sedangkan ROMO untuk imam diosesan. Padahal, artinya ya sama saja: bapak.

Saking sulitnya panggilan di Kecamatan Ile Ape, pada 1980-an Pater Geurtz SVD dan Pater Willem van de Leur SVD--dua misionaris penting asal Belanda [RIP]--melakukan kampanye panggilan cukup gencar ke anak-anak sekolah dasar. Guru-guru sekolah dasar, yang juga merangkap ketua stasi atau gabungan, pun diberi semacam arahan khusus. Doa-doa panggilan sangat gencar. Meminta agar Tuhan sudi memanggil anak-anak Ile Ape bekerja di kebun anggur-Nya.

Kemudian ada program, kalau tak salah, namanya KELUARGAKU SEMINARI KECIL. Bahwa panggilan hanya bisa tumbuh di dalam keluarga yang rajin berdoa bersama-sama. Makan bersama, doa bersama, rajin misa, berkelakuan baik, dan seterusnya. Kemudian guru-guru asal Atadei, Nagawutun, dan Atadei dimutasi ke Ile Ape untuk menyebarkan 'virus' panggilan.

Saya yang masih kecil sering bertanya kepada guru-guru di sekolah dasar di Mawa, mengapa tidak ada orang Ile Ape yang jadi pastor. Pater-pater kok selalu dari Belanda, Adonara, Sikka, atau daerah Adonara, Solor, dan Flores lainnya?

"Yah, kita berdoa saja. Mudah-mudahan suatu ketika ada orang Ile Ape yang jadi pastor," kata Pak Paulus Lopi Blawa [RIP], guru asal Lebala. "Kalau kalian belajar rajin, otak encer, rajin berdoa, kalian di Ile Ape pun bisa. Tuhan itu kan memanggil siapa saja, termasuk orang Ile Ape," kata Pak Paulus bijak.

Kemudian muncul banyak analisis mengapa Ile Ape sulit melahirkan imam, bruder, dan suster. Pertama, budaya merantau yang luar biasa. [Topik ini akan saya bahas secara khusus.] Merantau lebih menguntungkan karena bisa mendatangkan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang-barang, dan sebagainya. Pastor bukanlah pilihan buat masa depan.

Di SDK Mawa, tempat bapak saya menjadi kepala sekolah [sekarang pensiun], misalnya, sejak akhir 1960-an tidak ada murid yang bercita-cita jadi pastor. Kecuali Paskalis Hurek, putra Ama Yeremias Selebar Hurek, katekis atau guru agama mula-mula di Mawa dan sekitarnya. Sebagian besar siswa nyaris tidak punya cita-cita. Lulus SD, merantau ke Malaysia. Atau sekolah sebentar di SMP atau SMA... lalu merantau. Mana bisa jadi pastor?

Kedua, intelektualitas anak-anak Ile Ape rata-rata rendah. Paling tidak dibandingkan dengan tiga kecamatan yang subur panggilan tadi: Atadei, Nagawatun, Lebatukan. Modal kecedasan alias IQ ini penting karena pendidikan di seminari jauh lebih berat daripada sekolah-sekolah umum. IQ harus tinggi agar mudah menyerap pelajaran. Namanya juga asumsi, ya, tidak ada kajian ilmiah. Tapi memang ada fakta bahwa anak-anak Ile Ape yang mencoba masuk seminari biasanya keluar [atau dikeluarkan] karena berbagai alasan.

Ketiga, orang Ile Ape rata-rata sulit berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Maklum, sejak melihat dunia, kami dibiasakan berbicara dalam bahasa ibu: bahasa Lamaholot. Berpikir dalam bahasa Lamaholot versi Ile Ape. Sulit sekali berbahasa Melayu ala Larantuka atau Lewoleba. Ini membuat anak-anak Ile Ape macam saya cenderung minder ketika bertemu orang Lewoleba. Wah, dia bisa cas-cis-cus dalam bahasa Indonesia, sementara saya hanya bisa menyimak.

Saya sendiri pun terheran-heran ketika mendengar orang Larantuka bisa bicara bahasa Melayu dengan fasih dan sangat cepat. Sedangkan saya terbata-bata. Maka, ketika saya SMP di Larantuka, saya menjadi bahan olok-olokan teman-teman asal Larantuka, Adonara, Flores Timur daratan yang jauh lebih fasih daripada kami orang Ile Ape. Tapi, bagi saya, olok-olok ini ada hikmah. Saya menjadi lebih terpacu belajar bahasa Indonesia, dan kemudian membuat saya selalu menjadi juara mengarang di Larantuka. Hehehe....

Dengan latar belakang ini, saya benar-benar kaget ketika mendengar kabar bahwa Diakon Zakarias Benny Nihamaking akan ditahbiskan di kampung. "Diakon Zaka heku? Nepe ti na nang tuana?" tanya saya kepada bapak saya. Diakon Zaka itu siapa? Berarti dia akan segera jadi pastor?

Asal tahu saja, selama pendidikan di seminari, Diakon Zaka Benny jarang pulang kampung, sehingga kami yang anak-anak tak banyak mengenalnya. Padahal, ya itu tadi, rumah orang tuanya dekat rumah kakek saya di Nobolekan.

Singkat cerita, 25 tahun lalu, Pater Geurtz SVD mengumumkan bahwa Diakon Zaka akan segera ditahbiskan di... Ile Ape. "Puji Tuhan! Ternyata, orang Ile Ape pun bisa jadi pastor. Kami juga bisa memberikan seorang putra terbaik untuk kebun anggur Tuhan," begitu kira-kira komentar orang kampung.

Misa tahbisan dipimpin Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa SVD [sekarang RIP]. Pesta besar-besaran. Melibatkan berbagai kalangan, tak hanya beberapa suku macam pesta perkawinan, semua orang berbahagian luar biasa. Akhirnya, ada juga romo yang lahir dari kampung kami yang terpencil di pelosok Lembata. Tahbisan Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, saya yakin, semakin memotivasi Paskalis Hurek untuk kemudian ditahbiskan juga sebagai romo.

Teman sebaya saya waktu SD, Marselina, belum lama ini mengabarkan lewat adik saya bahwa dia dalam perjalanan ke kampung halaman. Tujuan utamanya Adonara Timur. Untuk apa? "Ikut pesta 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny," begitu pesan pendek dari Vincentia, adik perempuan saya di Kupang.

Aha, ternyata Marselina sekarang ini berstatus biarawati. Suster Marselina! Puji Tuhan!

Kenyataan ini juga mematahkan anggapan miring pada tahun 1970-an bahwa orang Ile Ape sangat sulit menjadi pastor, bruder, dan suster. Dengar-dengar saat ini sudah lumayan banyak gadis-gadis asal Ile Ape yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui berbagai kongregasi.

Ini juga berarti bahwa doa-doa kami, anak-anak kampung, perjuangan misionaris-misionaris perintis macam Pater Lorentz Hambach SVD, Pater Lambertus Paji Seran SVD, Pater Geurtz SVD, Pater Willem van de Leur SVD didengarkan Tuhan.

Selamat pesta perak imamat untuk Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr!

Dominus vobis cum!

TAHANAN

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan para tahanan dan dikerjakan para penganggur–yakni mengolah harap?

Di sini di lereng bukit,
menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap

**
Di sini tak ada “aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu

**
Di ambang mati, ia berkata:
Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
Aku akan lahir lepas, yatim piatu
Memilih huruf lazuardi buat namaku…

Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish, tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan paksa?

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu, dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu berdiri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulainya: dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter dibangun. Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membatasi wilayah Israel dari wilayah Palestina–batas yang ditarik sejak 1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak masuk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas parit yang digali di kedua sisi.

Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan 80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya buat kerja.

Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah memisahkan sejumlah manusia dari dunia–dan identitas pun jadi kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:

Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang kesembilan akan datang musim-panas nanti….
Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri tempatku tinggal.
Kekuasaan dan kekerasan–kita tak tahu lagi mana yang datang lebih dulu–gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didirikan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang, sepanjang 155 kilometer–tapi tak setinggi dan sepanjang tembok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didirikan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para pemilih yang yakin–atas nama keselamatan diri, meskipun untuk itu harus mencelakakan orang lain.

Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asasi manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh. Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah jadi seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia), mengatakan, “Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya, dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi… tapi sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”

Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakberdayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya benar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geometri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah “huruf lazuardi”–warna langit di atas Palestina, sesuatu yang mengembalikan pesona dan kebebasan–yang bisa dituliskan bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-habisnya.

api, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya, berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu: di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara keadilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa meruntuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/18 - 24 Agustus 2008~

BINTANG

Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki ”sindrom Italia”.

Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Borghese, Maharani Nimfomaniak.

Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita se­akan-akan mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu…. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”

Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesua­tu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang mengge­rakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah re­publik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.

Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.

Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidak­adilan itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?

Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.

Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledak­kan bom, menebar takut dan maut, seperti Al-­Qa­­i­dah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan se­suatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasa­an, dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.

Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita meng­ubah politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menja­lankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah ­kemasan. Partai jadi komoditas, lengkap dengan kha­yalan yang muncul: seakan­-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.

Kini kita punya media massa yang mempermudah pa­rodi itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu menjangkau khalayak seluas-luas­nya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gam­pang dan sedap dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddhar­ta yang tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus.

Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”

Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 - 31 Agustus 2008~

Perang

September 1, 2008


Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”

”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.

Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas.

Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabis-habisnya.

Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu.

Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lambang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.

Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang dilancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.

Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.

”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.

Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika.

Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab” dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.

Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 - 07 September 2008~

Pesta kacang [bean festival] di Ile Ape

20 August 2008


Kak, kame mete pesta kacang.
Pia mete OHA.
Bupati nong hang di ega.


Pesan pendek alias short message service [SMS] ini saya terima dari Kristofora, adik kandung saya, di pelosok Lembata, Flores Timur, Senin 18 Agustus 2008, malam. Dia mengabarkan bahwa di kampung [Mawa dan Bungamuda, Kecamatan Ile Ape] sedang berlangsung PESTA KACANG. Bupati Andreas Duli Manuk dan istri, Margareta Hurek, hadir. Warga sedang ramai-ramai OHA.

OHA nama tarian tradisional di daerah-daerah etnis Lamaholot: Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan. Meskipun ada variasi di sana-sini, pada dasarnya OHA sama saja. Warga berpegangan tangan, bikin lingkaran, kemudian menari. Selang-seling laki-laki perempuan lebih bagus.

Tarian massal macam ini tidak membutuhkan kemampuan khusus macam tari-tarian di Jawa. Siapa saja bisa. Gerakannya sangat sederhana. Hanya saja, perlu beberapa penyanyi tradisional yang bernyanyi solo. Dia menguasai sastra Lamaholot--koda kiring, tutu nuan--sehingga syairnya muncul spontan. Bisa memuji, menyindir, bahkan mengkritik siapa saja, termasuk pejabat.

OHA sangat dinamis. Mula-mula solis menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Istilah musik klasiknya: poco a poco allegretto. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang yang bikin lingkaran membuat gerakan kaki secara rritmis. Bisa dibayangkan 50-80 orang mendentumkan kaki bersama-sama. Di sinilah letak keindahan OHA. Tarian yang berusia ratusan tahun ini senantiasa menarik perhatian orang baik yang hanya sekadar menonton, apalagi melakukannya.

Saking populernya, setiap ada pesta pernikahan, pesta kampung, atau apa saja, OHA selalu digelar. Dulu, orang rela jalan kaki cukup jauh ke kampung-kampung lain hanya untuk bisa OHA bersama-sama. Mana bisa OHA ditarikan sendiri, bukan? Apalagi, di sela-sela tarian orang bisa makan minum dengan lahap.

Dulu, mungkin juga sampai sekarang, OHA dilakukan dari malam sampai matahari terbit. Siangnya istirahat, kerja di kebun, malamnya OHA lagi, dan seterusnya. OHA memang bisa membuat orang Lamaholot kecanduan. Lebih-lebih kalau solis bisa membawakan ORENG [semacam nyanyian tunggal] dengan suara merdu dengan pesan mendalam.

Tarian sejenis OHA adalah HAMANG. Baik OHA maupun HAMANG dilakukan di NAMANG alias tanah lapang. Karena itu, semua kampung harus punya NAMANG. Lebih baik lagi kalau punya lapangan sepak bola. Berbeda dengan OHA yang dinamis, mencapai puncak dengan gerakan yang lincah-bersemangat, HAMANG relatif tenang dan lambat. Lebih reflektif.

Lagu-lagu yang dibawakan secara spontan sarat dengan hikmah kebijaksanaan, kritik sosial, sindiran, hingga doa-doa kepada Sang Pencipta. Tapi HAMANG bisa dengan lekas diubah menjadi OHA kalau situasinya menuntut demikian. HAMANG pun lazim dimainkan semalam suntuk.

Kembali ke PESTA KACANG.

Bagi kami di kampung, pesta kacang ini sangat penting maknanya secara kultural maupun religius. Lazim digelar tiap bulan Agustus, seperti sekarang, pesta kacang merupakan momentum untuk menengok kampung lama [lewo nolungen, lewo ulun]. Berada di kampung lama ibarat kembali ke akar kami sebagai lewo alawen, orang Lamaholot. Di sinilah aneka ritual adat Lamaholot [versi Mawa/Nobolekan] digelar secara relatif sempurna.

Kenapa disebut kampung lama? Ceritanya, hingga awal 1970-an penduduk Ile Ape yang berada di kawasan pesisir utara tinggal di kaki Ile Ape alias Gunung Api. Ata kiwan. Sekitar 5-7 kilometer dari pantai. Rumah di kampung lama sangat sederhana. Namanya ORING atau pondok. Tak pakai dinding. Setiap suku atau fam punya gugus rumah sendiri-sendiri. Rumah ini sangat sentral dalam momentum pesta kacang.

Pengaruh modernisasi, perjumpaan dengan dunia luar, kedatangan misionaris Katolik, era Orde Baru... membuat nenek moyang kami perlahan-lahan eksodus ke bawah [pantai]. Pondok-pondok, berikut berbagai perlengkapan adat, termasuk logam-logam peninggalan zaman dulu, ditinggalkan. Kampung lama pun menjadi arena kosong. Hanya ada beberapa orang yang mampir kalau kebetulan lewat.

Kampung lama, bagi anak-anak era 1980-an macam saya, ibarat sesuatu yang angker. Wingit, kata orang Jawa. Punya nilai mistis sangat tinggi. TULA GUDUNG atau upacara-upacara adat sangat khas. Juga ada banyak larangan, misalnya, tidak boleh mengambil sedikit pun salah satu bagian dari atap pondok dari daun kelapa atau alang-alang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.

Suku Hurek Making seperti saya ada tambahan pemali: Tidak boleh makan daging anjing! Kenapa? Ada legendanya sendiri. Kalau makan daging anjing, kata nenek moyang, bisa terkena penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Harus bikin upacara di rumah adat di kampung lama dan melakukan macam-macam ritual. Tapi, anehnya, banyak famili kami, fam Hurek, di luar Nusa Tenggara Timur yang makan daging anjing.

"Itu kan makanan, ciptaan Tuhan. Saya ikut Alkitab saja deh," kata Cornelis Hurek, paman saya di Malang. Pak Cornelis ini malah pernah beternak anjing. Orang-orang Lembata di Malang dan sekitarnya sering mampir di rumahnya, Kota Lama Gang Buntu 66 Malang, hanya untuk... makan RW. Tahu kan RW? Hehehehe....

Sebelum 1990, pesta kacang berlangsung biasa-biasa saja. Hanya ritual tahunan khusus untuk penduduk di kampung kami, khususnya Mawa dan Nobolekan. Pada era pembentukan 'desa gaya baru' di pesisir pantai, Mawa menjadi Desa Napasabok, sedangkan Nobolekan bergabung dengan Desa Bungamuda. Tapi dulu di kampung lama orang Mawa [Napasabok] dan Nobolekan ini satu kampung alias satu darah. Maka, logat Mawa dan Nobolekan sama saja. Beda dengan logat Atawatung atau Lamawara atau Lewotolok, desa tetangga.

Pesta kacang biasanya berlangsung lebih dari satu minggu. Diawali dengan membersihkan dan memperbaiki rumah adat suku masing-masing. RIE WANAN [tiang kanan] diperciki darah ayam oleh kepala suku. Halaman dan semua bagian penting di kampung lama dibersihkan. Para perempuan mengambil air dari sumur yang ada di bawah [pantai].

Ibu-ibu sibuk memasak. Para bapak yang pintar memancing atau menjala ikan ke pantai. Semua keluarga urunan lauk-pauk, gotong-royong luar biasa. Saya biasanya bantu menganyam ketupat. Ini makanan pokok pesta kacang. Simpanan kacang panjang [merah] di LEPO, wadah anyaman dari daun lontar, dikeluarkan. Kacang ini nantinya dicampur dengan jagung, dibuatlah ketupat. Komposisi kacangnya cukup besar.

Dari sinilah muncul istilah PESTA KACANG. Yah, kacang panjang dan kacang hijau memang makanan penting di Ile Ape. Ibu-ibu tidak pernah memasak nasi jagung 100% atau beras 100%, tapi mencampurnya dengan kacang sebagai NALINGEN. Tentu kacang direbus dulu sampai matang, baru ditanak dengan jagung menjadi nasi jagung.

Jadi, nenek moyang di Ile Ape sebenarnya secara tidak sadar mengkombinasikan karbohidrat dan protein nabati [kacang-kacangan] dalam makanannya. Ditambah sayur merungge alias kelor, plus ikan laut, wah menu itu cukup komplet menurut ilmu gizi. Sampai sekarang banyak orang Ile Ape 'tidak bisa' makan nasi kalau nasinya murni macam di Jawa. Harus ada NALINGEN alias biji-biji kacang panjang.

Pesta kacang yang semula biasa-biasa saja, alamiah, tradisional, lama-kelamaan diketahui orang luar. Termasuk turis Eropa. Orang-orang Ile Ape yang kebetulan menjadi pejabat, mahasiswa, dosen, perantau... menceritakan hal ini kepada orang luar. Lantas, muncul ide untuk menjadikan pesta kacang sebagai event pariwisata budaya.

"Kenapa tidak 'dijual' saja? Bisa mendatangkan devisa, menggerakkan ekonomi rakyat? Dan sebagainya," demikianlah pikiran-pikiran khas pejabat pariwisata.

Ndilalah, Bapak Andreas Duli Manuk, asli Nobolekan, kebetulan terpilih sebagai bupati Lembata. Lalu, saya dengar cerita bahwa jalan setapak menuju kampung lama alias LEWO NOLUNGEN diperbaiki. Diperlebar. Agar kendaraan roda empat bisa tembus ke sana. Tidak perlu lagi jalan kaki sambil menjunjung barang, memikul barang, macam saya dulu waktu kecil.

"Sekarang sudah enak sekali ke kampung lama. Bisa naik oto," kata adik saya. "Kame pia mete OHA," begitu bunyi pesan pendek di telepon seluler saya.

Wah, saya hanya bisa membayangkan PESTA KACANG versi modern di era seluler. Masih adakah suasana wingit, mistis, adat yang kental, macam dulu? Zaman memang terus bergulir. Dan kita tak mungkin membalik putaran jarum jam sejarah.

Orang Ile Ape, Lembata, Lamaholot umumnya, makin maju dan modern. Jalan pikirannya sudah berbeda jauh dengan Ama Arakian [RIP], mantan kepala suku, yang selalu memimpin ritual pesta kacan di kampung lama. Contohnya, ya, om saya di Malang yang mengabaikan larangan makan daging anjing.

"Yang penting, tite tetap peten lewo, peten Lera Wulan Tanah Ekan," katanya.

Ya, sudah!

Setahun kepergian Anne Satya Adhika (RIP)


Oleh Kahono

Engkaulah anugerah terindah dari Allah…

Saat undangan ini ditulis, genap sudah satu tahun anak kami Anne berpulang ke pangkuan Allah Yang Maha Suci, tepatnya besok tanggal 9 September 2008. Waktu yang belum mampu membendung air mata kami yang kadang masih kerap mengalir setiap muncul rasa rindu yang tak terperi.

Bukan kami tidak ikhlas dengan kepergiannya, tetapi perjalanan dua belas tahun bersamanya telah menyiratkan ikatan kuat dan dalam, bukan waktu yang pendek untuk merangkai sebuah jalinan cinta kasih dan menjalani hidup penuh perjuangan bersamanya.

Detik-detik terakhir sebelum Anne meninggalkan kami merupakan hari yang sangat mendebarkan bagiku sebagai orangtua sekaligus sebagai seorang ayah. Tarikan nafasnya satu-satu, dan Anne anakku pun mulai melemah, sehingga harus dibantu dengan alat pemompa. Kutunggui anakku terus-menerus, aku tahu Anne ingin menyampaikan kata-kata tetapi tidak bisa untuk mengatakannya.

Kami hanya dapat membelai rambutnya, mencium keningnya, memijit pelan punggungnya sambil memberikan bimbingan doa dan dorongan untuk sabar dan mendekatkan diri kepada-Nya. Aku melantunkan doa Bapa Kami di samping Anne, aku tahu anakku sadar dan mendengarkan doa itu, meski kondisi tubuhnya tidak memungkinkannya berkomunikasi. Anne berusaha menggapai tanganku dan tangan istriku ketika itu, lalu Anne menggenggam tangan kami dengan sangat erat, sementara itu aku terus melantunkan doa.

Itulah doa paling menyentuh dan tersedih dalam hidupku. Aku masih ingat betul percakapan kami dengan Anne lima menit sebelum Anne pergi, ”Anne...Anne..ma..maafkan ba..bapak ibu ya....” ketika itu Anne pun menjawab dengan suara lirih ”aa..aaaku tuh su..su..sudah memaafkan....ibuuu, bapak ma..maafkan Anne ya....” dan kami pun hanya bisa mengangguk, karena air mata kami semakin deras keluar begitu saja.

Usaha tim medis sudah maksimal, doa telah kami lantunkan, tapi kondisi Anne semakin memburuk. Akhirnya aku tidak lagi memohon kesembuhan, tetapi memohon pada Allah agar diberikan jalan terbaik. Tanggal 27 September 2007, pukul 09.45 WIB akhirnya Anne anakku menutup mata untuk selama-lamanya. Sambil berusaha untuk tabah, perasaanku sebagai ayah berkecamuk saat itu.

Anne telah pergi...Anne telah pergi...tapi apa yang dapat kulakukan kecuali sabar, pasrah kepada keagungan dan kebaikan Allah?. Tanpa kusadari air mataku terus keluar begitu deras, aku berusaha segera mengabari sanak saudaraku, dan saat kupegang gagang telepon aku pun tidak sanggup untuk berkata-kata, namun sanak saudaraku nampaknya sudah tanggap akan isak tangisku yang terdengar lirih di telepon.

Selamat jalan Anne anakku, maafkan bapak dan ibu... Semoga Allah Yang Maha Baik senantiasa memberikan kebahagiaan tiada tara di rumah-Nya yang kudus. Sesungguhnya segalanya milik Allah, dan hanya kepada Allah-lah segalanya akan kembali.

Anne...pelajaran berharga yang Anne berikan kepadaku, kepada kami, dan kepada semuanya akan arti hidup dan kehidupan bahwa semuanya akan kembali kepada Allah Yang Maha Agung semata, dan tidak ada yang abadi. Yang sombong, yang kaya, yang gagah, yang merasa besar pasti akan terurai juga menjadi tanah, dan akhirnya kebaikan dan keutamaan Allah juga yang berperan.

Anne...... kepergianmu kami ikhlaskan, bergembira dan berbahagialah di Surga, doakan dan tunggulah kami. Kiranya kelak kami akan juga menyusulmu. Ayah, Ibu dan Sela adikmu akan selalu menyayangi dan merindukanmu… Engkau adalah anugerah terindah yang Allah berikan kepada ayah, ibu, dan Sela ….

Kami yang menyayangimu.
Yogyakarta, September 2008

Anne Satya Adhika

Lahir: Rabu, 7 Juni 1995
Dipanggil Allah Yang Maha Suci : Rabu Legi, 26 September 2007

Diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Selasa, 9 September 2008
Pukul : 17.00 WIB
Tempat : Rumah kami Jl. Gejayan, Santren Gang Menur No. 5C Yogyakarta

Demikianlah undangan kami, atas perhatian dan kehadiran Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudari kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kahono dan keluarga

Kami menyadari karena jarak dan kesibukan yang tidak memungkinkan Bapak/Ibu/Saudara untuk menghadiri undangan ini, maka sudilah kiranya menulis doa untuk anak kami di http://anne1995.wordpress.com/2008/08/23/buku-tamu/


Obbie Messakh di Metro TV

01 September 2008



Obbie Messakh itu ternyata ceria, suka bercanda, ceplas-ceplos. Beda jauh dengan lagu-lagunya yang sebagian besar bercerita tentang kesedihan, bahkan frustrasi. Ini terlihat saat Obbie Messakh tampil di acara Zona 80, Metro TV, Minggu 31 Agustus 2008. Selama satu jam, diselingi iklan, tentu, penonton televisi diajak kembali ke era 1980-an.

Obbie Messakh, pemusik asal Rote, Nusa Tenggara Timur, memang salah satu ikon 80-an. Suka tidak suka orang harus ingat Obbie kalau bicara tentang musik pop 1980-an. Karya-karyanya mendominasi Aneka Ria Safari dan Selecta Pop di TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia masa itu.

Ratusan lagu, bahkan mungkin ribuan, telah lahir dari tangan Obbie Messakh. Sebab, Obbie mengaku mulai menulis lagu sejak 1974. Rinto Harahap menjadi salah satu penulis lagu yang banyak memberi inspirasi padanya. Namun, setahu saya, Obbie Messakh mulai melejit ketika direkrut JK Records pada awal 1980-an. Judhi Kristianto, bos JK Records, mengandalkan Obbie dan Pance Fransisikus Pondaag sebagai penulis lagu utama perusahaan rekaman itu.

Karakter lagu-lagu Obbie memang pas dengan karakter Judhi yang juga pemusik dan penulis lagu. Maka, puluhan artis pun diorbitkan JK Records. Sebut saja Lidya Natalia, Ria Angelina, Helen Sparingga, Heidy Diana, Dian Piesesha, Marina Elsera, Nindy Ellese... dan masih banyak lagi. Sukses Obbie di JK Records membuat produser lain di era 80-an terigur. Mereka antre menunggu lagu-lagu Obbie Messakh.

"Waduh, waktu itu nyari Bang Obbie susahnya setengah mati. Dia kan lagi jaya-jayanya," kata Ratih Purwasih di Zona 80, Metro TV. "Saya malah tidak pernah bertemu langsung sama Bang Obbie. Padahal, saya terangkat karena lagu-lagunya," tambah Angel Pfaff. Pada akhir Agustus 2008 ini tubuh Angel Pfaff terlihat gemuk berisi, tak lincah, jangkauan suaranya pun tidak prima lagi.

Angel, pelantun 'Pernahkah Dulu', bersama Ratih Purwasih--adik kandung penyanyi Endang S. Taurina yang juga kondang pada 1980-an--mendampingi Obbie Messakh di Zona 80-an. Pemandu acaranya Ida Arimurti dan Sys NS, dua penyiar radio yang kondang di Jakarta pada 1980-an. Di saat begitu banyak selebitis lama mengidap obesitas dan stroke, fisik Obbie Messakh tetap langsing macam 20-an tahun silam. Suaranya lebih tebal, tapi tetap nyaman. Ini karena Obbie memang sejak dulu aktif berolahraga.

Bagi Obbie Messakh, menulis lagu-lagu sweet pop ala JK Records merupakan berkah luar biasa pada 1980-an. Hampir semua artis yang diorbitkan dengan lagu karyanya melejit. Kaset--dulu belum ada CD--laku keras. "Paling sedikit terjual 400.000. Industri musik benar-benar booming," kenang Obbie yang lahir dan besar di Jakarta itu.

Sebagai perbandingan, saat ini bisnis kaset/CD memasuki masa yang sangat sulit. Studio banyak, siapa saja bisa bikin lagu, merekam lagu, membuat aransemen dengan berbagai corak, tapi... sulit dijual. Laku 20.000 saja sudah bagus. Bahkan, ada penyanyi terkenal sudah senang bukan main ketika albumnya terjual 2.000. Masa keemasan seperti yang dirasakan Obbie dan JK pada era 1980-an tampaknya hanya tinggal sejarah.

Di program musik nostalgia Metro TV yang mulai dilirik banyak orang itu, Obbie juga menjelaskan kasus pelarangan lagunya oleh pemerintah Orde Baru. Tepatnya, pada 1988 Menteri Penerangan Harmoko--sebagai penanggung jawab utama TVRI--murka gara-gara lagu Hati Yang Luka [karya Obbie Messakh, dibawakan Betharia Sonata] sangat sering keluar di TVRI. Di mana-mana orang menyanyikannya. Lantas, Pak Harmoko meminta agar TVRI tidak lagi menyiarkan lagu-lagu cengeng.

"Saya sendiri tidak paham apa yang dimaksud dengan 'cengeng'. Di kamus bahasa Indonesia tidak ada istilah itu," kata Obbie Messakh. Namun, Obbie mengakui pelarangan lagu-lagu manis ciptaannya juga membawa hikmah. Sebab, sejak itu dia sering diundang pejabat dan menteri-menteri.

Menurut Obbie, lagu 'Hati Yang Luka' itu justru membela kaum perempuan yang sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suami seenaknya main tangan. "Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu...," begitu antara lain lirik 'Hati Yang Luka'. Hanya saja, ungkapan advokasi versi Obbie Messakh dipahami secara berbeda oleh pemerintah, khususnya Pak Harmoko.

Setelah pelarangan pada 1988, Obbie Messakh tetap berkarya. Dia menulis lagu-lagu riang, bahkan pop dangdut. Masyarakat sempat suka, tapi tak sedahsyat lagu-lagu manis yang sudah menjadi trade mark Obbie Messakh. Dan, pelan tapi pasti, berakhirlah era keemasan Obbie Messakh, Pance Pondaag, Judhi Kristianto, Tommy J. Pisa, dan penyanyi-penyanyi sejenis. JK Records pun surut.

"Tapi saya senang karena sejak di JK Records sistem royalti sudah dipakai," ujar Obbie Messakh yang murah tawa itu. Gamblangnya, Obbie bisa membeli rumah, mobil, mencukupi nafkah keluarganya berkat royalti lagu-lagunya.

Sambil tidur-tidur ayam, saya menikmati Obbie Messakh menyanyikan dua lagu karyanya: Aduh Rindu dan Kau dan Aku Satu. Lagu-lagu ini pernah sangat terkenal di Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur. Saya masih ingat hampi semua bemo alias angkutan umum seakan berlomba menghibur para penumpang dengan lagu-lagu Obbie Messakh.

"Melodi, melodi memori
yang pernah kucipta
jadi teman setia....

Melodi, melodi memori
pengganti dirimu
penghibur sepi malamku...."

Pelajaran dari Pasal 76


Kamis, 4 September 2008

Makmur Keliat

Empat tahun UU TNI telah dikeluarkan. Yang amat kontroversial adalah Pasal 76. Pasal 76 mewajibkan pemerintah mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik langsung atau tak langsung.

Kontroversi atas pasal ini melahirkan beberapa hal. Pertama, tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan bisnis TNI. Penjelasan atas pasal ini hanya menyebutkan ”sudah jelas”. Kedua, meski UU TNI sudah berlaku selama empat tahun, pemerintah hingga kini belum bertindak nyata untuk mengambil alih.

Sejauh yang dapat dicermati, tanggapan pemerintah atas pasal ini adalah melalui pembentukan Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis TNI (TSTB) dan pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. TSTB dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan tahun 2005 dan telah menyelesaikan tugas identifikasinya. Timnas dibentuk melalui Keppres tahun 2008. Namun, kedua tim ini belum diberi wewenang untuk mengeksekusi Pasal 76.

Bagaimana menjelaskan kontroversi ini? Mengapa pasal itu hingga kini belum dieksekusi? Tidak ada penjelasan tunggal untuk menjawab berbagai pertanyaan ini. Maka, yang muncul adalah penjelasan- penjelasan yang bersifat spekulatif.

Empat spekulasi

Spekulasi pertama lahir dari kualitas pembuatan legislasi itu sendiri. Tidak adanya penjelasan tentang pasal ini disebutkan sebagai simbol dari kualitas yang memprihatinkan dari para legislator kita dalam membuat undang-undang. Undang-undang menjadi tidak operasional dan menjadi ”bom waktu” yang menyulitkan pemerintah. Ketidakjelasan bunyi Pasal 76 menjadi sebab mengapa pemerintah (dalam hal ini presiden) tidak dapat segera mengoperasionalkannya.

Pemerintah harus lebih dulu merumuskan apa yang dimaksud dengan bisnis TNI, makna kepemilikan, pengelolaan secara langsung atau tidak langsung. Setelah pemaknaan ini jelas, baru dilakukan pengidentifikasian, jumlah unit bisnis yang memiliki keterkaitan dengan TNI. Pembentukan TSTB dan Timnas dimaksudkan untuk mengurai benang kusut yang ditinggalkan pasal itu. Kesimpulannya: lembaga legislatif harus ikut menanggung beban mengapa eksekusi pengambilalihan belum dilakukan hingga kini.

Spekulasi kedua berusaha menjelaskan dari motif ekonomi. Eksekusi belum dilakukan karena memberi waktu bagi semua kegiatan bisnis melakukan metamorfosis. Pasal 76 memberi rentang waktu amat panjang untuk eksekusi, yaitu hingga 16 Oktober 2009. Karena itu, secara hukum tidak ada keharusan bagi presiden untuk segera mengeksekusi. Rentang waktu panjang ini dapat digunakan untuk mengubah status dokumen hukum dari ”bisnis” yang terkait TNI.

Pilihan metamorfosis juga dianggap sebagai jalan tengah untuk meminimalkan beban keuangan negara. Jika eksekusi segera dilakukan empat tahun lalu, ada kecemasan bahwa seluruh unit yang diambil alih itu ternyata rugi, memiliki utang besar, dan mengakibatkan tekanan beban anggaran yang kian besar. Tindakan seperti itu akan mengulangi pengalaman masa krisis finansial saat pemerintah melakukan pengambilalihan terhadap bisnis perbankan. Konklusi akhir dari penjelasan seperti ini adalah bahwa jika nantinya eksekusi pengambilalihan dilakukan, jumlah unit dan kekayaan yang diambil alih tidak terlalu besar dan dilakukan hanya untuk memenuhi ketentuan hukum.

Spekulasi ketiga terkait kepentingan stabilitas institusional TNI sendiri. Penjelasan berawal dari banyaknya jumlah personel TNI, diperkirakan mencapai 30.000 orang. Tidaklah mudah mengalihkan jumlah besar personel untuk masuk ke institusi TNI. Pengalihan harus dilakukan dengan menyiapkan kerangka kelembagaan serta phasing out-nya. Jika ini tidak dapat dilakukan, akan mengakibatkan dinamika dan instabilitas institusional di TNI. Kesimpulan dari penjelasan ini adalah pengambilalihan harus dilakukan secara hati-hati, membutuhkan waktu, dan menghindarkan seminimum mungkin terjadinya instabilitas institusional di lingkungan TNI.

Spekulasi keempat terkait karakter kepemimpinan nasional sebagai safety player dalam kompetisi politik nasional. Berbeda penjelasan lain, tanggung jawab dari pelambatan pengambilalihan sepenuhnya ada di tangan presiden. Karakternya yang amat hati-hati dan cenderung untuk menyenangkan semua pihak telah mengakibatkan formulasi eksekusi pengambilalihan harus dibuat seideal mungkin. Keharusan seperti ini membutuhkan waktu untuk perumusan. Dari sisi ini, pembentukan TSTB dan Timnas yang tidak diberi wewenang untuk melakukan eksekusi adalah simbol dari karakter psikologis itu.

Penjelasan itu juga menyebutkan sebenarnya amat sederhana untuk mengeksekusi pengambilalihan jika presiden menjadi seorang yang mengambil risiko, yaitu dengan menggunakan otoritasnya sebagai Panglima Tertinggi TNI. Konklusi akhir dari penjelasan ini adalah ”bola” pengambilalihan bisnis TNI kini sepenuhnya di tangan presiden.

Tebang semuanya?

Kompetisi dari empat wacana inilah yang kini mewarnai diskusi tentang pengambilalihan bisnis TNI. Terlepas dari spekulasi mana yang paling reliable, pelajaran terpenting yang dapat dipetik adalah negeri ini masih jauh dari negara hukum. Saat suatu hukum hendak diimplementasikan, kita cenderung ”berwacana”, bukan segera melaksanakan ketentuan itu. Sebagai suatu makna, hukum pada dasarnya adalah melegalkan proses politik. Namun, ketika proses politik sudah selesai bekerja, yaitu saat sudah menjadi UU, hukumlah yang harus bekerja.

Kontroversi Pasal 76 juga merupakan simbol ketidakmampuan kita untuk menarik garis demarkasi semacam itu. Ketidakmampuan itu tampaknya tidak hanya tipikal pada pengaturan atas aktor keamanan, tetapi juga hampir mencakup pengaturan seluruh aktor dalam bidang kehidupan lain. Itu sebabnya, mungkin kalimat ”tebang semuanya” tidak pernah dilakukan karena dianggap menjadi yang melukai diri sendiri (self-defeating).

MAKMUR KELIAT Pengajar di FISIP Universitas Indonesia