Tuesday, January 29, 2013

PUKENG MOE, LAMALERA



(KARENAMU, LAMALERA)
“Schreiben ist die Toten erwecken,” kata orang Jerman.  Menulis  itu menghidupkan yang mati. Menulis menjadi serupa ritual, perayaan penghidupan atau pembangkitan atas kematian. Dengan menulis, kehidupan yang (terlanjur) putus disambungkan dan dikekalkan. Karena itu, menulis bisa menjadi sebentuk perlawanan, protes atas kematian dan atau atas pelbagai bentuk pematian yang menggerogoti  manusia.
            Layaknya sebuah ritual, menulis mengandaikan partisipasi atau keterlibatan intensional penulis dalam apa yang hendak ditulisnya. Menempatkan diri sebagai pars semacam itu menghindarkan penulis dari apa yang disebut sebagai kesalahan catachonic dalam tulisannya, yaitu kesalahan untuk  ‘mengadili’sesuatu dengan kategori-kategori asing. mengadili sesuatu  dengan kategori  yang  asing bisa ‘menghambarkan’ tulisan dari dayanya  yang  menghidupkan. Tulisan menjadi  insignifikan dan irrelevan bagi konteks terhadapnya tulisan itu ditujukan.
            Dengan kesadaran ritualis semacam itulah, Bruno Dasion menelurkan   kumpulan puisi ini, “Pukeng Moe, LAMALERA.” Tapi lebih dari sekedar titian, empat puluh satu puisi dalam buku ini menjadi sebentuk perlawanan penulis terhadap arus kematian dan pematian atas tradisi khas kampungnya, Lamalera. Secara amat khas, perlawanan dengan kemasan artistik ini terentang di antara tiga struktur waktu: kemarin, hari ini dan esok. Ada kenangan berharga yang tidak bisa begitu saja diabaikan atau dibiarkan dalam kekinian orang-orang Lamalera, tetapi sebaliknya mesti menjadi energi yang membersitkan insight untuk terus melangkah ke depan.***

No comments: