Monday, December 12, 2022

Mengenang Gempa Pada 30 Tahun Silam

 

Hari ini, 12 Desember merupakan hari yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Flores karena pada moment itu, terjadi gempa yang sangat dahsyat waktu itu. Saya sendiri berada di bangku sekolah, kelas XI SMA Seminari Hokeng.  Pada titik ini, saya bisa mengenang kembali tragedi gempa tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya 12 Desember 1992. Peristiwa itu terjadi pada siang hari di mana para penghuni asrama sedang menikmati tidur siang. Tiba-tiba terdengar gemuruh yang membahana dan sekaligus memporak-porandakan bangunan serta menelan begitu banyak korban jiwa.

Setelah peristiwa gempa berkekuatan 6,2 skala richter, keesokan harinya kami semua yang tinggal di asrama diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Mengemas barang-barang dan memikulnya sambil berjalan puluhan kilo meter. Pulang kampung memang menyenangkan tetapi ketika pulang pada peristiwa gempa 12 Desember 1992, kami harus berjalan kaki. Dalam perjalanan, kami mengalami rasa lapar dan haus. Tak ada orang yang jualan makanan di pinggir jalan. Semua pada panik dan berusaha menyelamatkan diri.

Dari mana kami memperoleh makanan dan minuman? Untuk bisa memenuhi kebutuhan lapar dan haus, kami mulai memetik kelapa yang ada di pinggir jalan raya. Dalam kondisi seperti itu, terpaksa memetik buah kelapa dan memakan daging kelapa hanya untuk menahan rasa lapar supaya bisa meneruskan perjalanan. Sambil menikmati buah kelapa, perjalanan terus berlanjut. Menikmati buah kelapa yang dipetik pada kebun orang tanpa meminta ijin, di satu sisi adalah perbuatan yang salah tetapi dalam kondisi yang memaksa maka apa pun yang bisa dimakan, dimakan juga sebagai upaya untuk mempertahankan diri.


Berjalan menempuh puluhan kilo meter, sepertinya tanpa lelah karena kami berjalan bergerombolan. Tak ada satu bus pun yang lewat di jalan raya karena hampir semua jalan trans Flores putus akibat longsor dan ditutupi oleh batu-batu yang besar.  Perjalanan kami hampir mendekat Lewo Laga, sebuah perkampungan di pinggir jalan raya. Di situlah kami bisa menumpang truk milik PU (dinas Pekerjaan Umum) yang sedang memantau kerusakan jalan raya. Ada niat baik dari sang sopir untuk kami menumpang dan seterusnya dibawa ke kota Larantuka. Kami terpencar untuk mencari penginapan masing-masing. Teman-teman yang berasal dari Adonara dan Lembata harus menunggu kapal motor untuk seberang ke pulau masing-masing. Mengingat tragedi itu, sepertinya mengingat murka Allah. Namun Allah masih setia melindungi umat-Nya.***(Valery Kopong)

 

 

No comments: