Monday, April 4, 2011

BACAAN DAN RENUNGAN

Senin, 4 April 2011, Pekan Prapaskah IV Yes. 65:17-21, Yoh. 4:43-54

Bacaan Injil:
Dan setelah dua hari itu Yesus berangkat dari sana ke Galilea, sebab Yesus sendiri telah bersaksi, bahwa seorang nabi tidak dihormati di negerinya sendiri. Maka setelah ia tiba di Galilea, orang-orang Galileapun menyambut Dia, karena mereka telah melihat segala sesuatu yang dikerjakan-Nya di Yerusalem pada pesta itu, sebab mereka sendiripun turut ke pesta itu. Maka Yesus kembali lagi ke Kana di Galilea, di mana Ia membuat air menjadi anggur. Dan di Kapernaum ada seorang pegawai istana, anaknya sedang sakit. Ketika ia mendengar, bahwa Yesus telah datang dari Yudea ke Galilea, pergilah ia kepada-Nya lalu meminta, supaya Ia datang dan menyembuhkan anaknya, sebab anaknya itu hampir mati. Maka kata Yesus kepadanya: "Jika kamu tidak melihat tanda dan mujizat, kamu tidak percaya." Pegawai istana itu berkata kepada-Nya: "Tuhan, datanglah sebelum anakku mati." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, anakmu hidup!" Orang itu percaya akan perkataan yang dikatakan Yesus kepadanya, lalu pergi. Ketika ia masih di tengah jalan hamba-hambanya telah datang kepadanya dengan kabar, bahwa anaknya hidup. Ia bertanya kepada mereka pukul berapa anak itu mulai sembuh. Jawab mereka: "Kemarin siang pukul satu demamnya hilang." Maka teringatlah ayah itu, bahwa pada saat itulah Yesus berkata kepadanya: "Anakmu hidup." Lalu iapun percaya, ia dan seluruh keluarganya. Dan itulah tanda kedua yang dibuat Yesus ketika Ia pulang dari Yudea ke Galilea.

Renungan:
Banyak hal dapat kita andaikan dari orang yang telah lama kita kenal, entah karena asal usul atau pengalaman. Tidak heran, ada kecenderungan terlalu percaya pada pengandaian yang tidak diperiksa.
Rumus selalu mengandung pengecualian dan hal itu membuat kita selalu mempunyai pengharapan bahwa hidup dapat menjadi lebih baik. Kita terkejut bahwa terjadi hal-hal di luar pengharapan dan dugaan kita, karena kita menutup diri kepada kemungkinan yang dapat terjadi di luar kontrol kita. Orang lain dapat melakukan sesuatu lebih baik dari kita. Orang lain yang tidak kita kenal tidak selalu menjadi musuh, tetapi bisa menjadi sahabat dan guru yang mengundang kita untuk melihat kebenaran dalam diri kita sendiri. Kita tidak pernah memiliki segalanya secara lengkap. Akan tetapi, hal itu bukan alas an bagi kita untuk menjadi picik.

Doa:
Bapa yang maha kuasa, sungguh kuasa-Mu luar biasa tiada taranya di dunia. Engkau adalah sungguh Bapa yang tahu apa yang diinginkan oleh anak-anaknya. Putera-Mu sendiri Kau utus untuk menyelamatkan dan menyembuhkan manusia. Manusia bisa disembuhkan karena percaya sungguh pada kata-kata Putera-Mu. Sebab itu, anugerahkanlah rahmat-Mu agar kami mampu menghargai dan belajar dari kebaikan orang lain. Amin.

Bacaan dan Renungan

Minggu, 3 April 2011 Pekan Prapaskah IV 1Sam. 16:1b,6,7,10-13a, Ef. 5:8-14, Yoh.9:1-41
Bacaan Injil:
Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia." Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.
Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata: "Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?" Ada yang berkata: "Benar, dialah ini." Ada pula yang berkata: "Bukan, tetapi ia serupa dengan dia." Orang itu sendiri berkata: "Benar, akulah itu." Kata mereka kepadanya: "Bagaimana matamu menjadi melek?" Jawabnya: "Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat." Lalu mereka berkata kepadanya: "Di manakah Dia?" Jawabnya: "Aku tidak tahu."
Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orang-orang Farisi. Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu, adalah hari Sabat. Karena itu orang-orang Farisipun bertanya kepadanya, bagaimana matanya menjadi melek. Jawabnya: "Ia mengoleskan adukan tanah pada mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat." Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: "Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat." Sebagian pula berkata: "Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?" Maka timbullah pertentangan di antara mereka. Lalu kata mereka pula kepada orang buta itu: "Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" Jawabnya: "Ia adalah seorang nabi." Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi, sampai mereka memanggil orang tuanya dan bertanya kepada mereka: "Inikah anakmu, yang kamu katakan bahwa ia lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat?" Jawab orang tua itu: "Yang kami tahu ialah, bahwa dia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta, tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakanlah kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri." Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan. Itulah sebabnya maka orang tuanya berkata: "Ia telah dewasa, tanyakanlah kepadanya sendiri." Lalu mereka memanggil sekali lagi orang yang tadinya buta itu dan berkata kepadanya: "Katakanlah kebenaran di hadapan Allah; kami tahu bahwa orang itu orang berdosa." Jawabnya: "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat." Kata mereka kepadanya: "Apakah yang diperbuat-Nya padamu? Bagaimana Ia memelekkan matamu?" Jawabnya: "Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?" Sambil mengejek mereka berkata kepadanya: "Engkau murid orang itu tetapi kami murid-murid Musa. Kami tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang Dia itu kami tidak tahu dari mana Ia datang." Jawab orang itu kepada mereka: "Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku. Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa." Jawab mereka: "Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?" Lalu mereka mengusir dia ke luar.
Yesus mendengar bahwa ia telah diusir ke luar oleh mereka. Kemudian Ia bertemu dengan dia dan berkata: "Percayakah engkau kepada Anak Manusia?" Jawabnya: "Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya." Kata Yesus kepadanya: "Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!" Katanya: "Aku percaya, Tuhan!" Lalu ia sujud menyembah-Nya. Kata Yesus: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta." Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepada-Nya: "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?" Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu."

Renungan:
Kesempatan untuk melihat sesuatu dalam semua dimensi memudahkan kita bukan saja membedakan bentuk dan warna, melainkan terutama kedalaman dan kesejatian. Yesus tidak saja membuat si buta melihat alam sekitarnya, tetapi menemukan siapa dirinya dan apa yang mesti dilihatnya. Yesus membuat si tunanetra melihat apa yang belum dan perlu dilihatnya, bukan saja untuk hidup sesaat, tetapi juga untuk selamanya.
Tuhan tidak hanya menolong kita agar kita melihat dengan benar, tetapi Dia juga menugaskan kita untuk menolong orang lain agar dapat melihat dengan benar. Setiap mukjizat yang kita peroleh secara cuma-cuma dari Tuhan, menjadi tanggung jawab kita agar semakin banyak orang merasakan dan membagikannya. Kita mesti melihat apa yang perlu kita lihat dan menolong orang lain agar melihat dengan jernih.

Doa:
Tuhan yang maha bijaksana, Engkau telah mengutus Putera-Mu ke tengah-tengah kami, supaya kami semakin percaya kepada-Mu. Namun seringkali kami berbuat seperti orang-orang Farisi, yang tidak mempercayai suatu rahmat luar biasa telah terjadi di tengah-tengah mereka dan menuduh bahwa Putera adalah orang berdosa, karena memelekkan mata orang pada hari Sabat. Karena itu, berikanlah kami kemampuan melihat dengan jeli hal-hal yang perlu kami lihat, bukan karena menarik, tetapi karena menyelamatkan. Amin.

“AIR SUSU IBU MENGERING”

(Catatan kemanusiaan)
Oleh: Valery Kopong*

Melihat cuplikan film “Tanah Air Beta” garapan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen mengisahkan tentang detik-detik terakhir ketika Timor-Timur (Timor Leste) yang menyatakan diri merdeka dan lepas-pisah dengan NKRI. Opsi yang digulirkan pemerintahan Habibie waktu itu membuka peluang besar bagi orang-orang Timor Lorosae (Timor matahari terbit) untuk menghirup nafas kebebasan. Tetapi apakah penentuan diri untuk merdeka menjadikan orang-orang yang pro kemerdekaan dan pro integrasi sama-sama merasakan kebahagiaan? Dua kelompok ini sama-sama merasakan penderitaan. Yang pro kemerdekaan juga masih mengalami derita dalam mempertahankan hidup. Sedangkan mereka yang pro integrasi, juga sampai sekarang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Film “Tanah Air Beta” menjadi menarik dan memiliki nilai sejarah yang mendalam karena dengan film ini sanggup menggugah kesadaran masyarakat umum, baik pemerintah daerah maupun Gereja untuk dapat memperhatikan kehidupan mereka ke depan.
Menurut catatan sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Yanuarius Koli Bau, bahwa kehidupan para pengungsi eks Timor-Timur saat ini lebih memprihatinkan dari pelbagai sisi kehidupan. Banyak tindakan kriminal dan asusila mulai terkuak ke permukaan hidup karena didorong oleh kehidupan yang serba tak menentu. Kehidupan saat ini saja tidak menentu, apa yang dapat diharapkan untuk waktu yang akan datang? Banyak anak yang terjerumus dalam aksi premanisme dan cara ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri dari tuntutan ekonomi. Ada perempuan yang berani melacurkan diri dan hal ini juga dilakukan demi menyambung hidup.
Apa yang disoroti oleh seorang sosiolog ini bukanlah sebuah rekayasa tetapi merupakan sebuah fakta yang sedang berpihak pada penderitaan rakyat miskin. Kemiskinan yang sedang dialami oleh para pengungsi eks Timor-Timur merupakan kemiskinan yang terstruktur dan korban dari sebuah guliran opsi yang tidak mempertimbangkan aspek humanitas. Apa yang harus dilakukan agar kehidupan mereka sekarang dan pada masa yang akan datang dapat terus berlanjut? Pertama, pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur perlu memperhatikan secara serius kehidupan yang tengah mereka jalani. Perhatian pertama ini ditujukan untuk pemulihan kehidupan ekonomi dan penataan perumahan yang layak pakai. Barangkali pemerintah menggalang dana dari para donatur dan disalurkan pada mereka sebagai modal awal untuk mengembangkan usaha-usaha kecil. Apabila pemerintah membuka dompet kemanusiaan untuk mereka, pasti banyak orang yang membantu, asalkan bantuan yang diberikan tepat pada sasaran.
Kedua, pihak Gereja katolik juga turut membantu kehidupan mereka. Keterlibatan Gereja dalam persoalan kemanusiaan merupakan suatu panggilan. Konsili Vatikan II menegaskan ciri pelayanan klerus sebagai orang-orang terpanggil demi pelayaan (Lumen Gentium 28, Prebyterorum Ordinis,2). Imam Katolik, dalam persatuan dengan uskup, dipanggil untuk meneruskan karya pelayanan Kristus kepada umat demi pertumbuhan roh dan perwujudan keadilan (LG, 21). Imam sebagai rekan kerja Uskup memperjuangkan keadilan karena tugas ini tidak terpisahkan dari karya penginjilan. Iustitia in Mundo, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan “Bertindak atas nama keadilan dan partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu dimensi pokok untuk mewartakan Injil atau dengan kata lain, dimensi yang pokok tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan yang menekan.”
Memang, keterlibatan Gereja terutama para imam, suster dan awam yang tergabung dalam TRUK-F waktu itu, begitu banyak menyelamatkan para pengungsi yang terbengkelai hidupnya. Tetapi apakah aksi penyelamatan korban merupakan akhir dari pelayanan? Aksi-aksi pelayanan nyata kelihatan kendor saat ini dan dengan penayangan film “Tanah Air Beta” di pentas nasional turut menggugah kembali kesadaran baik pemerintah daerah NTT dan Gereja Regio Nusra untuk berpacu dalam menyelamatkan generasi bangsa yang sedang mengalami pergulatan yang tidak mengenal titik batas penyelesaian.
Karya pastoral saat ini yang paling mendesak adalah bagaimana menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan juga adalah umat Allah. Apa yang dilakukan oleh Gereja merupakan panggilan profetis sebagai bagian integral warga negara Indonesia. Bahwa demi “Merah-Putih,” para pengungsi eks Timor-Timur tetap bertahan walau dalam kondisi yang lapar. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat Allah (baca: rakyat) harus juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para gembala (bdk. Gaudium et Spes artikel No. 1). Pemerintah dan Gereja mestinya sepakat dalam mengurus warga eks Timor-Timur yang sedang menunggu uluran tangan. Kedua lembaga terhormat ini jangan berhenti melepaskan tanggung jawab di “persimpangan hidup” mereka. Mereka butuh bantuan, baik moril maupun materiil. Tanpa uluran kemanusiaan dari mereka yang peduli maka hidup yang tengah dijalani “mungkin” bertahan untuk satu generasi ini. Dalam catatan keprihatinan Yanuarius Koli Bau, ia mengisahkan bahwa seorang bayi meninggal di tengah pelukan ibunya. Bayi itu tak berdaya dan ingin meminum air susu ibu, ternyata air susu ibu kehabisan karena ibunya sudah dua minggu tidak makan dan minum. Ia akhirnya meninggal ketika mulutnya sedang menyundut puting susu ibunya yang telah kering. “Gereja mesti solider dan peka dengan masalah kemanusiaan yang terus diderita umat sederhana jika gereja tidak ingin kehilangan jati diri sebagaimana yang dicita-citakan Yesus saat mendirikannya.” ***

ADONARA DI SUATU SORE

Oleh: Valery Kopong*

Ketika berlibur di kampung halamanku, Gelong-Adonara, sebuah berita buruk menyentak kesadaran seluruh warga. Waktu itu sekitar tahun 2001, terjadi pergolakan berdarah antara Tobi dan Lewokeda. Saya masih ingat baik, pada saat terjadi ketegangan antarkampung ini, Pater Piet Payong, SVD mengadakan pendekatan agar meminimalisir pertikaian yang bakal terjadi. Upaya ini sedikit membawa hasil, namun ketegangan kembali terjadi saat Pater Piet, putera asal Lewokeda yang kini menjadi misionaris di Filipina sudah berada di Jakarta untuk seterusnya melanjutkan perjalanan ke tanah misi.
Sore itu begitu mendung. Kabut tipis menggelantung di langit Adonara seakan memberi isyarat bahwa perang terus terjadi dan korban jatuh di medan laga. Tetapi apakah para deket (julukan orang yang berani dalam perang) Adonara mengurung niat untuk ledan dopi, kenube dan gala? (meletakkan perisai, parang dan tombak). Orang-orang yang terlibat dalam perang umumnya, sepertinya haus akan darah manusia. Sebelum korban jatuh dan tubuhnya dicincang serta kepalanya dipenggal, belum ada titik kepuasan untuk mengakhiri sebuah pertandingan berdarah itu. Memang, setiap anak lelaki Adonara sudah ditanam kuat dalam dirinya untuk selalu tampil berani bahkan ketika perang berkecamuk, para lelaki perlu dipersenjatai untuk terlibat dalam perang. Bagi mereka (laki-laki dewasa) yang tidak terlibat dalam perang, diejek oleh sesamanya bahkan dikatai, “lebih baik pake rok saja.” Artinya, dalam ejekan itu tersirat bahwa setiap laki-laki dewasa perlu memperlihatkan diri sebagai penjaga yang perkasa dan terlibat aktif dalam medan peperangan yang menawarkan nyawa.
Dengan melihat kondisi lewotana (kampung halaman) yang terus menyuburkan tindakan kekerasan yang destruktif maka tak heran bahwa pada zaman dulu, Adonara pernah dijuluki sebagai “The killer island,” pulau pembunuh. Julukan ini mendapat afirmasi yang kuat ketika “kisah peperangan” semakin mendapat tempat dalam perhelatan berdarah itu. Apakah dengan jatuhnya korban maka perang tanding dapat selesai dan lenyap dari bumi berdarah itu? Tidak! Situasi berhenti dan tenang sesaat dan pada paruh waktu lain perang tentu berkecamuk lagi. Kebanyakan orang mengatakan bahwa perang terus terjadi secara turun temurun dan karena merupakan darah tanggungan maka kenyataan ini mesti dihadapi dalam terang pemikiran yang jernih.

Embrio kabupaten?

Beberapa hari terakhir ini upaya untuk membentuk dan membangun kabupaten menjadi kabupaten mandiri sedikit menampakkan titik terang perjuangan. Perjuangan ini tentu mendapat respons yang baik terutama di kalangan elite politik yang berasal dari Adonara. Lembata saja bisa menjadi sebuah kabupaten. Mengapa Adonara tidak sanggup? Kata-kata ini menjadi sumber inspirasi sekaligus menyulut kesadaran untuk terus berjuang dalam “lumpur waktu.”
Perjuangan para elite politik adalah murni sebagai perjuangan keberpihakkan pada kepentingan publik? Pertanyaan yang cukup menohok ini perlu dilontarkan sebagai cara untuk menggali logika keberpihakkan yang kian teruji. Membaca beberapa tulisan yang dimuat pada koran lokal tentang Adonara kabupaten, salah satu hal yang terkuat adalah “pembentukan kabupaten” berlandaskan kekecewaan elite politik yang tidak berhasil masuk dalam lingkup dewan perwakilan rakyat daerah Flores Timur.
Dengan pembentukan kabupaten yang bermula dari kekecewaan maka bakal akan memunculkan persoalan baru ketika Adonara berdiri penuh sebagai kabupaten, terlepas dari induknya Flores Timur. Persoalan baru muncul yaitu animo politik dari para elite yang tidak berhasil masuk dalam jajaran anggota DPRD Flotim, tentunya dengan pelbagai cara menuntut jatah kursi kekuasaan untuk menyudahi perjuangan yang dilakukan selama ini. Di sini, bakal muncul politik balas budi bagi mereka yang menamakan diri berjuang di atas “rel politik” dalam membangun Adonara sebagai sebuah kabupaten.

Politik kekerasan
Melihat peta perjalanan kehidupan orang-orang Adonara di atas maka tak dapat dipungkiri bahwa seninya berpolitik ala Adonara adalah seni untuk menjegal lawan dengan cara yang paling kejam sekalipun. Apabila selama ini terjadi peperangan dengan mempersoalkan batas tanah sebagai sumber kehidupan maka mungkin ke depan, para elite politik pun turut berperang antarmereka dengan mempersoalkan, siapa yang paling berjasa dalam memperjuangkan dan menegakkan kabupetan itu. Ruang lingkup politik adalah medan baru dan sekaligus lahan subur yang menjanjikan kehidupan bagi mereka yang pintar berbicara alias politikus.
Persoalan tanah kini semakin sempit dan dengan itu mereka terus mempertahakan diri dengan berdiri tegak di atas lahan dan ditemani oleh parang dan tombak. Apakah panorama kekerasan bakal beralih ke medan politik? Boleh jadi!! Karena yang bermain dalam pusaran politik adalah orang-orang Adonara sendiri yang hampir seluruh karakternya terpola oleh suguhan kekerasan yang dialami sejak dini. Kekerasan politik bisa juga terjadi dalam kalangan elite sendiri maupun terjadi di kalangan massa pendukung.
Ada satu hal lagi yang diperdebatkan adalah ibu kota kabupaten nanti. Apakah Waiwerang ataukah Waiwadan? Pertentangan pandangan geografis terus bermunculan dan menjadi wacana yang menggelisahkan. Orang Adonara Barat tentu tidak rela kalau ibu kota kabupaten berada di wilayah timur. Ada satu alasan sederhana yaitu, untuk urusan administrasi, ternyata memakan waktu dan biaya. Jauh lebih murah dan mudah ke Larantuka ketimbang ke Adonara Timur. Sementara itu, orang Adonara Timur memiliki kepentingan yang kuat dengan pendirian Adonara yang bakal jadi kabupaten. Karena itu pasti mereka tidak rela membangun ibu kota di wilayah Adonara Barat. Beberapa isu yang sempat saya himpun, menginformasikan bahwa kemungkinan akan dibangun pusat pemerintahan di Waikewak yang tempatnya menghubungkan antara wilayah Koli yang mewakili Adonara Timur dan Waikewak mewakili Adonara Barat.
Isu pembukaan area yang menjadi bakal pusat pemerintahan ini mengundang kecemasan bagi masyarakat Koli yang notabene berpenduduk petani yang areal pertanian mereka berada pada batas dengan Waikewak dan Waiwadan. Andaikan rumor ini terpenuhi maka sebagian wilayah Koli kehilangan areal pertanian karena bakal disunglap jadi pusat perkantoran. Isu tentang pembentukan kabupaten baru dan areal yang akan dijadikan pusat perkantoran menjadi polemik yang menegangkan sekaligus membuka konflik, sebelum memasuki konflik politik yang lebih besar.

Menyoroti masalah harmoni dan konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat. Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga perjuangan para elite politik membawa sebuah isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu mahalkah damai di bumi kampungku?***

Sunday, April 3, 2011

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek jubah-Nya menyeret luka-luka kudus
Dibelai debu tanjakan tiada lagi lurus
Kaki-kaki-Nya mememar nestapa
Ada perhentian di tikungan sini
Kembang-kembang pinggir jalanan
Tersenyum menyapanya dalam lara
Hmmm…..bunga-bunga luka semesta
Betapa bahagianya bersua tatap
Dengan yang tunggal luka penciptanya
Air dan darah bermuarah di sini
Menyegarkan kembali kembang-kembang jalanan
Jadi jumbai penghias jubah penciptanya

Thursday, March 31, 2011

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek tangan-Nya menggenggam tongkat
Tongkat berduri singgasana Daud Bapa-Nya
Wahai tangan-tangan suci!
Tak terhapus bekas-bekas kusta dunia buatannya
Sisa-sisa nista bisu-tuli-buta-lumpuh
Tak akan berhenti mewartakan ketololan ini
Wajah derita sejagat terpahat abadi di sana
Betapa beningnya pantulan cinta penuh derita
Yang disandang dari Betlehem sampai Golgota
“Aku Gembala yang baik!
Dan kau seret Aku bagai domba ke pembantaian”

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek lidah-Nya melumat kebenaran
Kala Pilatus mencuci tangan tak bersalah
Sejak itu lidah-lidah pemalsuan terus membiak
Oh! Gabatha kejam!
Betapa kujungkirbalikan keadilan
Tatkala panji-panji kebenaran kaucampakkan
Demi kuasa bertakhta di atasmu
Duhai! Sejuta kepalsuan temuruh dari sini
Ketika yang sulung lahir dalam tanda Tanya
“Apakah kebenaran itu?”

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek mulut-Nya mengatup emosi
Tersumbat pula kerongkongan-Nya emas murni
Duhai! Betapa ruangan ini diserbak sanksi
Bau ahli Taurat dan…..farisi
Sama-sama melebur dalam tengkik Saduki
Sia-sia Magdalena pecahkan pualam minyak wangi
Aromanya telah pupus dibau keringat dekil
Rakyat jengkel tersengat sanksi penggepe
Sombongkah keadilan terpancang di sini
“Mengapa Aku kau tampar?!!

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek wajah-Nya dikecup pasukan Yudas
Ludah-ludah khianat melekat di pipi-Nya
Zaitun! Zaitun….! Zaitun
Aromamu membaur dalam angkara sejagat
Dosa manca benua bergelantungan di rantingmu
O o o……wajah yang ramah
Tak pantas ditampar bara khianat
Sisa-sisa cinta masih membaur di sana
“Ya Bapa, akan kureguk semuanya
kehendakmu, jadilah!”