Thursday, July 14, 2011

Kecurangan Anggaran, Siapa yang Rugi?

Oleh Yohanes Fabiyola Halan SE, Ak (Internal Auditor)

Sejak berlakunya UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerin-tahan Daerah sebagai pengganti dari UU No. 25 Tahun 1999, pemerintah daerah berhak untuk mengelola keuangan yang berasal Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan.

Untuk mengawasi kelelua-saan ini tentunya sudah dirancang meka-nisme perencanaan dan pertanggungja-waban yang memadai sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Sebagai contoh dapat kita lihat pada mekanisme pembuatan anggaran yang melibatkan aspirasi masyarakat.


Laporan pertanggungjawaban yang benar merupakan salah satu komponen dari Sistem Pengendalian Internal. Tujuan-nya untuk mendorong setiap pengguna anggaran agar selalu patuh pada mekanis-me yang benar.

Namun, tidak bisa dipung-kiri bahwa keleluasaan pengelolaan keuangan mempunyai daya tarik tersendiri untuk terjadinya tindak kecurangan. Yang salah bukan laporan pertangungjawaban yang diwajibkan, melainkan niat untuk tidak menghiraukan ketentuan dan me-manipulasi laporan pertangungjawaban. Di satu sisi kita mengharapkan adanya pola kerja yang efisien dan efektif dalam keleluasaan pegelolaan keuangan, namun di lain sisi ada pembocoran karena mental yang tidak mau maju.


Keadaan ini harus menjadi perhatian bersama. Kecurangan terhadap anggaran dapat dilakukan oleh pihak internal pemerintah, pihak luar yang berhubungan dengan pemerintah, dan kolaborasi antara kedua pihak tersebut. Untuk yang disebutkan terakhir akan menjadi lebih sulit untuk dibuktikan karena melibatkan dua pihak yang saling mendapat keuntungan


Secara teoretis penyebab kecurangan dirangkai dalam satu kata, yaitu GONE (Greed, Opportunity, Need, Expose). Greed atau Keserakahan, Opportunity atau Kesempatan, dan Need atau Kebutuhan, merupakan tiga faktor penyebab pertama yang berbanding lurus dengan tindak kecurangan. Artinya semakin tinggi ketiga faktor tersebut, kemungkinan terjadinya kecurangan pun meningkat. Ini berbeda dengan faktor Expose atau Pengungkapan.

Semakin besar tingkat pengungkapan atas tindak kecurangan maka diharapkan keinginan untuk melakukan kecurangan kian berkurang. Untuk faktor yang terakhir ini tampaknya belum efektif dilakukan. Bukan karena tidak dimunculkannya di muka publik tindak kecurangan tersebut, namun karena cepat memudar dan begitu cepat terlupakannya setiap kasus yang terungkap karena ketidaktuntasan pengungkapannya. Dalam hal ini faktor pengungkapan yang dimaksud tidak menghasilkan efek jera.


Faktor Kesempatan sudah mendapat perhatian yang memadai. Buktinya secara gencar dilakukan pendalaman pemahaman mengenai Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang efektif.

Selain itu, sebagai pengawasan terhadap berjalannya SPI, pemerintahan melalui satuan kerja pengawas internalnya, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah memberi perhatian khusus untuk memastikan berjalannya mekanisme tersebut. Tujuannya untuk meminimalisasi kesempatan untuk terjadinya tindak kecurangan.
Berkaitan dengan faktor Kebutuhan juga demikian. Pemberian remunerasi adalah salah satu contohnya.

Tentu tidak semua bagian mendapat fasilitas tersebut. Fasilitas ini lebih difokuskan pada mereka yang karena tugas dan tanggung jawabnya rawan terjadi tindak kecurangan karena bersentuhan langsung dengan aset yang mudah dipindahtangankan tanpa melalui mekanisme yang rumit.
Dalam kerangka berpikir GONE, faktor Keserakahan ditempatkan paling awal. Ini bukan tanpa alasan. Mentalitas ini merupakan awal dari bencana kecurangan. Namun, faktanya justru faktor tersebut kurang mendapat perhatian. Faktor ini sifatnya melekat pada setiap pribadi.

Pencegahan yang paling efektif adalah ketika pelaksanaan seleksi masuk pegawai. Berapa banyak pemerintah daerah yang menggunakan metode psikotes untuk menilai potensi mental serakah dalam seleksi masuk pegawai? Berapa banyak pelatihan yang bertujuan untuk mencegah mentalitas tersebut? Hal ini harus menjadi perhatian serius.


Dalam era Otonomi Daerah, praktik kecurangan tidak dapat dihindari, bahkan kecurangan tampak dalam pelbagai bentuk baru yang tidak mudah terdeteksi. Karena itu, kita perlu menumbuhkan sikap mawas diri terhadap setiap tindakan kecurangan. Sikap mawas diri dapat menghindarkan kita dari pengaruh untuk melakukan permufakatan jahat. Untuk itu, sangat perlu untuk memahami seperti apa tindak kecurangan itu dilakukan.


Tindak kecurangan terhadap anggaran yang banyak menyita perhatian dari pihak pengawas adalah kecurangan yang dilakukan oleh okunum internal pemerintah (pihak pertama) dengan pihak luar (pihak kedua). Sebut saja aktivitas pengadaan barang yang merupakan komponen belanja modal dalam anggaran.

Motif kecurangan bisa saja terjadi pada tahap penyusunan anggaran. Artinya, pada tahap penyusunan anggaran ini sudah ada proposal dari pihak kedua yang digunakan sebagai dasar untuk pengajukan dalam mata anggaran belanja modal tersebut. Tentu saja tidak ada yang gratis.

Ada semacam balas jasa yang harus ditanggung oleh pihak kedua atas dipakainya proposal tersebut dalam pengajuan anggaran. Namun bisnis tetap bisnis dan tidak ada yang mau rugi. Sejumlah biaya balas jasa tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan pihak kedua, namun ditambahkan sebagai harga jual yang biasa disebut praktik mark up (penggelembungan) harga.


Selanjutnya dalam tahap pelaksanaan pengadan tersebut, pihak kedua akan berusaha seefisien mungkin untuk menekan biaya yang dikeluarkan dengan maksimal harga sebesar harga pokoknya sehingga laba yang diharapkan dapat terealisasi secara utuh. Ilustrasi singkatnya sebagai berikut: Proyek pengadaan barang dengan harga pasar Rp 100 juta. Pihak kedua mengharapkan tambahan laba sebesar Rp 20 juta.

Total harga barang tersebut menjadi Rp 120 juta. Oknum pihak pertama meminta jatah Rp 30 juta. Pihak kedua tidak memperlakukan Rp 30 juta tersebut sebagai biaya sehingga labanya berkurang sebesar jumlah tersebut, namun menambahkannya menjadi harga jual. Harga jual barang tersebut meningkat menjadi Rp 150 juta. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa besarnya uang yang dikeluarkan dari anggaran sebesar Rp 150 juta hanya untuk menikmati produk yang harganya Rp 100 juta.


Dalam praktik peristiwa semacam ini bisa dimodifikasi sedemikian rupa namun tujuannya tetap sama, yaitu pada keuntu-ngan kedua belah pihak. Jika demikian keadannya, maka hal ini tidak akan muncul ke permukaan selama kedua belah pihak merasa tidak dirugikan.

Namun, tidak berarti tidak dapat dibuktikan tindak kecurangan ini. Pembuktian atas kecurangan semacam ini membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus yang biasanya dimiliki oleh lembaga pemeriksa dan pengawasan baik eksternal, yaitu BPK, maupun internal pemerintah, yaitu BPKP dan satuan kerja lainnya seperti Inspektorat.

Masyarakat tentunya menaruh harapan besar atas kinerja lembaga dan satuan kerja tersebut untuk dapat mengungkap tindak kecurangan.
Jika dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan, inspektorat baik pada tingkat propinsi atau kabupaten mempunyai scope pemeriksaan yang lebih sempit. Selain itu, dengan keberadaan auditor pada lingkungan propinsi atau kabupaten, mereka seharusnya lebih memahami karakteristik auditee-nya.

Selanjutnya mereka dapat mengembangkan risiko yang dapat muncul dari setiap aktivitas apalagi yang berkaitan dengan komponen belanja modal. Hal ini dapat menjadi prioritas pengawasan yang dimuat dalam Program Kerja Pengawasan Tahunannya (PKPT). Dengan demikian, persoalan kecurangan (seperti ilustrasi tadi) dan pelbagai modifikasi lainnya seharusnya segera dapat terdeteksi.


Menjadi penting untuk kita bahwa dengan adanya fungsi pengawasan dari lembaga atau satuan kerja pengawas, segala kejanggalan yang ada di masyarakat bisa dilaporkan. Tentunya tidak semua laporan tersebut dapat ditanggapi secara langsung karena adanya prioritas dari lembaga tersebut yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Bagi kita yang ada di daerah perlu sekali untuk mendorong peranan pihak inspek-torat agar lebih proaktif bukan hanya un-tuk melakukan monitoring yang bersifat rutin, tetapi juga melakukan audit investi-gasi untuk mengungkap praktik kecurang-an.

Jika dihubungkan dengan kerangka berpikir GONE, audit investigasi tersebut bisa menjadi salah satu elemen dari faktor Expose yang dapat dimaksimalkan hingga menghasilkan efek jera. *

0 komentar: