Thursday, May 28, 2009

JAM DINDING

Oleh: Valery Kopong*

Hampir setiap hari saya selalu melihat jam, entahkah jam dinding atau jam tangan. Bangun pagi aku diingatkan oleh detakan jam dinding yang menunjukkan waktu yang tak lama lagi untuk bergegas menuju tempat kerja. Demikian juga di tempat kerja, aku tak luput dari detakan dinding oleh jarum jam. Memang, membosankan apabila suasana terus berlanjut dalam rutinitas hidup manusia.
Setiap manusia selamanya berada pada rel waktu dan manusia terus diingatkan untuk memanfaatkan waktu secara efektif demi pengembangan diri, sesama dan pada akhirnya bermuara pada waktu keselamatan Allah sendiri. Ketika menjelang sengsaraNya, Yesus selalu mengingatkan para muridNya, saatKu hampir tiba, berjaga-jagalah dan berdoalah. Saat yang dimaksudkan di sini adalah waktu, di mana seorang anak manusia harus diserahkan pada tangan para algoju. Walaupun tidak ada jam dinding yang berdetak menemani saat menjelang sengsara Yesus, tetapi Ia tahu, berapa lama lagi jalan kesengsaraan harus ditapaki.
Waktu, saat yang paling genting akhirnya diterima Yesus dengan lapang dada. Tetapi dalam kemanusiaan Yesus, Ia berani berdoa dalam kesendirian dan ketakutan, “Ya Bapa, kalau mungkin biarlah piala ini berlalu daripadaKu tetapi bukan atas kehendakKu melainkan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.” Yesus selalu menunggu saat, menunggu waktu yang pas untuk membiarkan diriNya terbawa dalam arus kehendak Allah. Sebagai manusia yang berada dalam ketakutan, tentunya ada pengharapan akan pembebasan diriNya dari belenggu maut yang bakal mengancam diriNya. “Kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu…..” tetapi kuasa Allah lebih besar dan dalam waktu yang berbarengan, jalan kesengsaraan dijalani demi umat manusia yang ditebusNya.
Ketika mengikuti retret di Puspanita, sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendesak yang dilontarkan oleh salah seorang panitia retret. “Apabila hidup Anda tinggal 3 hari lagi, apa yang harus engkau lakukan?” Pertanyaan yang terkesan menuding ini membuatku untuk menjawab dengan menuliskannya pada secarik kertas kusam. Apabila hidupku tinggal 3 hari lagi, yang kuperbuat adalah berbuat baik dengan orang lain. Konsep berbuat baik di saat-saat akhir menjadi momentum pembenahan diri sebagai bagian purifikasi diri tetapi lebih dari itu merupakan bentuk pertanggungjawaban hidup. Dalam refleksi yang bernas, ada sebuah kejujuran yang mengental yaitu bahwa setiap manusia perlu bebas dari tekanan tanggung jawab dan dalam “terowongan pertanyaan” yang sama, secara individual sepertinya tergiring untuk masuk ke dalam ruang ketakutan. Tetapi pertanyaan yang diberikan untuk digumuli secara massal maka di sini, ada penegasan kolektif yang seakan menyembunyikan “pemberontakan akhir.”
Melalui puisi Aku, Chairil Anwar pun mengumandangkan kemerdekaan Akunya, Aku yang lepas bebas, Aku yang berani. Namun juga seorang Chairil Anwar ternyata membutuhkan sebuah kelompok, sebuah angkatan, yang siap bersamanya mengangkat suara, agar suaranya sendiri boleh lenyap dalam kebersamaan itu. Dia membutuhkan dan karena itu membentuk sebuah angkatan, yang bersamanya siap mengangkat kepala, supaya kalau hendak dicerca masyarakat karena gagasan individualisme itu, bukan cuma kepalanya sendiri yang dilihat dan dibacok. Chairil mengungkapkan sebuah kerinduan untuk menjadi Aku, namun menyadari perlunya sebuah tembok pelindung bernama kelompok, massa, nafas zaman.
Yesus sendiri, dalam pergulatanNya, secara implisit mengharapkan dukungan dari kelompok muridNya sendiri melalui doa. “Berjaga-jagalah dan berdoalah….” Doa dari murid-muridNya, selain supaya terbebas dari godaan dan dosa tetapi bahwa Yesus melihat doa sebagai pangkal dan benteng terakhir dalam menghadapi sakratul maut. Saat-saat kritis, Ia berdoa dalam kesendirian untuk menunjukkan bahwa pola relasi dengan BapaNya tidak hanya dibangun pada saat-saat normal namun dalam suasana genting pun doa menjadi ‘bekal sandaran’ dalam memaknai “via dolorosa.”
Kristus mengambil waktu yang pas, yang walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan bagiNya namun melalui momentum derita itu Ia selalu mengajarkan tentang bagaimana menghargai waktu. Saat itu, waktu itu, Ia tidak menunda lagi proses penderitaan yang bakal dijalani. Hanya dalam waktu, Ia merunduk pasrah dalam balutan kecemasan. Seluruh hidup Yesus dimulai dalam waktu dan berakhir pada waktunya. Ketika di atas salib, Ia mempertanggungjawabkan seluruh karya dan proses penderitaan yang dijalaniNya. “Bapa, selesailah sudah……” Pada saat itu Ia merunduk kaku di atas salib dan menghembuskan nafas terakhir.
Tidak ada jam dinding yang setia mengontrol seluruh perjalanan hidup Yesus. Namun demikian, dalam waktu yang tidak diwarnai dengan gesekan jarum jam, Ia memulai dan mengakhiri seluruh karyaNya dalam genggaman waktu. Barangkali, suatu saat kita pun mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di hadapan Allah dalam waktu yang sama. “Bapa, selesailah sudah…..***

3 comments:

Anonymous said...

Ya...bagus... setuju! Memang bak jam banyak orang melihat jikalau dibutuhkan atau ada maunya. Atau lebih memprihatinkan lagi kalau itu hanya sebagai perhiasan aja. Tapi sangat setuju kalau dengan melihat jam orang sempat juga mengingat-ingat (menghitung) hari-hari hidupnya.
Jikalu demikian kita akan berjuang dan berusaha membuat hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.

apul tumanggor said...

OK Setuju>

apul tumanggor said...

Ya...bagus... setuju! Memang bak jam banyak orang melihat jikalau dibutuhkan atau ada maunya. Atau lebih memprihatinkan lagi kalau itu hanya sebagai perhiasan aja. Tapi sangat setuju kalau dengan melihat jam orang sempat juga mengingat-ingat (menghitung) hari-hari hidupnya.
Jikalu demikian kita akan berjuang dan berusaha membuat hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.