Sore yang mendung dengan rinai hujan
membasahi jalanan menuju rumah tua itu. Hampir setengah jam aku melangkah
menyusuri lorong-lorong kota untuk mencari rumah berpenghuji pasangan sepuh. Oma, sapaan orang-orang sekitar
terhadap ibu Maryani, wanita berdarah Tinghoa itu yang hidup berkeluarga dengan
Opa Hendrik yang sudah mencapai emas pernikahan. Obrolan kami di teras rumah
semakin menunjukkan keakraban yang luar biasa. Sesekali mereka bercanda
mengenang masa-masa lalu yang penuh romantis. Ketika muda, Maryani dan Hendrik
selalu meluangkan waktu untuk berlibur bersama ke tempat-tempat ternama di
hampir seluruh dunia. Apa yang mereka lakukan tidak lain adalah upaya untuk
mempertahankan cinta suci perkawinan yang telah mereka ikrarkan di altar suci.
Cinta, di mata kedua orang itu adalah
bentuk pengorbanan diri secara utuh. Cinta memang harus membagi bagi
lawannya. Tetapi memang, dalam kepulan
waktu dan deraan zaman, cinta terus ditantang, terus digusur dari tengah-tengah
kehidupan. Apa jadinya kalau hidup tanpa cinta? Apakah seseorang bisa atau keluarga bisa bertahan
hidup bisa cinta tidak bersinar lagi? Obrolan kami di sore hari ketika matahari
beranjak menuju peraduan, terasa sepertinya baru semenit memulai pertemuan itu,
walau kenyataannya kami sudah bercerita selama dua jam penuh. Menurut Opa,
cinta yang menyatu dan tidak egois, mirip dengan matahari kehidupan. Saat
matahari mulai memancarkan sinarnya di pagi hari, semua makhluk pun disapa
dengan senyum sinar kelembutan. Opa terkesan reflektif dan romantis saat
memapah kami dalam obrolan yang tidak mengenal waktu.
Kehidupan mereka ibarat sebuah jangkar yang terus membenamkan diri
demi sebuah kapal yang bernama “keluarga.” Menurutnya, cinta itu manis saat
baru mulai tetapi lebih manis ketika tidak pernah berakhir. Untaian kata-kata
ini merupakan refleksi dari sebuah perjalanan cinta yang menorehkan begitu
banyak pengalaman. Pengalaman jatuh-bangun dalam membangun sebuah mahligai
rumah tangga menjadi titik tuju. “Apa pun yang kami lakukan, seluruhnya
berlandaskan cinta. Karenanya, apa pun kesalahan dari pasangan mestinya diterima dengan
lapang dada sembari menata kesalahan yang telah dibuatnya.” Cinta itu seperti
sebuah pohon yang selalu menghasilkan buah di setia musim dan setiap orang
berhak untuk memetiknya. Mungkinkah setiap
kita untuk memetiknya?*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment