Tuesday, January 29, 2013

PUKENG MOE, LAMALERA



(KARENAMU, LAMALERA)
“Schreiben ist die Toten erwecken,” kata orang Jerman.  Menulis  itu menghidupkan yang mati. Menulis menjadi serupa ritual, perayaan penghidupan atau pembangkitan atas kematian. Dengan menulis, kehidupan yang (terlanjur) putus disambungkan dan dikekalkan. Karena itu, menulis bisa menjadi sebentuk perlawanan, protes atas kematian dan atau atas pelbagai bentuk pematian yang menggerogoti  manusia.
            Layaknya sebuah ritual, menulis mengandaikan partisipasi atau keterlibatan intensional penulis dalam apa yang hendak ditulisnya. Menempatkan diri sebagai pars semacam itu menghindarkan penulis dari apa yang disebut sebagai kesalahan catachonic dalam tulisannya, yaitu kesalahan untuk  ‘mengadili’sesuatu dengan kategori-kategori asing. mengadili sesuatu  dengan kategori  yang  asing bisa ‘menghambarkan’ tulisan dari dayanya  yang  menghidupkan. Tulisan menjadi  insignifikan dan irrelevan bagi konteks terhadapnya tulisan itu ditujukan.
            Dengan kesadaran ritualis semacam itulah, Bruno Dasion menelurkan   kumpulan puisi ini, “Pukeng Moe, LAMALERA.” Tapi lebih dari sekedar titian, empat puluh satu puisi dalam buku ini menjadi sebentuk perlawanan penulis terhadap arus kematian dan pematian atas tradisi khas kampungnya, Lamalera. Secara amat khas, perlawanan dengan kemasan artistik ini terentang di antara tiga struktur waktu: kemarin, hari ini dan esok. Ada kenangan berharga yang tidak bisa begitu saja diabaikan atau dibiarkan dalam kekinian orang-orang Lamalera, tetapi sebaliknya mesti menjadi energi yang membersitkan insight untuk terus melangkah ke depan.***

Thursday, January 24, 2013

MISKIN PERHATIAN



(Sumber inspirasi: Yoh.11:1-45)

                                                                                Kematian Lazarus, potret  ketakberdayaan manusia miskin. Lazarus menjadi simbol orang-orang tak berpunya, meninggal dalam kesendirian, dalam kesunyian.  Semasa hidupnya, kehidupan Lazarus jauh dari sentuhan kemewahan bahkan diperlakukan secara tidak adil oleh orang kaya. Ia makan dari rema-rema yang jatuh dari meja si kaya raya. Meja orang kaya dengan Lazarus yang ada di bawahnya, menunjukkan jarak pemisah yang jauh, sulit dipadu dalam satu kesepakatan.
                Kehidupannya penuh dengan derita dan perjuangan, dan pada saat  meninggal pun sepertinya jauh dari pantauan masyarakat sekitar. Yesus yang sebelumnya berada bersama mereka tetapi pada menjelang kematiannya, Yesus malah meninggalkan dia. Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa di sini memunculkan unsur kesengajaan Yesus. Yesus sengaja, membiarkan Lazarus meninggal, mengalami pembaringan dalam kasih Allah. Allah mengambil alih seluruh hidupnya yang penuh dengan derita. Kematiannya di dunia menjadi tanda pelepasan beban dan keterikatannya dengan simpul keangkuhan orang-orang kaya.
                Tetapi apakah kematiannya, untuk seterusnya ia pamit dari dunia ini dan tak pulang lagi? Mari kita membangunkan Lazarus yang sedang tidur. Inilah ajakan Yesus kepada para murid-Nya untuk melihat  Lazarus yang tertidur. Apa yang dikatakan Yesus dimengerti secara utuh atau harafiah? Untuk apa kita pergi membangunkannya?  Karena suatu saat ia akan bangun sendiri. Ini terjadi kesalahan persepsi antara Yesus dan murid-murid-Nya. Di sini, Yesus seakan mengajak para murid untuk tenggelam memahami arti dari rahasia tidur dalam pulasan abadi. Yesus sengaja memperlihatkan sekaligus menunjukkan ke-Allahan-Nya pada para murid tentang apa yang akan dilakukan-Nya.
                Yesus selalu memanfaatkan ketepatan “saat” untuk  memproklamirkan keallahan-Nya melalui mujizat. Tentunya Yesus tidak mengadakan “show” religius tetapi Ia menyatakan kepenuhan kerajaan Allah dalam diri orang-orang miskin. Pembangkitan Lazarus dari alam maut menjadi tanda pemerdekaan orang-orang yang tertindas dalam hidupnya setelah mengalami pengalaman Allah selama kematiannya sesaat. Di sini jelas memperlihatkan bahwa Allah sedang “memapah” umat-Nya yang telah derita dalam hidup dan tenggelam dalam dasar maut. Allah tidak membiarkan ia menjerit dalam kesendirian. Jeritan permintaan akan belas kasih juga datang dari Maria dan Marta, saudaranya.
                “Seandainya Tuhan masih ada di sini, saudaraku pasti tidak akan meninggal.” Inilah rentetan penggalan harapan yang keluar dari mulut saudara Lazarus. Harapan akan “kehadiran” Yesus menjadi tanda untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Kehadiran Yesus menjadi tanda legitimasi keberadaan atau eksistensi manusia. Tanpa kehadiran Yesus, orang merasa kehidupannya seolah-olah mengalami kesia-siaan. Kecemasan ini pada akhirnya terhapus oleh “peran” dan campur tangan Allah yang menyata dalam diri Yesus. Allah memperlihatkan mujizat lewat Yesus dengan membangkitkan Lazarus dari alam maut. Maut tunduk pada kuasa Yesus dan membiarkan kehidupan baru bersemi kembali dalam diri Lazarus.
                Lazarus hidup miskin  secara materi tetapi bukan menjadi halangan baginya untuk menerima kemurahan dan kemahakuasaan Allah. Kebangkitan Lazarus memperlihatkan betapa Allah masih memiliki rasa peduli terhadap mereka yang tersisihkan yang diwakili oleh Lazarus. “Kemiskinan terburuk zaman ini adalah  orang-orang merasa tidak dicintai lagi, jauh dari sentuhan kemanusiaan.” ***(Valery Kopong)          



Tuesday, January 8, 2013

GURU KEMANUSIAAN



Judul            : Keharuman Cinta Mother Teresa
Penulis        : Anna Farida
Penerbit     : New Agogos Publising, Jakarta 2012
                “Teresa adalah salah satu titik perenungan tentang  kemanusiaan yang terabaikan. “ Mengenang Teresa dan perjuangan mengumpulkan orang-orang terbuang di Calcuta, adalah mengenang kemanusiaan yang terabaikan hingga titik nadir. Tindakan kemanusiaan yang dilakukan, tidak membuat orang memuji kebaikannya, tetapi lebih banyak orang mencela bahkan mencibir kebaikan yang ia curahkan kepada orang-orang miskin di sudut-sudut kota. Kecurigaan akan kristenisasi semakin kuat ketika orang melihatnya sebagai biarawati Katolik berkerudung yang sedang memperkenalkan cinta kasih itu di tengah hiruk pikuknya kehidupan di Calcuta. 
                “Ia mencari popularitas dengan berpura-pura berpihak pada orang-orang miskin,” demikian keluhan sinis seorang India ketika melihat gerak perjuangannya yang berpihak pada mereka yang tak berdaya.  Keluhan yang muncul ini adalah sebuah keluhan tanpa alasan yang pasti dan nyatanya apa yang dilakukan Teresa adalah murni gerakan kemanusiaan atas nama cinta kasih. Cinta menjadi dasar utama dalam membangun relasi dengan Tuhan dan menghayatinya dalam kehidupan sosial. Mother Teresa selalu gelisah saat berhadapan dengan realitas kehidupan yang miskin dan telantar. Orang-orang miskin dibuang di sudut-sudut kota adalah cermin nurani yang rapuh dan kemanusiaan yang hilang di tengah arogansi zaman. Untuk apa Muder Teresa berani meninggalkan biara dan melepaskan kemapanan hidup untuk bergulat dengan deru nafas kemiskinan?
                Buku novel ini memiliki sebuah kekuatan penceritaan lebih dalam, apalagi Anna Farida, si penulis novel keharuman cinta Mother Teresa adalah  seorang muslimah. Dalam kedalaman refleksinya ia menegaskan bahwa “Bunda Teresa adalah guru kemanusiaan, bukan guru ngajinya.” Tindakan humanis yang telah dicontohkan Mother Teresa tidak pernah lenyap bersamaan dengan kematiannya pada beberapa tahun yang lalu. Tetapi justeru aksi-aksi sosial dan kesalehan hidupnya menjadi contoh semua orang, lintas agama, suku, budaya bahkan lintas generasi. Anna Farida berusaha untuk menuturkan apa yang dilakukan oleh Mother Teresa kepada anak-anaknya di rumah. Bahwa kebaikan yang diperlihatkan oleh Teresa terus diwariskan kepada generasi sesudahnya dan dengan demikian cinta Tuhan semakin mekar di dunia. “Cinta itu terus berbuah di setiap musim, siapapun berhak untuk memetiknya.” Dapatkah kita memetik buah cinta dari Teresa dan membagikannya kepada orang lain?***(Valery Kopong)
                  

MASYARAKAT KATOLIK MARIANIS


(catatan misa inkulturasi)
                Paroki Santa Helena-Karawaci-Tangerang begitu terbuka dan mengapresiasi nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki oleh umatnya. Umatnya yang beragam diberi peluang untuk mengungkapkan iman dalam  konteks budaya yang dimilikinya.  Budaya yang dimiliki dan membentuk kepribadian sejak kecil dimanfaatkan sebagai sarana yang mengantar untuk memahami, siapa itu Allah yang sebenarnya. Di Gereja Santa Helena inilah umat merayakan Ekaristi dan memadukannya dengan budaya lokal. Misa inkulturasi menjadi bagian penting untuk memahami kehadiran Allah lewat beragam budaya.
                Di pagi yang cerah minggu itu, tepat 28 Oktober 2012 umat Katolik NTT yang berada di wilayah Paroki Santa Helena dan sekitarnya merayakan misa yang dihantar dengan keberagaman budaya yang dimiliki oleh setiap wilayah yang ada di NTT. Saat menampilkan lagu dan tarian mengiringi prosesi misa, seolah-olah kesadaran setiap insan yang hadir saat itu, digiring untuk mengenang kembali kisah masa lalu di kampung yang jauh di  ujung timur. “Per Mariam ad Iesum.” Inilah tema sentral yang diusung dalam perayaan bernuansa etnis NTT itu sekaligus mengingatkan kita akan peran Maria di dalam kehidupan manusia.
                Misa inkulturasi ini begitu meriah bukan hanya karena tarian dan lagu-lagu bernuansa  etnis NTT tetapi lebih dari itu karena kehadiran seorang gembala, Mgr. Vincent Sensi Potokota, Pr hadir dan bertindak sebagai selebran utama. Kedatangannya dari Flores menunjukkan betapa perhatiannya yang begitu besar terhadap umatnya sendiri yang sedang dan terus  merantau jauh di tanah Jawa. Kehadirannya menggelorakan kembali semangat hidup dan menuntun umat agar hidup di jalan yang benar. Misa inkulturasi ini dihadiri oleh 12 imam yang umumnya berasal dari Flores. Hadir pula Pastor Profesor Alex Lanur, OFM. Ribuan umat hadir dan tenggelam dalam perayaan misa inkulturasi. 
                Dalam kata pembukaannya, Mgr. Sensi mengatakan bahwa misa inkulturasi tidak sekedar seremoni belaka melainkan sebuah ungkapan iman pada Allah. “Kita masih beruntung punya seorang Bunda Maria yang kemudian menjadi ibu kita.” kehadiran Maria sangat dibutuhkan agar melaluinya kita bisa selamat dalam ziarah hidup iman kita. Kemudian di dalam khotbahnya, Uskup Agung Keuskupan Agung Ende-Flores ini memperlihatkan bahwa masyarakat Katolik NTT dikenal sebagai masyarakat Katolik Marianis, yang terungkap melalui cara-cara dalam berdevosi kepada Bunda Maria.   
                Dalam perjalanan hidupnya, Maria memperlihatkan diri sebagai ibu yang peduli dan memperhatikan orang lain. Perhatian terhadap Yesus dan orang-orang lain di sekitarnya  menjadi prioritas utama. Maria menunjukkan diri sebagai ibu yang berbela rasa dan membangun inisiatif untuk menyelamatkan orang-orang dari situasi genting. Di saat orang merasa kehilangan harapan dan bahkan kehilangan segala-galanya, Maria tampil sebagai ibu yang tidak hanya menghibur tetapi membantu dan memberikan solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.
                Figur Maria perlu dicontoh karena selalu menanggalkan egoisme dan menempatkan kepentingan publik dari kepentingan pribadinya. Ia pun menyadari bahwa Yesus adalah anak Allah yang dikandung dari Roh Kudus dengan meminjamkan rahimnya. Tetapi rahim Maria adalah “rahim semesta” yang menghadirkan Yesus untuk dicintai dan menjadi penebus untuk seluruh umat manusia. Yesus tidak menjadi milik diri seorang Maria tetapi ia menyadari bahwa Yesus milik umat manusia. Karenanya seluruh tindakan Yesus dan pengorbanan diri yang bermuara pada kematian di kayu salib menjadi kegelisahan dan kekuatan iman umat. Maria sungguh gelisah ketika berhadapan dengan realitas dan berperan penting dalam berkoordinasi dengan Yesus dalam upaya penyelamatan situasi.
                Mukjizat pertama pada pesta pernikahan di Kana, menunjukkan peran produktif  itu. Ia menyerahkan seluruh urusan pada Yesus, ketika tuan pesta kehabisan anggur. Melalui permintaan Maria, mukjizat pertama yang menjadi bukti keilahian Yesus terjadi. Dan paling akhir, ia bertahan di jalan salib Tuhan. “Ini menunjukkan bahwa derita Putera sungguh menjadi bagian hidupnya. Hidupnya memang selalu menunjuk kepada Yesus, bukan menyatakan kehebatan keibuannya.”
                “Tidak salah kita menuju Yesus melalui Maria, “ tegas Mgr. Sensi  di selah-selah khotbahnya.  Ziarah iman kita menuju Yesus  melalui Maria adalah sah. Mengapa melalui Maria? Ketika Ia disalibkan, ia menyerahkan Maria untuk menjadi ibu para murid dan kita semua.  Kata-kata Yesus di saat yang sangat genting menunjukkan seorang pribadi yang istimewa bagi siapa saja yang menjadi murid Yesus. Maria adalah jalan pintas untuk mencapai ziarah iman kita. Melalui Maria, kita memperoleh kepenuhan Allah yang kita cari. Maria bisa membantu kita untuk mengenal siapa itu Allah. Seperti dalam pengalaman umat Israel,  Allah tidak membiarkan sisa umat Israel hilang lenyap. Allah menjanjikan untuk mengutus seorang Mesias yang bisa menyelamatkan umat-Nya. Tuhan / Yahwe orang Israel adalah Allah yang setia. 
                Kita boleh meyakini kesetiaan Allah di tengah domba-domba-Nya. Dalam diri Yesus kita melihat ketaatannya pada Allah  yang luar biasa. Yesus  adalah representasi kehadiran Allah sendiri. Yesus sendiri sebagai  Imam Agung hanya karena ingin menghadirkan kesetiaan kepada Allah. Melalui Bunda Maria, Allah yang diimani setiap saat merangkul kita agar tidak sesat. Dalam Injil Markus yang diperdengarkan hari itu, juga menampilkan kepenuhan rahasia hidup Allah yang peka terhadap kenyataan, tidak membiarkan Bartimeus melarat di pinggir jalan.
                Allah yang kita cari mewujud dalam diri Yesus sebagai pribadi yang solider, yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Apa yang kiranya berkesan dan belajar dari contoh kehidupan Maria? Beriman pada Yesus tidak cukup tetapi perlu diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Kita meningkatkan keyakinan kita tentang Yesus melalui Maria. Kehadiran Yesus merupakan kehadiran keteladanan, menciptakan kehidupan kita sehingga menjadi kesaksian nyata yang merangkul satu sama lain. Hidup kita menjadi sebuah kesaksian nyata.***(Valery Kopong)    

Wednesday, January 2, 2013

MARI, IKUTLAH AKU


Di pinggir danau yang sedang disusuri Yesus, sorot mata-Nya tertuju pada dua orang bersaudara, Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya. Tidak hanya dua orang ini tetapi Yesus masih lagi memanggil dua orang bersaudara, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya. Yesus, walaupun sesaat menelusuri danau dan melihat aktivitas mereka, segera Ia memanggil murid-murid pertama ini. Apa reaksi dari para murid yang dipanggil itu? Proses pemilihan murid-murid pertama tidak memberikan sebuah kriteria yang ketat. Tetapi yang pasti adalah Yesus mengetahui kesungguhan mereka untuk mau melepaskan segala-galanya, melepaskan ikatan yang membelenggu mereka dalam mengikuti Yesus.
Menarik bahwa pekerjaan dari murid-murid perdana yang dipanggil Yesus adalah penjala ikan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan yang bertarung dengan tantangan alam. Deburan ombak yang terus menghantam perahu, menjadikan mereka harus mencari keseimbangan agar perahu yang mereka tumpangi tidak terbalik dan tenggelam. Pekerjaan sebagai nelayan menjadi modal dasar mereka untuk mengikuti Yesus. Dengan “jala,” milik mereka yang paling berharga, memicu mereka untuk terus menjala manusia dengan modal keberanian.
“Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.” Kata-kata Yesus ini mengubah situasi karena menarik mereka dari tengah-tengah keakraban dengan ayah yang bersama dengan mereka. Mereka meninggalkan ayah mereka sendirian di tepi danau. Hati ayah mereka tidak mengalami sebuah pemberontakan karena dia tahu bahwa Yesus lebih membutuhkan mereka untuk kepentingan pewartaan karena itu ia (ayah) mereka berani melepaskan anak mereka demi suatu tujuan yang luhur.
Mereka terus mencari dan menggali jati diri serta semangat pelayanan yang dilakukan oleh murid-murid pertama. Kesederhanaan dan keterbukaan mereka untuk menerima tawaran menjadi kunci pembaharu hidup mereka. (Valery)


Tuesday, November 27, 2012

CURIGA

    
-->

Oleh: Valery Kopong*
               
Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan  menjadi “ikon perdamaian” yang perlu dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota komunitas ini  berasal dari karyawan-karyawan  dari tiga perusahaan yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali, anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri dari 8-10 orang.  Tanggal 1 September 2012 yang lalu,  mereka membersihkan lima rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara  yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang).
                Rasyid, salah seorang anggota “Komunitas  Berhati” yang memeluk agama Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang  mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,” tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.
                Komunitas ini memberikan ciri tersendiri karena di dalamnya mencakup  agama, etnis, budaya dan karakter yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi sepertinya mereka sanggup berdialog, menerima satu sama lain sebagai sesama peziarah yang sedang menata kehidupan iman.  Apa yang dilakukan itu merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama pemeluk  agama lain sebagai sesama peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.
                Toleransi dalam kehidupan beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu dibangun atas dasar “persentuhan langsung,”  baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna ketika  masing-masing orang  sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar  apa yang dikatakan oleh  sosiolog Max Weber bahwa, “agama adalah jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan. 
Beberapa hari terakhir ini rasanya bangsa ini dilanda oleh gemuruh peperangan antarkelompok, antaretnis bahkan antaragama yang pada akhirnya mengorbankan nyawa dan harta benda. Konflik yang terjadi seperti di Lampung Selatan dan beberapa daerah lain lebih menunjukkan kecemburuan sosial sebagai pemicu utama.   Memang diakui bahwa wilayah Lampung dikenal sebagai wilayah sasaran  transmigrasi yang sudah terjadi sejak lama. Pertemuan antara orang-orang luar (pendatang) dengan masyarakat lokal tidak terhindar lagi. Yang mesti terus dilakukan adalah bagaimana membangun komunikasi antar satu dengan yang lain agar pada akhirnya semua penduduk saling menerima sebagai anggota masyarakat yang plural. Masyarakat plural adalah masyarakat yang memiliki pelbagai keunikan dan sekaligus dilihat sebagai kekayaan yang bisa memberi warna dalam kebhinekaan bangsa ini.   Kini masalah agama, masalah penduduk asli dan masyarakat pendatang  tidak perlu dipersoalkan lagi  ketika disandingkan dengan pendekatan baru di mana kesadaran hidup sosial  lebih ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh “Komunitas Berhati” menunjukkan sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya dialog agama dan etnis  bukan  sesuatu yang mewah dan istimewa di zaman ini.
Bangsa Indonesia terus memperjuangkan keselarasan hidup dan perjuangan ini tak pernah selesai. Dari hari ke hari upaya membongkar sebuah kemapaman secara primordial, barangkali bisa mengalami kesulitan ketika “benteng otonomi daerah” terus dibangun sebagai pilar untuk menekan kelompok masyarakat pendatang. Kita perlu memandang bangsa ini dalam kebhinekaan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Memandang orang lain dalam kotak-kotak primordial maka cepat atau lambat, kita terperangkap masuk ke dalam “ruang kecurigaan” sepanjang hidup.***