Oleh: Valery Kopong*
Siapa yang tidak mengenal pulau Buru, sebuah pulau di mana ribuan orang dibuang dan disiksa, karena dituduh oleh pemerintah Orde Baru sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh rezim tersebut selama kekuasaannya. Di pulau yang ditumbuhi oleh pohon-pohon penghasil minyak kayu putih itu pula, seorang punggawa sastrawan bangsa, Pramoedya Ananta Toer di buang karena ketajaman karya-karya sastranya dianggap dapat merobek kekuasaan Soeharto kala itu. Orang-orang cerdas dan memberikan kritik di zaman itu, menjadi sebuah ancaman bagi dirinya. Pramoedya Ananta Toer (almahrum), seorang novelis yang karena cerita novelnya dan memberikan kritik terhadap pemerintah maka ia diasingkan (dibuang) ke pulau Buru, sebuah pulau terpencil di daerah Maluku. Apa tujuan dari pembuangan orang-orang yang dianggap berpengaruh itu? Yang jelas adalah “menjerat” kebebasan mereka untuk tidak lagi bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Walaupun dipenjara dan dibuang ke pulau Buru, Pram, tetap eksis dan melakukan aktivitasnya sebagai seorang penulis. Secara fisik, ia (Pram) terpenjara tetapi imajinasi dan gagasan-gagasannya tidak pernah terpenjara oleh rezim mana pun. Ia bahkan memperlihatkan diri sebagai orang yang produktif, novelis yang sejati. Masih ingat, “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu?” Ini adalah judul novel yang ditulis oleh Pram dari balik jeruji besi. Imajinasi, gagasan yang tertuang dalam buku menjadi sajian menarik bagi publik dan dikonsumsi oleh setiap anak zaman dari generasi ke generasi. Mereka yang dibuang ke pulau Buru, bukanlah para koruptor yang menggerogoti uang negara, melainkan mereka yang “kaya gagasan” atau mereka adalah tukang kritik yang handal.
Eksistensi mereka tak pernah sepi dari ancaman, bahkan dihambat perkembangannya. Kondisi seperti ini telah dan terus terjadi sebagai bentuk penyapaan dari resiko yang dihadapi. Beberapa tokoh ternama pada masa silam, mengalami kisah pembuangan, bahkan Soekarno, presiden pertama Indonesia pernah dibuang ke Ende-Flores oleh bangsa penjajah sebagai upaya untuk memutuskan mata rantai dalam berkomunikasi. Pengalaman pahit ini tidak menciutkan nyali mereka dalam berjuang dengan caranya masing-masing demi kepentingan bangsa dan negara.
Singapura, Penyelamat para Koruptor
Antara Singapura dan pulau Buru, sedikit memiliki titik kesamaan, yaitu sebagai tempat untuk mengasingkan diri. Di Pulau Buru, para penghuninya terpaksa diasingkan tetapi para koruptor di Singapura, sengaja melarikan diri, mengasingkan diri demi menutup kesalahan yang selama ini dilakukannya. Para koruptor Indonesia, kebanyakan melarikan diri ke Singapura karena dirasa aman dari sentuhan pihak keamanan dan pemerintah terutama Indonesia. Kedua negara ini, Singapura dan Indonesia belum ada perjanjian ekstradisi, karenanya dilihat sebagai peluang emas bagi mereka untuk mencari rasa aman. Tidak hanya itu, para koruptor juga menginvestasi “modal haramnya” di negeri Singapura. Dalam salah edisi di harian KOMPAS, mengulas secara detail tentang investasi yang dilakukan oleh para koruptor Indonesia. Apartemen-apartemen mewah yang ada di Singapura, kebanyaknya dimiliki oleh orang-orang Indonesia, yang nota bene adalah koruptor.
Beberapa bulan terakhir ini, nama-nama para koruptor sempat dilacak ke beberapa negara, seperti Nunun. Dan nama yang paling santer saat ini adalah Nazaruddin, mantan bendahara umum partai demokrat menghiasi seluruh media. Namanya menjadi tersohor seketika dan wajahnya menjadi lebih familiar karena masyarakat lebih sering bersentuhan dengan tontotan para politikus yang lagi bermasalah. Sampai dengan saat ini KPK telah menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka, namun ia tak pernah nongol di negeri ini. Mengapa Nazaruddin menjadi terkenal dan seolah-olah media sepakat untuk menempatkannya sebagai ikon koruptor, secara khusus berkaitan dengan wisma atlet?
Andaikan Nazaruddin bukanlah anggota partai demokrat, pasti lain ceritanya. Mengapa? Setiap persoalan yang terjadi di Indonesia selalu dipolitisir demi kepentingan pribadi atau kelompok dan menjatuhkan lawan politik. Politik menjadi ruang terbuka bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang diadili secara publik. Nazaruddin menjadi sosok yang korban persepsi publik, sedangkan yang lain masih dari jangkauan pencercaan. Presiden SBY sudah memerintahkan untuk menangkap Nazaruddin. Perintah penangkapan ini, oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti, menilainya sangat diskriminatif. “Entah mengapa SBY hanya meminta Nazaruddin yang dijemput paksa, sementara tidak menyebut nama-nama lain dengan kejahatan yang sama yang kini bermukim di luar negeri,” (Republika, Senin, 4 Juli 2011, halaman 3). Menurutnya ada sekitar 15 nama yang telah ditetapkan sebagai pelaku kejahatan korupsi yang kini hidup di luar negeri. Ray menyarankan, lembaga penegak hukum mengejar semua tersangka kasus korupsi yang kini berada di luar negeri.
Menyimak perintah SBY dalam upaya penangkapan Nazaruddin, perlu dikaji dalam terang politik-filosofis. Apa yang disampaikan SBY hanya sebagai trik untuk mengelabui rakyat yang menunggu keputusan presiden dalam menyelesaikan masalah korupsi yang melibatkan para petinggi partai demokrat. Upaya ini hanyalah sia-sia karena ini merupakan skenario yang dapat mengumpan kembali citra partai yang sedang anjlok. Bagaimana mungkin seorang pemasok keuangan untuk ‘denyut nadi” demokrat ditangkap dan dipenjarakan? Bagaimana nasib partai kalau si pemilik uang dibekukan?
Nazaruddin, membeberkan nama-nama yang terlibat korupsi wisma atlet. Apa yang dikatakannya merupakan ungkapan ketakutan sekaligus mencari teman agar sama-sama sebagai pesakitan karena didera oleh mata publik. Sebaiknya, sambil menunggu kedatangan Nazaruddin nama-nama petinggi partai yang terlibat dalam kasus wisma atlet mestinya dimintai keterangan. Hanya yang menjadi problem adalah, ketika nama mereka mencuat, berkali-kali mereka menyatakan diri bersih dan bahkan bersumpah pada Tuhan bahwa ia tidak pernah melakukan tindakan korupsi. Di hadapan Tuhan, para koruptor menyatakan diri bersih, tetapi Tuhan belum waktunya membuka mulut untuk menyatakan kebenaran itu.
Menyatakan sumpah di depan publik yang dilakukan oleh seorang politisi merupakan cara sederhana membebaskan diri dari kejaran media dan publik. Apa yang dilakukan itu juga merupakan sebuah ungkapan ketakutan, karenanya menghadirkan Tuhan sebagai teman, sekaligus pemberi kekuatan dalam menghadapi persoalan. Di lain pihak, terseretnya seorang politisi, biasanya juga ia menyeret nama-nama lain untuk bersanding dengannya. Seperti Nazaruddin yang membeberkan nama sahabat-sahabatnya juga merupakan ungkapan ketakutan dan dalam ketakutan itu, ia meminta orang lain sebagai teman koruptor agar masyarakat tidak lagi memusatkan perhatian padanya.
Di dalam suasana ketakutan, sangat mudah orang lain melihat orang lain sebagai lawan dan sekaligus ancaman bagi dirinya. Seperti Nazaruddin, “bernyanyi” dalam ketakutan dari negeri singa, agar nyanyian itu didengarkan. Tetapi mengapa harus dari Singapura? Dari Singapura, ia dengan leluasa mengingat kembali, siapa-siapa saja yang menerima uang suap. Singapura adalah tempat refleksi bagi para koruptor untuk melihat, seberapa besar perbuatannya berdampak pada masyarakat luas. Singapura, memang seperti Singa, yang selalu mengaum-ngaum mencari mangsa.
“Sejahat-jahatnya singa, tak pernah memakan anaknya sendiri.” Itu ungkapan yang jauh bertolak belakang dengan sikap Nazaruddin. Orang yang pertama-tama dia makan adalah orang-orang dekatnya sendiri, “anak partai” bahkan petinggi partai. Barangkali ia mau membersihkan partai, mulai dari pembenahan internal partai itu sendiri. “Kalau mau membersihkan rumah orang lain, bersihkan dulu rumah sendiri.” Dari Singapura, para koruptor berpura-pura. Seperti skenario yang dilakukan partai Demokrat yakni membentuk tim khusus mengunjungi Nazaruddin di Singapura, ternyata hasilnya nihil. Pulau Buru, pulau yang menyeramkan tetapi anak bangsa tetap mengenang pulau itu dan orang-orang yang cerdas dibuang ke sana. Sementara itu Singapura, negeri berarca Singa namun “berkepak ayam” yang selalu melindungi para koruptor. Singapura, janganlah berpura-pura jadi singa agar mangsamu tidak punya alasan untuk merasa takut.***