Monday, February 13, 2017

TRADISI-TRADISI DALAM GEREJA KATOLIK

SATU – Air Suci

Bila Anda datang ke gedung gereja, hal pertama yang Anda lakukan adalah mencelupkan tangan Anda ke dalam air suci dan membuat tanda salib. Mengapa Anda melakukan itu? Nah, inilah tiga alasannya:
  1. demi pertobatan terhadap dosa-dosamu;
  2. untuk perlindungan terhadap yang Jahat;
  3. untuk mengingatkan Anda tentang pembaptisan.
Penjelasan
  1. Air suci mengingatkan kita untuk menyesali dosa-dosa kita. Ketika ada ritual pemercikan dalam liturgi, kita selalu menyanyikan Asperges, yang berarti “Anda akan diperciki atau dicuci“. Asperges me hysoppo et mundabor; lavabis me et super nivem dealbabor. Ini adalah kata-kata dari Mazmur pertobatan besar, Mazmur 50: Engkau akan mereciki aku dengan hisop dan aku akan dibersihkan: Engkau akan mencuci aku, dan aku akan menjadi lebih putih dari salju.
  2. Air suci adalah sakramental yang merupakan perlindungan terhadap perangkap setan. Doa lama untuk pemberkatan air suci mengatakan: Ya Allah, pencipta dengan kekuasaan tak terkalahkan, Raja kerajaan tak terkalahkan dan pemenang sungguh agung: yang mengalahkan kekuasaan musuh dan menaklukkan kemarahan amukan musuh, yang memerangi dengan kuasa melawan musuh jahat kami: dengan gentar kami mohon kepada-Mu, ya Tuhan, kami mohon dan meminta kepada-Mu: dengan belas kasih lihatlah air dan garam ini, dengan murah hati terangilah ini, menguduskannya dengan embun cinta kasih-Mu, sehingga dimanapun itu ditaburkan, melalui penyeruan Nama-Mu yang kudus, setiap perwujudan roh jahat diusir, dan teror dari ular beracun dijauhkan. Dan semoga kehadiran Roh Kudus selalu bersama kami, kami yang memohon belas kasihan-Mu.
  3. Air suci mengingatkan kita tentang janji pembaptisan kita untuk : menolak Setan, mengakui iman dalam Kristus, dan telah dibaptis dalam misteri Tritunggal Kudus. Pada saat itu, semua dosa kita telah diampuni: dosa asal dan aktual, dan kita menjadi anak-anak Allah, filii in Filio, ahli waris dari janji Allah, dan sekarang berani memanggil Allah sebagai Bapa kita.

