Monday, July 17, 2017

Berbagi Pengalaman Misi

Bersama Pater Vinsen Wangge, SVD
Minggu, 16 Juli 2017, bertempat di rumah Bapak Lipus Wangge, yang terletak di pinggir kali Kampung Karet-Tangerang, saya berjumpa dengan Pater Vinsen Wangge, SVD. Lama kami tidak bertemu, sejak terakhir saya berpisah dari rumah induk Ledalero. Bisa dihitung, kurang lebih belasan tahun kami tidak pernah bertemu tetapi kedekatan secara emosional tetap ada karena kadumi pernah dibentuk dan hidup di bawah satu atap biara. Pater Vinsen Wangge, SVD saya kenal sejak di SMA Seminari San Dominggo-Hokeng. Setelah itu bertemu lagi pada Seminari Tinggi Santo Paulus-Ledalero.

Kurang lebih sembilan tahun, Pater Vinsen Wangge, SVD bekerja sebagai misionaris SVD di Afrika bagian utara. Menurut penuturan beliau bahwa paroki di tempat ia bekerja adalah paroki yang paling miskin. Segala kegiatan pastoral terkadang tersendat karena minimnya dana. Memang, ada langkah yang ditempuh untuk mengatasi minimnya dana adalah meminta bantuan pihak lain, terutama sokongan dana dari SVD. Tantangan lain yang diceritakan adalah bagaimana menghadapi datangnya musim serta pergantiannya yang sangat ekstrim. Umat yang umumnya hidup dari pertanian, dalam setahun hanya sekali mengambil hasil pertanian sedangkan selebihnya aktivitas pertanian terpaksa berhenti karena perubahan musim yang ekstrim serta tidak menjanjikan keberhasilan dalam mengelola pertanian.


Friday, July 14, 2017

Thursday, July 13, 2017

Monday, July 3, 2017

PATER BURA LULI, SVD : “PASTOR UNTUK PARA GELANDANGAN”



Pater Yakobus Bura Luli, SVD adalah imam pertama  di Stasi Tapobali, Adonara Timur.  Sejak ditahbiskan  pada 3 Juli 1977 di Larantuka, Pater  Bura Luli, SVD bekerja di Provinsi SVD Timor.  Selama menjadi imam di Timor, ada beberapa paroki ditanganinya terutama di wilayah Atambua dan Kefamenanu. Orang-orang Kefa yang mengenalnya, mengatakan Pater Kobus terkenal sebagai pastor yang tegas namun baik hatinya. Cukup lama Pater Kobus bekerja sebagai pastor  kepala di Paroki Santa Theresia Kefamenanu.  Pendiriannya yang tegas dan bisa merangkul kaum muda, membuatnya dikenal di masyarakat luas.
Penjemputan Pater Kobus dan Suster Lidya di Pelabuhan Waiwerang, 3 Juli 2017
Sebagai pastor kepala di Paroki Santa Theresia Kefamenanu, Pater Kobus tidak hanya sibuk mengurus altar saja tetapi juga terjun ke lapangan dan mengurus para gelandangan.  Hampir setiap hari, Pater Yakobus Bura Luli, SVD turun ke jalan-jalan dan mencari  para gelandangan yang suka bertengger di deker-deker tua. Di sanalah Pater bertemu dengan para gelandangan dan berusaha membangun komunikasi dengan mereka. Berkat ketekunan ini, para gelandangan dikumpulkan di sebuah asrama Paroki Santa Theresia Kefamenanu. Kelompok gelandangan yang berhasil dikumpulkan  ini lebih dikenal dengan “kelompok  Jintiu” yang pada akhirnya mengalami perubahan nama, “Kelompok Don Bosco.” Mereka kemudian dibina oleh Pater Kobus Bura Luli dan dilatih untuk bekerja secara mandiri. Semua mereka pada akhirnya sadar dan membangun hidup secara mandiri.

Thursday, June 22, 2017

Monday, June 19, 2017

TOLERANSI: SEBUAH PARADOKS ?


Oleh: Valery Kopong

Ketika  mencermati gerak  perjalanan sejarah bangsa ini terkesan ada kemunduran yang  luar biasa menyangkut toleransi antarmasyarakat di tengah pluralisme ini. Saat ketika orang mengkotak-kotakan  kelompok di negeri ini, kesan publik yang muncul yakni orang baru sadar bahwa bangsa Indonesia  berada pada nuansa kemajemukan.  Kemajemukan dilihat sebagai sesuatu yang “terberi” dan bukannya sebuah permintaan. Itu berarti bahwa kemajukan yang dimiliki oleh bangsa ini merupakan pemberian Allah dan ini menjadi kekayaan Indonesia yang luar biasa.
            Toleransi menjadi sesuatu yang “mewah”  di Indonesia  karena nilai-nilai toleransi sedang tergerus oleh pemahaman  yang  sempit  oleh begitu banyak kelompok. Bahkan ada pejabat negara pun masih terjebak dalam cara berpikir yang sempit tentang  toleransi dan kemajemukan. Memang, antara toleransi dan kemajemukan adalah dua hal yang saling ber singgungan dan berpengaruh terhadap satu dengan yang lain. Ketika orang mengabaikan dan bahkan menutup mata terhadap kemajemukan bangsa ini maka pada saat yang sama, nilai toleransi mulai hilang. Kemajemukan ini dilihat sebagai “perekat utama” karena ketika kita memandang miring tentang orang lain dalam konteks kemajemukan bangsa ini maka pada saat yang sama, kita sedang meruntuhkan sebuah kenyataan sejarah bangsa ini.