Tuesday, October 15, 2013

BERANI MENGATAKAN YANG BENAR




Judul                     : Pedulikah Kita Pada Hidup?
Pengarang          : Mudji Sutrisno, SJ
Penerbit              : Kanisius, Yogyakarta (Cetakan ke 4 tahun 2012)

Ketika berhadapan dengan realitas hidup, terbetik pertanyaan nakal, mengapa yang baik sering kalah terhadap yang jahat?  Inilah pertanyaan yang sering menggelisahkan publik ketika berhadapan dengan kenyataan hidup di negeri ini. Terhadap kenyataan ini, religi  mencoba  menjawabnya  dengan persepsi dan perenungan mengenai “setan dan malaikat.” Lebih jauh lagi spiritualitas mencoba menjawabnya dengan “perang tanpa usai antara roh baik dan roh jahat.”  Di sinilah terlihat sebuah pemetaan yang jelas antara yang baik dan yang jahat. Tetapi apakah setiap masyarakat sanggup melihat kebenaran sebagai yang benar? Ataukah justeru sebaliknya, melihat sesuatu yang salah untuk dibenarkan?
                Membaca realitas kebenaran di negeri ini mirip dengan membaca abu-abunya realitas. Di sini, perlu dibutuhkan ruang hening yang mendalam agar setiap manusia menentukan kebenaran menurut norma dan hukum yang berlaku dan bukannya  atas dasar uang dan kekuasaan.  Fakta berbicara lain, bahwa dominasi kekuasaan terlampau kuat  hingga kebenaran sesungguhnya  lenyap di mata publik dan yang muncul adalah kebenaran dari hasil rekayasa penguasa. Masih pedulikah kita pada kehidupan sosial dan berpihak pada kebenaran tanpa harus membuat rekayasa?  
                Dalam kumpulan refleksi tentang hidup ini, Romo Mudji Sutrisno, SJ mengajak pembaca untuk melihat secara jeli abu-abu kehidupan. Abu-abu kehidupan yang dimaksudkan adalah sikap manipulasi manusia terhadap kebenaran itu sendiri. Memang berat untuk mengatakan sesuatu sebagai yang benar. Tetapi perlu terus dibangun sikap peduli terhadap sesama yang menjadi korban ketidakadilan. Ada ketakutan publik yang sedang melanda, bahkan ketakutan massal itu sebagai sebuah realitas yang mesti diterima. Ketakutan massal ini lebih disebabkan oleh tekanan publik yang lebih bersekutu  pada ketidakbenaran fakta untuk kemudian dimanipulasi menjadi kebenaran semu.
                Meminjam bahasa Romo Mudji, “Kita sebenarnya tidak takut kepada ketinggian, namun yang kita takuti adalah bila kita jatuh dari ketinggian itu.” Masih sebagian besar orang yang tidak takut mengatakan tentang kebenaran, tetapi menjadi ketakutan adalah, apakah  orang lain juga mengatakan tentang sesuatu yang benar seperti apa yang ia katakan. Karena ketika ia mengatakan kebenaran berseberangan dengan publik maka resiko yang diterima adalah ia harus dikucilkan dari “panggung pergaulan masyarakat.” Resiko pengucilan diri seseorang inilah yang membuat orang takut mengatakan yang benar secara sendirian. “Orang sebenarnya tidak takut akan cinta, namun yang ditakuti adalah bila ia tidak dicintai balik. You are not afraid of love. You are afraid of not being loved back.” Kiranya kebenaran semakin nyata berpihak pada semua lapisan masyarakat.*** (Valery Kopong)    

No comments: