Monday, April 11, 2016

CINTA MEMBARA DI UJUNG SENJA KEHIDUPAN


Sore yang mendung dengan rinai hujan membasahi jalanan menuju rumah tua itu. Hampir setengah jam aku melangkah menyusuri lorong-lorong kota untuk mencari rumah berpenghuji  pasangan sepuh. Oma, sapaan orang-orang sekitar terhadap ibu Maryani, wanita berdarah Tinghoa itu yang hidup berkeluarga dengan Opa Hendrik yang sudah mencapai emas pernikahan. Obrolan kami di teras rumah semakin menunjukkan keakraban yang luar biasa. Sesekali mereka bercanda mengenang masa-masa lalu yang penuh romantis. Ketika muda, Maryani dan Hendrik selalu meluangkan waktu untuk berlibur bersama ke tempat-tempat ternama di hampir seluruh dunia. Apa yang mereka lakukan tidak lain adalah upaya untuk mempertahankan cinta suci perkawinan yang telah mereka ikrarkan di altar suci.
Cinta, di mata kedua orang itu adalah bentuk pengorbanan diri secara utuh. Cinta memang harus membagi bagi lawannya.  Tetapi memang, dalam kepulan waktu dan deraan zaman, cinta terus ditantang, terus digusur dari tengah-tengah kehidupan. Apa jadinya kalau hidup tanpa cinta? Apakah  seseorang bisa atau keluarga bisa bertahan hidup bisa cinta tidak bersinar lagi? Obrolan kami di sore hari ketika matahari beranjak menuju peraduan, terasa sepertinya baru semenit memulai pertemuan itu, walau kenyataannya kami sudah bercerita selama dua jam penuh. Menurut Opa, cinta yang menyatu dan tidak egois, mirip dengan matahari kehidupan. Saat matahari mulai memancarkan sinarnya di pagi hari, semua makhluk pun disapa dengan senyum sinar kelembutan. Opa terkesan reflektif dan romantis saat memapah kami dalam obrolan yang tidak mengenal waktu.

Kehidupan mereka ibarat  sebuah jangkar yang terus membenamkan diri demi sebuah kapal yang bernama “keluarga.” Menurutnya, cinta itu manis saat baru mulai tetapi lebih manis ketika tidak pernah berakhir. Untaian kata-kata ini merupakan refleksi dari sebuah perjalanan cinta yang menorehkan begitu banyak pengalaman. Pengalaman jatuh-bangun dalam membangun sebuah mahligai rumah tangga menjadi titik tuju. “Apa pun yang kami lakukan, seluruhnya berlandaskan cinta. Karenanya, apa pun kesalahan dari pasangan mestinya diterima dengan lapang dada sembari menata kesalahan yang telah dibuatnya.” Cinta itu seperti sebuah pohon yang selalu menghasilkan buah di setia musim dan setiap orang berhak untuk memetiknya. Mungkinkah  setiap kita untuk memetiknya?***  (Valery Kopong)

No comments: