(KARENAMU, LAMALERA)
“Schreiben ist die
Toten erwecken,”
kata orang Jerman. Menulis itu menghidupkan yang mati. Menulis menjadi
serupa ritual, perayaan penghidupan atau pembangkitan atas kematian. Dengan
menulis, kehidupan yang (terlanjur) putus disambungkan dan dikekalkan. Karena
itu, menulis bisa menjadi sebentuk perlawanan, protes atas kematian dan atau
atas pelbagai bentuk pematian yang menggerogoti
manusia.
Layaknya
sebuah ritual, menulis mengandaikan partisipasi atau keterlibatan intensional
penulis dalam apa yang hendak ditulisnya. Menempatkan diri sebagai pars semacam
itu menghindarkan penulis dari apa yang disebut sebagai kesalahan catachonic
dalam tulisannya, yaitu kesalahan untuk
‘mengadili’sesuatu dengan kategori-kategori asing. mengadili
sesuatu dengan kategori yang asing
bisa ‘menghambarkan’ tulisan dari dayanya
yang menghidupkan. Tulisan
menjadi insignifikan dan irrelevan bagi
konteks terhadapnya tulisan itu ditujukan.
Dengan
kesadaran ritualis semacam itulah, Bruno Dasion menelurkan kumpulan puisi ini, “Pukeng Moe, LAMALERA.”
Tapi lebih dari sekedar titian, empat puluh satu puisi dalam buku ini menjadi
sebentuk perlawanan penulis terhadap arus kematian dan pematian atas tradisi
khas kampungnya, Lamalera. Secara amat khas, perlawanan dengan kemasan artistik
ini terentang di antara tiga struktur waktu: kemarin, hari ini dan esok. Ada
kenangan berharga yang tidak bisa begitu saja diabaikan atau dibiarkan dalam kekinian
orang-orang Lamalera, tetapi sebaliknya mesti menjadi energi yang membersitkan
insight untuk terus melangkah ke depan.***
0 komentar:
Post a Comment