DUA – Tanda Salib

Membuat Tanda Salib tata cara Gereja Latin
Ketika Anda membuat tanda salib, lakukan dengan perlahan. Tidak buru-buru, tidak sembarangan – tapi hati-hati dan dengan hormat. Misteri terdalam iman kita terkandung di sini. Anda tahu bagaimana tradisi Bizantium membuat tanda salib?
Dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah disatukan dan dua jari lainnya menempel bersama ke telapak tangan.
Tiga jari melambangkan Tritunggal, dan dua jari melambangkan dua kodrat Kristus: Ilahi dan manusia. Melakukan tanda salib kemudian menjadi katekese mini, pengingat diri terhadap misteri yang paling dasar dari iman kita. Tetapi cara memegang jari-jari Anda bukanlah satu-satunya perbedaan. Tradisi timur membuat tanda salib dari [bahu] kanan ke kiri, sedangkan kita membuatnya dari kiri ke kanan. Mengapa?
Sungguh menarik untuk dicatat bahwa pada abad ke-13, Paus Innocentius III (semasa dengan St Fransiskus dari Asisi) mengajar umat beriman tentang makna tanda salib dalam kata-kata ini: “Tanda salib dibuat dengan tiga jari, karena penanda-an tersebut dilakukan bersama-sama dengan seruan kepada Tritunggal. Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah, dan dari kanan ke kiri, karena Kristus turun dari langit ke bumi, dan dari orang-orang Yahudi (kanan) Ia [kemudian] menuju kepada bangsa-bangsa lain (kiri).”
Perhatikan bahwa Paus Innocent menggambarkan bagaimana kebiasaan di Barat. Pada abad ke-13 Gereja Timur dan Barat masih membuat tanda salib dengan cara yang sama. Paus melanjutkan dengan mengatakan: “Orang lain, bagaimanapun, membuat tanda salib dari kiri ke kanan, sebab dari kesengsaraan (kiri) kita harus menyeberang menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus menyeberang dari kematian menuju kehidupan, dan dari Hades ke Surga [Beberapa imam] melakukannya dengan cara ini sehingga mereka dan orang-orang akan menandai diri sendiri dalam cara yang sama.”
Anda dapat dengan mudah mengecek ini -bayangkan saat imam menghadap umat untuk memberi berkat- ketika dia membuat tanda salib atas umat, itu dilakukan dari kiri ke kanan. ” Jadi orang, meniru tanda pemberkatan dari imam, mulai menandai diri dari kiri ke kanan. Demikianlah, selama berabad-abad berlalu sejak itu, dan kami di Barat membuat tanda salib dari kiri ke kanan, dengan telapak tangan terbuka.”
Salah satu prinsip liturgi yang penting: selalu sulit dan sering tidak diinginkan untuk melompat kembali melintasi masa berabad-abad untuk [melakukan lagi] beberapa praktek liturgis yang ideal di masa lalu. Itulah yang disebut Paus Pius XII pada Mediator Dei sebagai “archeologism.” Anda tidak dapat menghapus [apa yang terjadi] pada abad setelahnya. Alih-alih, prinsipnya adalah kontinuitas (keberlangsungan) dengan tradisi (saya ingatkan, saya tidak berkata mengenai tradisi yang menjadi fosil, tetapi tradisi yang hidup). Jadi cara Barat membuat tanda salib adalah perkembangan yang valid dari tradisi liturgis.
Ketika kita membuat tanda salib, apakah kita menyadari artinya? Dengarkan apa yang Guardini mengatakan tentang ini: “Ketika kami membuat tanda salib, jadikan itu dengan tanda salib nyata. Alih-alih gerakan kecil yang tidak memberikan gagasan apa artinya, mari kita membuat tanda besar dengan tidak terburu-buru, dari dahi ke dada, dari bahu ke bahu, dengan sadar merasakan bagaimana [tanda ini] mencakup seluruh diri kita, pikiran kita, sikap kita, tubuh dan jiwa kita, setiap bagian diri kita sekaligus, bagaimana tanda ini menguduskan dan menyucikan kita. Demikianlah itu karena itu adalah tanda. alam semesta dan tanda penebusan kita. Di kayu salib Kristus menebus umat manusia. Dengan salib Ia menguduskan manusia hingga titik terakhir penderitaan-Nya.”
Dalam Liturgi, ada banyak kesempatan untuk kita membuat tanda salib: dengan air suci sebelum Misa dimulai, pada awal Misa itu sendiri, di Injil: “semoga Tuhan memurnikan pemahaman saya, perkataan saya, dan hati saya, sehingga saya dapat menerima kata-kata Injil”,kita membuat tanda salib dalam ritus baptisan, untuk pengurapan orang sakit, untuk eksorsisme, ketika kita berdoa sepanjang hari, di Ofisi (Ibadat) Ilahi, kita membuat tanda salib ketika kita memulai Benedictus dan Magnificat, karena mereka adalah kidung Injil, dan Injil berarti Kristus sendiri.
Di perpustakaan Sant’ Anselmo di Roma, tempat di mana saya menghabiskan banyak waktu, ada lantai mosaik yang menggambarkan salib Kristus, dikelilingi oleh kata-kata: “Ave Crux, Spes Unica. Hail O Cross, Our only hope!” Salib Kristus memang benar satu-satunya harapan kita -tidak ada keselamatan dalam nama lain. Jadi ketika kita membuat tanda salib, yang kita lakukan berkali-kali setiap hari, mari kita lakukan dengan baik!

TIGA – Genufleksi dan Membungkuk

Berkutnya, Anda berjalan ke bangku, dan jika Sakramen Mahakudus disimpan di altar (tabernakel), Anda melakukan genufleksi, jika disimpan di tempat lain, Anda membungkuk mendalam ke altar. Saya akan membicarakan mengenai berlutut kemudian. Di sini kita berbicara tentang sikap salam, semacam hormat. Saya sebutkan genufleksi dan membungkuk. Apa bedanya?
Ada pembedaan tradisional yang sangat berguna, pembedaan menggunakan tiga kata Yunani: latria, hyperdulia, dulia. Ketiga kategori menunjukkan nilai yang berbeda atas penghormatan kepada Allah dan orang-orang kudus.
  • Latria berarti adorasi: itu diperuntukkan bagi Allah saja.
  • Dulia berarti hormat, itu diberikan kepada orang-orang kudus dan untuk benda-benda suci.
  • Hyperdulia berarti “penghormatan ekstra khusus.” Hanya ada satu orang dalam kategori ini: Maria Bunda Allah, karena ia berada di atas semua orang kudus oleh kehendak mulia Ilahi.
Latria, hyperdulia, dulia. Ketika kita menghormati altar -dan altar selalu mewakili Kristus- kita menunjukkan penghormatan untuk obyek yang kudus. Itu berarti dulia. Jadi kita membungkuk. Ketika kita menghormati Sakramen Mahakudus, bagaimanapun, kita menyembah Tuhan sendiri, karena Tuhan sungguh hadir dalam Sakramen Mahakudus. Itu berarti latria. Jadi kita genufleksi. Izinkan saya mengatakan sesuatu tentang kedua gerakan ini.
 
Membungkuk
  1. Ada menganggukan kepala secara sederhana yang kita lakukan saat menyebut nama Yesus. Selama Misa, gerakan menundukkan kepala juga digunakan saat menyebut nama Maria, dan Nama Bapa Suci.
  2.  Ada membungkuk sedang, yakni menekuk kepala hingga bahu. Di dalam biara-biara kita melakukan membungkuk sedang ini untuk menghormati biarawan lain dalam rangka menghormati kehadiran Kristus dalam diri saudara kita. Yakni, ketika kita berarak masuk gereja, dan tiba di depan Altar, kemudian berpisah menuju lokasi choir masing-masing, usai membungkuk mendalam ke arah Altar, kita membungkuk satu sama lain dengan saudara kita, membungkuk sedang.
  3. Lalu ada membungkuk mendalam, seluruh tubuh membungkuk hingga pinggang, seolah hingga bisa menyentuh lutut dengan telapak tangan. Membungkuk dalam demikian digunakan ketika diakon meminta berkat imam sebelum membaca Injil, ketika seorang biarawan meminta berkat dari abbotnya (kepala biara), atau dalam Ibadat Harian, setiap kali mengucapkan Kemuliaan. Pada doksologi minor (Kemuliaan) setelah setiap Mazmur, semua biarawan di choir melakukan membungkuk mendalam untuk menghormati Tritunggal. Tradisi ini berasal dari Regula St Benediktus, di mana ia mengatakan: “Setelah pelajaran ketiga (dia berbicara tentang salah satu nocturne dari vigili) ketika para cantor melagukan Gloria Patri, segera setelah ia mulai, yang lainnya bangkit berdiri untuk menghormati Tritunggal Mahakudus.” (RB 9).
Untuk tamu yang tidak terbiasa dengan seremonial monastik, hal yang sangat mengesankan melihat semua biarawan di choir praktis “terbenam di deretan choir” mereka setelah mereka semua melakukan membungkuk mendalam tiap mengucapkan doksologi (kemuliaan). Contoh lain untuk membungkuk mendalam ini -seperti yang saya sebutkan- adalah setiap kali kita melintas di depan altar, sebagai cara untuk memberi salam kepada Tuhan kita, karena altar selalu mewakili Kristus. Cobalah lain kali saat Anda melintas di depan altar (yakni, jika Sakramen Mahakudus tidak ada). Membungkuklah dengan mendalam, hingga pinggang. Perlahan-lahan, penuh hormat. Ini adalah Tuhan sendiri yng Anda beri salam.
Genufleksi
Gerakan ini terkait dengan berlutut, tetapi Anda bisa menganggapnya sebagai berlutut cepat, atau “setengah berlutut”, karena Anda hanya menekuk satu lutut, dan segera bangkit lagi. Ketika saya mengatakan “berlutut cepat”, saya tidak bermaksud supaya Anda melakukannya dengan terburu-buru! Kadang-kadang ketika orang hendak masuk ke bangku mereka, Anda melihat mereka membuat gerakan kecil yang samar-samar menyerupai suatu gerak berlutut. Hal ini tidak tepat. Tempelkan satu lutut hingga lantai, dan biarkan sejenak di sana. Jaga punggung tetap lurus, dan untuk keseimbangan, Anda mungkin ingin menempatkan kedua tangan di lutut Anda yang lain. Anda mungkin ingin berlatih di rumah, dan mengajar anak-anak Anda untuk membuat gerakan ini dengan baik.
Anda tahu bahwa setelah konsekrasi baik Hosti dan Piala, imam melakukan genufleksi untuk adorasi. Bapa Suci kini (saat itu adalah alm. Yohanes Paulus II) kesulitan melakukan hal itu, sebagaimana banyak orang berusia lanjut, karena arthritis atau kesulitan fisik lainnya. Paus Yohanes Paulus II, mengalami banyak kesulitan untuk genufleksi. Tapi dia berpegangan di altar dengan teguh, dan memaksa tulang-tulangnya yang terasa sakit untuk menekuk satu lututnya hingga menempel ke lantai. Dan kemudian MC (Master of Ceremony) membantunya bangkit kembali. Mengapa ia mau melakukannya walau merasa sakit dan kesulitan? Karena cinta. Dia mencintai Tuhan yang hadir dalam Sakramen Mahakudus. Jika Bapa Suci melakukan gerakan ini dengan susah payah, bisakah kita yang sehat ini melakukannya setengah-setengah?

EMPAT – Berdiri

Setelah Anda melakukan persiapan untuk Misa – entah berlutut atau duduk di bangku – bel berbunyi, dan Anda berdiri karena Misa akan dimulai. Apa artinya sikap berdiri ini? Izinkan saya untuk merujuk ke Guardini lagi. Dalam bukunya yang disebut Sacred Signs (Tanda-tanda Suci), ia menggambarkan situasi ini:
“Ketika Anda duduk untuk beristirahat atau mengobrol, dan seseorang yang kepadanya Anda merasa hormat datang dan hendak berbicara dengan Anda, dengan segera Anda bangkit berdiri dan tetap berdiri selama ia berbicara dan Anda menjawabnya. Mengapa kita melakukan ini? Pertama-tama dengan berdiri berarti kita mampu menguasai diri sendiri. Alih-alih duduk santai, dengan berdiri, kita menguasai diri, memperhatikan, dan siap sedia. Seorang pria yang berdiri dengan kakinya bisa bergerak dengan seketika. Dia bisa melaksanakan perintah seketika, atau melaksanakan tugas segera setelah diperintahkan.”
Knight of Columbus memberi hormat saat prosesi Uskup memasuki GerejaPostur berdiri, kemudian, adalah tanda penghormatan, penghormatan di hadapan Allah. Selain itu, itu berarti bahwa kita harus siap merespon kepada-Nya “subito, sempre, e con gioia” sebagaimana kata-kata Chiara Lubich, pendiri Gerakan Focolari. Itu berarti “segera, selalu, dan dengan sukacita.” Kita berdiri ketika Misa dimulai. Kita berdiri untuk Injil. Selama Ofisi (Ibadat) Ilahi, kita berdiri untuk Benedictus dan Magnificat, karena ini adalah kidung Injil, dan kita sadar akan kehadiran Tuhan dalam hal ini.
Berdiri juga merupakan postur normal umat Yahudi saat berdoa, dan postur umat Kristen berdoa juga. Di katakombe Santa Priscilla, ada lukisan fresco yang terkenal -masih terlihat setelah berabad-abad- seseorang dalam posisi orans -berdiri, lipatan pakaiannya jatuh di lengannya, dengan tangan terentang. Pada kenyataannya, ini adalah simbol dari Institut Liturgi Kepausan di Roma, di mana saya tinggal dan bekerja: Ecclesia Orans, Gereja yang berdoa.
>Ketika Anda berdiri di Misa, jangan membungkuk, jangan gelisah. Berdirilah tegak dan diam. “Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah”, sebagaimana kata Mazmur. Beberapa waktu lalu, saya mengamati salah satu imam di panti imam selama pembacaan panjang Sengsara Tuhan (Passio) pada hari Minggu Palma, yang berlangsung selama 10 atau 15 menit. Dia berdiri diam sepanjang waktu, dan tidak bergerak. Saya terkesan dengan sikap hormatnya. Praktikkan berdiri tegak tanpa bergerak-gerak. Ini tidak mudah! Tapi itulah cara kita menghormati Tuhan kita.

LIMA – Menebah Dada

Selanjutnya kita tiba di Confiteor (Pengakuan dosa) -meskipun sayangnya opsi ritus Tobat ini tidak selalu digunakan. Selama kata-kata mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa, ada gerak tubuh untuk menebah dada. Ini adalah tanda pertobatan, kerendahan hati, seperti perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai dalam Injil:
“Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Lukas 18:13)
Di Missale Pius V, rubrik untuk gerakan ini sangat spesifik: “Dia menebah dada tiga kali, mengatakan: Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa. Rubrik dalam Misale Paulus VI adalah kurang detail. Ia hanya mengatakan: “Menebah dada pada mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa.” Menambah kebingungan, dalam terjemahan bahasa Inggris, kata-kata tidak diulang tiga kali, tapi hanya sekali:
“I confess to Almighty God, and to you my brothers and sisters, that I have sinned through my own fault, in my thoughts and in my words, in what I have done and in what I have failed to do.”
Gerakan itu masih ada, meskipun kata-kata dan isyarat telah dikurangi. Kata-kata mengungkapkan pertobatan kita secara verbal. Menebah dada mengungkapkan pertobatan kita secara fisik, dalam bahasa tubuh. Guardini mengatakan sesuatu tentang gerakan ini. Dia bertanya:
“Apa arti ini menebah dada? Maknanya ada pada gerakan yang dilakukan dengan benar. Menjentik baju Anda dengan ujung jari bukanlah gerakan menebah dada. Kita harus menebah dada kita dengan tangan terkepal. Pada lukisan kuno santo Jerome di gurun ia berlutut di tanah dan menebah dadanya dengan sebuah batu. Ini adalah tebahan yang jujur, bukan gerakan yang elegan. Menebah dada adalah untuk mengalahkan gerbang dunia batin kita untuk menghancurkannya. Inilah maknanya.”
Mungkin kita harus melakukan gerakan ini lebih serius dari yang biasa kita lakukan. Dalam spiritualitas monastik, ada sebuah tradisi kuno dalam bahasa Yunani disebut penthos, atau compunctio (sesal) dalam bahasa Latin: sikap pertobatan yang mendalam bagi dosa-dosa kita, dan bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi juga untuk orang-orang dari seluruh dunia. St Benediktus mengatakan: “Kita tahu bahwa doa kita tidak didengar karena banyak kata-kata, tetapi karena kemurnian hati, penyesalan, dan air mata” (Peraturan St Benediktus 20:3). Di tempat lain, ia mengatakan: “Selama masa Prapaskah, mari kita jaga diri kita dari setiap dosa, dan mendedikasikan diri untuk doa dengan air mata, untuk membaca, untuk penyesalan hati dan berpuasa” (RB 49:4).
Mungkin seseorang akan keberatan: hal-hal ini adalah sentimen baik dari masa lalu, untuk spiritualitas abad-abad yang telah berlalu, tapi tidak cocok untuk hari ini! Pius XII pernah berkata bahwa dosa utama abad kedua puluh adalah hilangnya rasa dosa. Dan Paus Yohanes Paulus II mengutip ucapan Pius XII pada seruan apostolik Rekonsiliasi dan Tobat.
Memang benar. Kita sebagai manusia, dan sebagai umat Katolik – telah kehilangan rasa dosa. Gerakan menebah dada, dilakukan hati-hati dan dengan kesadaran penuh, bisa menyampaikan kepada diri kita sendiri dan orang lain lebih dari yang dapat diucapkan kata-kata belaka, bahwa kita mengakui dosa kita dan secara terbuka menyatakan sesal kita atas dosa-dosa kita.
Aku ingat mengunjungi sebuah biara tradisional tidak terlalu lama yang lalu, di mana semua biarawan yang bukan imam – sedang berlutut dalam barisan sebelum Komuni. Diakon menyanyikan Confiteor, dan ketika ia sampai ke kata-kata mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa, suara gemuruh dari banyak rahib yang kesemuanya menebahi dada mereka pada saat yang sama mengguncang hati saya. Cobalah sendiri. Tulang rusuk seperti sebuah ruang gema. Jika Anda menebah dada Anda dengan benar, Anda akan mendengar suara itu: seperti suara guntur.

ENAM – Duduk

Setelah ritus tobat, Anda duduk. Ini juga berarti sesuatu. “Postur duduk sesuai untuk uskup yang mengajar dan kepala komunitas yang memimpin.” Itulah sebabnya uskup (Abbas) memiliki kursi, sebuah cathedra. Kata ‘Katedral’, berarti tempat di mana terdapat kursi uskup.
Ketika saya masih seorang rahib yang muda, saya ingat melewati Gereja Abbas dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Sekelompok wisatawan mengunjungi gereja, dan beberapa anak-anak, hanya untuk bersenang-senang, duduk bergantian di kursi Abbas. Saya melihat ini dari kejauhan, dan saya sangat terganggu. Jelas, orang-orang muda ini tidak bermaksud jahat, dan tidak memahami pentingnya kursi Abbas. Itu melambangkan otoritasnya, pribadinya. Hal yang sama berlaku untuk kursi uskup. Jadi duduk, adalah postur otoritas mengajar.
St. Agustinus menjelaskan ini dalam beberapa khotbahnya. Dia akan duduk di cathedra, dan orang-orang akan berdiri untuk mendengarkan. Bahkan, sampai zaman modern, kursi atau bangku tidak terpikirkan ketika merancang sebuah gereja. Orang-orang berdiri, seperti yang mereka lakukan sampai hari ini dalam tradisi Bizantium. Tapi berdiri untuk waktu yang lama melelahkan, dan membutuhkan disiplin yang nyata. Menjelang akhir Abad Pertengahan, praktek duduk pada saat-saat tertentu Misa menjadi lebih luas. Pada saat negara ini (USA) didirikan, praktek itu sudah standar, sehingga semua Gereja yang dibangun kini memiliki bangku atau kursi. Tetapi jika Anda mengunjungi katedral-katedral dan gereja-gereja lain di Eropa, Anda akan melihat bahwa tidak selalu begitu.
Sekarang, ketika kita duduk untuk mendengarkan bacaan, postur duduk menyatakan mendengarkan dengan perhatian, kesiapan untuk diajar. Ketika Anda duduk dalam misa, ingat bahwa Anda tidak sedang duduk di ruang tamu Anda, Anda tidak duduk di kursi malas. Duduk tegak, tenang, khidmat. Jangan gelisah, jangan bergerak-gerak! Untuk mendengarkan dengan seksama Kitab Suci membutuhkan energi dan perhatian, dan postur tubuh harus mencerminkan sikap kewaspadaan interior: mendengarkan dengan telinga hati, sebagaimana kata St Benediktus.
Jika prinsip ini diberlakukan kepada umat yang duduk di bangku gereja, lebih-lebih lagi hal ini berlaku bagi mereka yang berada di panti imam! Caeremonium Episcorum (panduan upacara uskup) mengatakan bahwa “ketika uskup duduk, jika ia mengenakan busana liturgis, kecuali ia sedang memegang tongkat uskup, [maka] ia harus menempatkan telapak tangannya di lutut.” Prinsip lain yang perlu diingat: apa yang diatur untuk superior (atasan) umumnya berlaku juga untuk umat biasa. Cobalah duduk seperti itu: tenang, dalam sikap doa, dengan punggung tegak. Jika Anda tidak memegang sebuah buku (atau memangku anak kecil), tempatkan telapak tangan Anda di atas lutut, dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Anda akan melihat perbedaannya.

TUJUH – Melipat Tangan

Sekarang kita telah tiba pada Injil. Kita berdiri untuk mendengarkan Injil, seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Kita membuat tiga tanda salib dengan ibu jari kanan kita. Lalu apa? Apa yang Anda lakukan dengan tangan Anda? Bagaimana kalau menjaga tangan tetap dilipat?
Setelah Konsili [Vatikan II], sebagai reaksi terhadap rubrik yang mungkin terlalu spesifik [atau dianggap] semacam cara yang berlebihan, pendulum berayun ke ekstrem di sisi lain, dan tidak ada lagi yang peduli tentang rubrik. Dari tingkat formalitas yang tinggi dalam liturgi, kita berubah ke dalam gaya yang sangat kasual (santai). Hal ini mungkin terkait juga dengan gaya umum di Amerika: bersikap kasual sehari-hari. Malahan, gaya berpakaian menjadi lebih kompleks karena ingin tampak kasual. Itu berarti bahwa ada hukum tidak tertulis yang (sebenarnya) kaku tentang gaya kasual -sebuah ironi besar, bukan? Dalam kasus apapun, kita melihat ke-santai-an juga dalam hal melipat tangan kita.
Ada dua cara dasar untuk melakukan hal ini: dengan jari-jemari saling bertautan – atau dengan jari lurus, kedua telapak saling menempel. Ini sesuai dengan yang tertulis di Caeremonium Episcoporum (panduan upacara uskup), yang diterbitkan pada tahun 1985, tentang melipat tangan. Ada sebuah paragraf berjudul De manibus iunctis (mengenai melipat tangan), dan catatan penjelasan di bagian bawah halaman mengatakan:
“Ketika [rubrik] mengatakan dengan tangan terlipat, itu harus dipahami begini: telapak tangan terbuka (jari-jari lurus dan rapat) dan dikatupkan bersama di depan dada, dengan jempol kanan di atas yang kiri dalam bentuk salib” (# 107, n.80)
tangan dilipat dengan jari-jari lurustangan dilipat
Ketika kami berada di sekolah dasar, para biarawati akan menjelaskan cara menyilangkan ibu jari ini dengan mengulangi perkataan Perjanjian Baru: “Kasih di atas Keadilan” – yang merupakan interpretasi spiritual yang sangat baik dengan sikap sederhana.
Guardini menjelaskan tentang sikap melipat tangan, dengan dua cara untuk melakukannya. Ketika kita masuk ke dalam diri kita sendiri dan jiwa sendirian dengan Tuhan, tangan kita berpaut erat, jari tergenggam di antara jari, dalam sikap erat dan terkontrol. Jadi cara melipat tangan ini dapat menjadi tanda doa yang intim dan pribadi dengan Tuhan.
Tangan kita mengambil posisi yang sama ketika kita merasa sangat membutuhkan atau terbeban berat dan serasa mengancam hidup. Tangan kemudian terkatup dan jiwa melakukan perjuangan dengan dirinya sendiri sampai bisa terkendali dan tenang lagi. Jadi, gerakan tubuh yang sama ini dapat berarti intensitas dan semangat doa pribadi. Tapi dalam Liturgi, gerakannya berbeda. Guardini mengatakan:
“Tetapi ketika kita berdiri di hadirat Allah dengan hati merasa hormat dan kerendahan hati, tangan dikatupkan bersama –telapak dengan telapak dalam sikap tunduk dan penghormatan yang patuh, seolah-olah hendak mengatakan bahwa kata-kata yang akan kita ucapkan sendiri adalah terarah, dan bahwa kita siap dan penuh perhatian untuk mendengar firman Allah.”
Guardini menggambarkan sikap tubuh yang lain mengenai doa dengan tangan (tangan terangkat dalam doa, misalnya), dan mendesak para pembacanya untuk kesadaran yang lebih dalam tentang arti gerakan. Dia mengatakan: “Gereja sepenuhnya bersungguh-sungguh dalam penggunaannya mengenai bahasa sikap tubuh. Dia berbicara melalui sikapnya dengan pikiran terdalam, dan Tuhan menyendengkan telinga untuk cara berbicara demikian.. Tangan kita juga menunjukkan kekurangan kebaikan kita, dorongan-dorongan tak terkendali, gangguan kita, dan kesalahan-kesalahan lainnya. Marilah kita mengatupkan dengan erat [tangan ini] sebagaimana Gereja mengarahkan dan memastikan bahwa ada korespondensi nyata antara sikap interior (hati) dan eksterior (jasmani).”
Apakah Anda melihat betapa banyaknya makna yang terkandung dalam gerakan sederhana melipat tangan? Jadi, sadarilah apa yang Anda lakukan di waktu berikutnya, dan ajarlah anak-anak Anda hal yang sama. Ini akan menjadi kebiasaan yang khidmat. Jika tangan Anda dilipat dengan benar dalam doa, postur jasmani ini akan memiliki pengaruh positif pada sisi interior (hati) juga, dan Anda akan dituntun untuk sikap doa yang mendalam.

DELAPAN – Berlutut

Setelah Injil dan homili (jika ada pada hari itu), setelah Persiapan Persembahan, Doa Agung, yang disebut “Kanon” atau “Doa Syukur Agung”, dimulai. Selama waktu ini kita berlutut. Karena gerakan ini memiliki sejarah yang agak rumit, adalah layak meluangkan waktu membahasnya. Arti dari sikap berlutut ada bermacam-macam:
  • penyerahan dengan rendah hati di hadapan keagungan Allah;
  • sesal dan semangat pertobatan;
  • adorasi dan (sikap) hormat dalam doa.
Penggunaan postur ini dalam Misa dikembangkan secara bertahap.
  1. Dalam sebuah dokumen abad ketujuh, Ordo Romanus I, dituliskan bahwa selama Kanon hanya Paus yang berdiri tegak, sementara semua yang lain di panti imam tetap membungkuk untuk seluruh Doa Syukur Agung. Tanda untuk berdiri tegak lagi adalah frase ‘nobis quoque peccatoribus’ dekat bagian akhir dari Kanon: yang juga merupakan tanda bagi diakon dan sub-diakon untuk persiapan menyambut Komuni. Bahkan, dalam Misa lama, frase tersebut diucapkan keras-keras sedangkan kata berikutnya di Kanon diucapkan lirih, sebagai sisa praktek kuno membungkuk selama Kanon.
  2. Dari abad kesembilan dan seterusnya, ada bukti sejarah untuk postur berlutut selama Kanon. Sinode dari Tours (813) menggambarkan hal ini sebagai karakteristik sikap umat beriman, meskipun di hari Minggu dan pesta, kebiasaannya adalah berdiri.
  3. Pada abad ketiga belas, karena perkembangan dalam teologi Ekaristi dan berbagai gerakan devosi Ekaristi, praktek berlutut saat konsekrasi menjadi norma.
  4. Pada 1502, Ordo Missae Yohanes Burckhard menuliskan sikap berlutut untuk doa di kaki altar, dan untuk konsekrasi. Rubrik kita kini -buku liturgi pasca Tridentine- memiliki asal dari Ordo Missae Burckhard.
Sejarah gerakan ini -entah dalam doa liturgi atau doa pribadi- agak rumit. Untuk pembahasan kita cukuplah dengan menekankan pentingnya melakukannya dengan baik. Guardini mengatakan: “… Janganlah menekuk lutut kita dengan tergesa-gesa, sebuah bentuk kosong. Berikan arti ke dalamnya; berlutut, dalam niatan jiwa, adalah untuk bersujud di hadapan Allah dengan hormat terdalam.”

SEMBILAN – Berjalan Menuju Komuni

Setelah Doa Syukur Agung dan doksologi agung, sekarang saatnya untuk menerima Komuni. Bagaimana Anda berpindah dari bangku ke altar? Anda harus berjalan. Sekarang, itu tidak semudah tampaknya. Bagaimana caranya berjalan dengan martabat, dalam prosesi? Guardini mempertanyakan hal ini juga.

“Berjalan. Berapa banyak orang yang tahu bagaimana cara berjalan? Ini bukan dengan terburu-buru seperti sedang berlari, atau lambat seperti siput, tetapi pergerakan maju secara teratur. Ada semacam pegas di tumit pejalan kaki yang baik. Tumitnya diangkat, tidak diseret. Punggungnya tegak, tidak bungkuk, dan langkah-langkahnya yakin dan rata.”

Ketika saya masih novis, kami diajarkan cara berjalan dalam prosesi sehingga kami akan teratur berbaris dua-dua, dan agar garisnya tetap lurus. Hal itu sangat sulit dilakukan ketika harus berbelok, karena yang di sisi luar (barisan) harus berjalan lebih cepat dari sisi dalam, untuk menjaga barisa tetap bersama. Siapapun yang melakukan baris-berbaris tahu mengenai hal ini: berbaris dalam sebuah marching band, atau dalam angkatan bersenjata, atau dalam parade.
Pada masa novisiat saya, kita semua berpikir ketika diajarkan bagaimana berjalan adalah hal konyol. “Anda akan berpikir seorang pria dewasa tentu (sudah) tahu cara berjalan!” kami berseru dalam kebodohan dan kesombongan. Tetapi faktanya adalah, kami tidak tahu bagaimana berjalan dengan baik. Kepala novisiat benar: kami harus diajar.
Ketika Anda berjalan dalam prosesi menerima Komuni, jangan menoleh-noleh ke sekeliling Anda kesana kesini. Berkonsentrasilah pada apa yang akan Anda lakukan, siapakah yang akan Anda terima.
Dengan berjalan ini, Anda semakin dekat dengan kehadiran Allah. Jadi sadarilah apa yang Anda lakukan, dan berjalanlah dengan tenang dan rasa hormat penuh semangat perenungan dan doa.

SEPULUH – Menerima Komuni

Anda akan menerima Tuhan Allah sendiri. Berjaga-jagalah karenanya, kalau-kalau kurangnya penghormatan.
Berikut ini adalah hal praktisnya. Mereka yang ditahbiskan dapat mengambil Ekaristi Kudus sendiri. Mereka yang tidak ditahbiskan, menerima Ekaristi, mereka tidak pernah mengambil sendiri. Jangan meraih-Nya, tunggu sampai Tubuh Kristus diberikan kepada Anda. Dan renungkan dalam hati kata-kata centurion (kepala penjaga): “Tuhan, aku tidak layak bahwa Engkau datang di bawah atap rumahku, tapi bersabdalah saja, dan jiwaku akan sembuh.”
Diterjemahkan dari: Rev. Cassian Folsom – OSB Pontificio Istituto Liturgico – S. Anselmo, Rome
Senada dengan Kardinal Canizares yang menyatakan bahwa umat Katolik seharusnya menyambut Komuni di lidah sambil berlutut, Uskup Athanasius Schneider, Uskup Auksilier dari Keuskupan Karaganda (Kazakhstan), memberikan pandangan yang sama.
Dalam suatu wawancara dengan CNS (Catholic News Service), Uskup Schneider menyatakan; Rasa hormat dan kagum dari umat Katolik yang benar-benar percaya bahwa mereka sedang menerima Yesus dalam Ekaristi harus memimpin mereka untuk berlutut dan menerima Komuni di lidah mereka.” Dikatakan bahwa selama ini informasi yang tidak tepat tentang tata cara menyambut dan atau menerimakan Komuni telah tersebar dengan bebasnya. Informasi tersebut bahkan disampaikan oleh Para Uskup dan Para Imam, entah dengan sengaja ataupun tidak. Uskup Athanasius Schneider juga menyatakan bahwa praktik Komuni di lidah sambil berlutut merupakan tradisi universal dan telah ada pada sejak Gereja Perdana. Lebih lanjut dikatakan Beliau bahwa hanya pelayan tertahbis saja yang berhak menyentuh Roti dan Anggur yang sudah dikonsekrasi dengan tangan mereka.
Pada 25 Juni 2008, Monsinyur Guido Marini, Ahli Liturgi Kepausan, mengatakan bahwa Paus Benediktus lebih memilih Komuni di lidah. Beliau menyatakan bahwa tindakan Paus menetapkan praktik Komuni Kudus di lidah sambil berlutut pada Liturgi Kepausan bertujuan untuk menunjukkan bahwa praktik ini adalah norma yang valid dan resmi dari Gereja Katolik.
Monsinyur Marini juga menyatakan, “… penting untuk diingat fakta bahwa penerimaan Komuni Kudus di tangan, tetap hingga sekarang dari sudut pandang yuridis, merupakan indult (pengecualian) dari hukum universal [Gereja], yang disetujui oleh Tahta Suci kepada Konferensi Para Uskup yang memintanya.
Monsinyur Marini juga menegaskan bahwa praktik Komuni Kudus di lidah sambil berlutut ini lebih baik untuk menegaskan kebenaran akan ajaran kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Ekaristi, menolong devosi umat beriman, dan menunjukkan sense misteri iman dengan lebih mudah.

TIPS MENERIMA KOMUNI KUDUS DI LIDAH

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0nE7-7IjWX-BpGAYLchBJ4nyUYo2AH9y2cOT4N5091zfB9oMOOSQghndfd25QWjkQBbWkVP3bBc-9bYSDLonEprdc5worZRGLVU1xiNLjBwQtQvOrkqoH7zYD-blQrqLxnVPMvHRY0rY/s1600/Eucharist+Joseph+Cardinal+Ratzinger+Pope+John+Paul+II+Communion.jpg1. Pertama-tama periksa dulu diri anda apakah anda masih terhalang dosa berat ataukah layak untuk menerima Komuni Kudus.
2. Ketika sampai pada giliran anda, berlututlah dengan kedua kaki anda . Kemudian kepala anda sedikit ditengadahkan ke atas. Ketika Imam berkata, “Tubuh Kristus”, anda lebih dulu menjawab “Amin”. Lalu, anda membuka lebar mulut anda sambil menjulurkan lidah secukupnya supaya Imam dapat menempatkan Hosti lebih tepat dan menghindari Hosti jatuh.
3. Bila anda tidak bisa berlutut saat menerima Komuni di lidah, maka anda dapat membungkuk dalam terlebih dahulu atau berlutut satu kali lalu berdiri lagi dan kemudian menerima Komuni di lidah.
4. Kadangkala Imam mungkin tidak mengetahui anda akan menerima Komuni di lidah. Oleh karena itu anda bisa memberi sinyal atau penanda dengan membuka mulut terlebih dahulu segera sesudah berlutut di hadapan Imam.
5. Imam memberi anda Hosti di lidah, perlahan-lahan anda tutup mulut anda. Jangan mengunyah Hosti tetapi biarkan Hosti menjadi lembut atau larut di dalam mulut anda lalu anda telan. Tidak disarankan menggunakan gigi untuk menjepit Hosti. Jangan langsung berdiri bila posisi Hosti masih belum tepat atau masih memungkinkan untuk jatuh.
Kembalilah dengan tenang ke tempat duduk anda dan berdoalah. Bersyukurlah atas kehadiran Kristus dalam diri anda.
————————————————————————————————
Sumber :
Satu – Sepuluh — http://www.misa1962.org
Sepuluh ———- Indonesian Papist
TIPS ————– Indonesian Papist, Cantuar

0 komentar: