Monday, April 4, 2011

ADONARA DI SUATU SORE

Oleh: Valery Kopong*

Ketika berlibur di kampung halamanku, Gelong-Adonara, sebuah berita buruk menyentak kesadaran seluruh warga. Waktu itu sekitar tahun 2001, terjadi pergolakan berdarah antara Tobi dan Lewokeda. Saya masih ingat baik, pada saat terjadi ketegangan antarkampung ini, Pater Piet Payong, SVD mengadakan pendekatan agar meminimalisir pertikaian yang bakal terjadi. Upaya ini sedikit membawa hasil, namun ketegangan kembali terjadi saat Pater Piet, putera asal Lewokeda yang kini menjadi misionaris di Filipina sudah berada di Jakarta untuk seterusnya melanjutkan perjalanan ke tanah misi.
Sore itu begitu mendung. Kabut tipis menggelantung di langit Adonara seakan memberi isyarat bahwa perang terus terjadi dan korban jatuh di medan laga. Tetapi apakah para deket (julukan orang yang berani dalam perang) Adonara mengurung niat untuk ledan dopi, kenube dan gala? (meletakkan perisai, parang dan tombak). Orang-orang yang terlibat dalam perang umumnya, sepertinya haus akan darah manusia. Sebelum korban jatuh dan tubuhnya dicincang serta kepalanya dipenggal, belum ada titik kepuasan untuk mengakhiri sebuah pertandingan berdarah itu. Memang, setiap anak lelaki Adonara sudah ditanam kuat dalam dirinya untuk selalu tampil berani bahkan ketika perang berkecamuk, para lelaki perlu dipersenjatai untuk terlibat dalam perang. Bagi mereka (laki-laki dewasa) yang tidak terlibat dalam perang, diejek oleh sesamanya bahkan dikatai, “lebih baik pake rok saja.” Artinya, dalam ejekan itu tersirat bahwa setiap laki-laki dewasa perlu memperlihatkan diri sebagai penjaga yang perkasa dan terlibat aktif dalam medan peperangan yang menawarkan nyawa.
Dengan melihat kondisi lewotana (kampung halaman) yang terus menyuburkan tindakan kekerasan yang destruktif maka tak heran bahwa pada zaman dulu, Adonara pernah dijuluki sebagai “The killer island,” pulau pembunuh. Julukan ini mendapat afirmasi yang kuat ketika “kisah peperangan” semakin mendapat tempat dalam perhelatan berdarah itu. Apakah dengan jatuhnya korban maka perang tanding dapat selesai dan lenyap dari bumi berdarah itu? Tidak! Situasi berhenti dan tenang sesaat dan pada paruh waktu lain perang tentu berkecamuk lagi. Kebanyakan orang mengatakan bahwa perang terus terjadi secara turun temurun dan karena merupakan darah tanggungan maka kenyataan ini mesti dihadapi dalam terang pemikiran yang jernih.

Embrio kabupaten?

Beberapa hari terakhir ini upaya untuk membentuk dan membangun kabupaten menjadi kabupaten mandiri sedikit menampakkan titik terang perjuangan. Perjuangan ini tentu mendapat respons yang baik terutama di kalangan elite politik yang berasal dari Adonara. Lembata saja bisa menjadi sebuah kabupaten. Mengapa Adonara tidak sanggup? Kata-kata ini menjadi sumber inspirasi sekaligus menyulut kesadaran untuk terus berjuang dalam “lumpur waktu.”
Perjuangan para elite politik adalah murni sebagai perjuangan keberpihakkan pada kepentingan publik? Pertanyaan yang cukup menohok ini perlu dilontarkan sebagai cara untuk menggali logika keberpihakkan yang kian teruji. Membaca beberapa tulisan yang dimuat pada koran lokal tentang Adonara kabupaten, salah satu hal yang terkuat adalah “pembentukan kabupaten” berlandaskan kekecewaan elite politik yang tidak berhasil masuk dalam lingkup dewan perwakilan rakyat daerah Flores Timur.
Dengan pembentukan kabupaten yang bermula dari kekecewaan maka bakal akan memunculkan persoalan baru ketika Adonara berdiri penuh sebagai kabupaten, terlepas dari induknya Flores Timur. Persoalan baru muncul yaitu animo politik dari para elite yang tidak berhasil masuk dalam jajaran anggota DPRD Flotim, tentunya dengan pelbagai cara menuntut jatah kursi kekuasaan untuk menyudahi perjuangan yang dilakukan selama ini. Di sini, bakal muncul politik balas budi bagi mereka yang menamakan diri berjuang di atas “rel politik” dalam membangun Adonara sebagai sebuah kabupaten.

Politik kekerasan
Melihat peta perjalanan kehidupan orang-orang Adonara di atas maka tak dapat dipungkiri bahwa seninya berpolitik ala Adonara adalah seni untuk menjegal lawan dengan cara yang paling kejam sekalipun. Apabila selama ini terjadi peperangan dengan mempersoalkan batas tanah sebagai sumber kehidupan maka mungkin ke depan, para elite politik pun turut berperang antarmereka dengan mempersoalkan, siapa yang paling berjasa dalam memperjuangkan dan menegakkan kabupetan itu. Ruang lingkup politik adalah medan baru dan sekaligus lahan subur yang menjanjikan kehidupan bagi mereka yang pintar berbicara alias politikus.
Persoalan tanah kini semakin sempit dan dengan itu mereka terus mempertahakan diri dengan berdiri tegak di atas lahan dan ditemani oleh parang dan tombak. Apakah panorama kekerasan bakal beralih ke medan politik? Boleh jadi!! Karena yang bermain dalam pusaran politik adalah orang-orang Adonara sendiri yang hampir seluruh karakternya terpola oleh suguhan kekerasan yang dialami sejak dini. Kekerasan politik bisa juga terjadi dalam kalangan elite sendiri maupun terjadi di kalangan massa pendukung.
Ada satu hal lagi yang diperdebatkan adalah ibu kota kabupaten nanti. Apakah Waiwerang ataukah Waiwadan? Pertentangan pandangan geografis terus bermunculan dan menjadi wacana yang menggelisahkan. Orang Adonara Barat tentu tidak rela kalau ibu kota kabupaten berada di wilayah timur. Ada satu alasan sederhana yaitu, untuk urusan administrasi, ternyata memakan waktu dan biaya. Jauh lebih murah dan mudah ke Larantuka ketimbang ke Adonara Timur. Sementara itu, orang Adonara Timur memiliki kepentingan yang kuat dengan pendirian Adonara yang bakal jadi kabupaten. Karena itu pasti mereka tidak rela membangun ibu kota di wilayah Adonara Barat. Beberapa isu yang sempat saya himpun, menginformasikan bahwa kemungkinan akan dibangun pusat pemerintahan di Waikewak yang tempatnya menghubungkan antara wilayah Koli yang mewakili Adonara Timur dan Waikewak mewakili Adonara Barat.
Isu pembukaan area yang menjadi bakal pusat pemerintahan ini mengundang kecemasan bagi masyarakat Koli yang notabene berpenduduk petani yang areal pertanian mereka berada pada batas dengan Waikewak dan Waiwadan. Andaikan rumor ini terpenuhi maka sebagian wilayah Koli kehilangan areal pertanian karena bakal disunglap jadi pusat perkantoran. Isu tentang pembentukan kabupaten baru dan areal yang akan dijadikan pusat perkantoran menjadi polemik yang menegangkan sekaligus membuka konflik, sebelum memasuki konflik politik yang lebih besar.

Menyoroti masalah harmoni dan konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat. Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga perjuangan para elite politik membawa sebuah isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu mahalkah damai di bumi kampungku?***

1 comment:

Anonymous said...

Adonara, lewo tanah go'en