Friday, August 29, 2008

Wacana Koalisi Golkar dan PDI-P

Oleh M Alfan Alfian

Setelah gagal mewujudkan gerak politik bersama pascapertemuan Medan dan Palembang tahun lalu, beberapa kalangan elite Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mewacanakan kembali koalisi menjelang Pemilu 2009. Lagi-lagi, alasan dasar yang dipakai kesamaan ideologi.

Baik Partai Golkar maupun PDI-P sama-sama sebagai partai nasionalis yang berposisi di tengah yang mewadahi beragam segmen (cacth all party). Namun, kesamaan ”ideologi” saja tidaklah cukup untuk mengoperasionalisasikan kerangka koalisi yang sesungguhnya. Akibatnya, koalisi berhenti di tingkat wacana. Kedua partai tampak tak memasang ”harga mati” dan masih membuka diri bagi berbagai macam kemungkinan. Maka, berharap ada koalisi besar PDI-P dengan Partai Golkar sebelum Pemilu 2009 tentu terlalu berlebihan.

Masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri. Realitas faksional di masing-masing partai, khususnya Golkar, membuat manuver-manuver yang tercipta tak kunjung matang. Masing-masing pihak terbuka menciptakan ruang manuvernya sendiri, yang sering berbuah benturan. Di lapangan, kalkulasi politik pragmatis condong mengedepankan ketimbang realisasi komitmen ideologis. Golkar dan PDI-P, dalam banyak kasus gagal berkoalisi, bahkan berhadapan dalam banyak pilkada.

Belum tumbuh

Hingga saat ini, tradisi koalisi permanen belum tumbuh. Golkar dan PDI-P sesungguhnya pernah merintis upaya itu, tatkala membentuk Koalisi Kebangsaan. Tapi begitu Jusuf Kalla, yang notabene wakil presiden, berhasil menjadi ketua umum partai yang sebelumnya dipimpin Akbar Tandjung itu, Koalisi Kebangsaan langsung bubar.

Pasca-Koalisi Kebangsaan, wacana untuk berkoalisi kembali hadir, puncaknya tatkala Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dan petinggi PDI-P Taufik Kiemas memotori pertemuan Medan dan Palembang. Sayangnya, koalisi ini tidak matang. Rencana pertemuan selanjutnya di Jawa Barat gagal.

Di kalangan petinggi Golkar juga pernah dilontarkan gagasan koalisi permanen pendukung pemerintahan serta melancarkan kritik atas partai-partai yang terkesan setengah hati mendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Toh, koalisi permanen pun berhenti di tingkat wacana pula. Partai Golkar dan Partai Demokrat belum membuat koalisi apa-apa menjelang Pemilu 2009 ini. Karena itu, rencana-rencana politik masih demikian terbuka.

Partai-partai yang berada di tengah, baik tengah-kanan maupun tengah-kiri, kini semakin beragam. Artinya segmentasi politik ”ideologi tengah” bakal diperebutkan banyak partai. Dalam pemilu legislatif satu sama lain adalah pesaing, sementara sentimen ideologi pada era demokrasi langsung yang pragmatis ini belum terbukti manjur dalam menggerakkan konvergensi politik. Kalaupun terbentuk koalisi ”permanen” pascapemilu legislatif menjelang pilpres, yang mengemuka justru kepentingan pragmatis berasas take and give dalam sharing kekuasaan.

Yang perlu diamati juga adalah pola oligarki masing-masing partai. Aktor-aktor dalam oligarki politik partai akan sangat menentukan ”hasil akhir” pengambilan kebijakan politik. Dalam konteks inilah realitas fragmentasi internal partai perlu diteropong. Hubungan-hubungan antar-aktor satu partai dengan yang lain perlu pula ditelaah. Kesamaan berorganisasi di luar partai masih dianggap sebagai faktor yang cukup menentukan.

Terlalu riskan

Tampaknya kedua elite partai telah mengambil pelajaran dari rencana-rencana mereka sebelumnya. Terlalu mengutamakan isu koalisi ideologis di tengah realitas pragmatisme, terlalu riskan. Terbukti, partai-partai Islam tampak tersinggung dengan wacana yang seolah-olah memosisikan mereka ”tidak nasionalis”. Eksesnya dapat mengarah kepada ketegangan-ketegangan politik yang kurang perlu. Karena itu, dapat dipahami mengapa, misalnya, Taufik Kiemas mendirikan sayap Islam Baitul Muslimin di PDI-P dan hadir dalam Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang kerap disebut sebagai common enemy itu.

Bayangan bahwa jika Golkar- PDI-P berkoalisi prapemilu akan tambah besar kelak, barangkali hanya akan ”menguntungkan” satu pihak. Pihak PDI-P mungkin lebih optimistis, dukungan suaranya bakal melonjak sesuai yang diperkirakan banyak lembaga jajak pendapat. Sementara Golkar, bisa ”turun kelas” sebagai partai menengah. Kecemasan-kecemasan soal posisi dukungan suara itu sangat menentukan pergerakan niat berkoalisi. Di sisi lain, wacana memasangkan Megawati-Jusuf Kalla atau Jusuf Kalla-Megawati perlu dicermati chemistry politik antarkeduanya, khususnya seberapa besar derajat kepatutan dan elektabilitasnya.

Megawati harus mencari figur untuk memperkuat kimia politiknya. Pengalamannya dalam Pilpres 2004 menjadikan pelajaran berharga. Bagi Megawati dan siapa pun calon presiden, ketepatan memilih pasangan akan sangat menentukan. Satu sama lain tak boleh lagi terkesan menegasikan, sementara JK juga akan disibukkan mengalkulasi dirinya, soal apakah tetap berpasangan lagi dengan Yudhoyono, banyak variabel yang menentukan.

Kini, kalkulasi politik belum dapat dilakukan secara rinci. Pengalaman membuktikan, pertarungan antarpartai akan tidak sama dengan antarfigur. Ke depan, isu oligarki partai ”tidak laku” lagi dijadikan sentimen penarik suara. Sebab, koalisi antar- partai sudah menjadi keharusan khususnya pascapemilu legislatif. Tidak lagi ada klaim koalisi antar-partai yang bebas oligarki.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Jumat, 29 Agustus 2008 | 00:25 WIB

Oleh Teuku Kemal Fasya

Tanggal 15 Agustus selalu diingat sebagai hari perdamaian Aceh. Nota Kesepahaman Helsinki yang menandai perdamaian itu telah menjadi sejarah baru.

Tiga tahun lalu, 15 Agustus 2005, di sebuah vila megah di Vantaa, Helsinki, Finlandia, Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia berjabat erat dengan Malik Mahmud, perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengakhiri mesiu permusuhan yang cukup lama berakar dalam tubuh bangsa.

Beragam intervensi

Perdamaian kali ini menjadi lestari karena perangkat keras perdamaian, yaitu keamanan, mampu digaransi oleh kedua belah pihak. Letusan senjata dan kriminalitas mampu ditekan hingga titik minimal. Tanpa membesar-besarkan beberapa kasus kekerasan, penculikan, pe- rampokan, dan penembakan dari sebaran senjata ilegal yang masih beredar, tingkat kriminalitas nyatanya turun dengan cepat di tengah masyarakat.

Faktor keamanan di Aceh pun tumbuh karena intervensi ekonomi. Jika dibaca secara komprehensif, skenario perdamaian di Aceh berkait-kelindan dengan proyek rekonstruksi tsunami dan investasi pembangunan. Beberapa lembaga yang menangani korban konflik dan mantan kombatan, seperti Badan Reintegrasi/Damai Aceh (BRDA) dan Inter Peace Indonesia (IPI) yang dimotori oleh ”jaringan Makassar” (JK connection) berlomba memperbesar volume anggaran perdamaian.

Faktor terakhir yang memperkuat proses perdamaian di Aceh adalah kesadaran komponen konflik melakukan transformasi politik, dari instrumen militerisme dan clandestein menuju gerakan politik terbuka-konstitusional. GAM telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dan membentuk Partai Aceh (PA) sebagai media agregasi kepemiluan. SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), organisasi yang dulu dikenal sebagai sayap intelektual GAM, telah membentuk secara mandiri Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Ada empat partai politik lokal lainnya yang ikut mewarnai proses politik dan demokrasi Aceh.

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa demokratisasi Aceh tidak hanya terkanalisasi oleh satu kelompok saja (GAM/KPA), tetapi telah menyebar menjadi kekuatan-kekuatan politik baru yang sangat mungkin menolak agenda-agenda krisis dan kerawanan keamanan tumbuh pada masa depan. Mekarnya kekuatan sipil (akademisi, wartawan, dan LSM) dalam mengisi ruang publik dengan rencana-rencana peradaban dan pertumbuhan akan menutup jalan terjal menuju medan pertempuran.

Beberapa tantangan

Berkaca pada proses penyelesaian konflik Aceh melalui skenario M>small 2small 0

Proses ini memang ditunjukkan dengan terbentuknya beragam regulasi dan struktur-struktur politik yang mencacah residu konflik dan kekerasan sekaligus masuknya industri investasi. Namun, proses ini belum menjadi keyakinan dan keampuhan bagi seluruh masyarakat. Pilkada dan transformasi politik GAM telah berlangsung, tetapi kesejahteraan dan kenyamanan masih jauh dari pandangan (masyarakat kecil).

Satu hal yang masih problematis adalah belum redupnya isu pemekaran provinsi Aceh Leuseur Antara (ALA) dari wilayah publik. Meskipun Gubernur Irwandi berhasil membonsai jaringan dan tokoh-tokoh politik yang propemekaran, isu ini kembali hangat. Bila tidak dikelola ”mainan politik” ini akan berubah serius. Peredaan wacana pemekaran akan efektif jika pemerintahan Aceh mampu memberi janji dengan bukti serta membebaskan isolasi masyarakat pedalaman dengan pembangunan dan partisipasi. Selain juga memberi kesempatan kekuasaan dan pendidikan bagi putra-putra terbaik Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulue sebagai suku minoritas di Aceh.

Keran keamanan pasti bocor jika setiap individu tidak dipercaya mempertahankan perdamaian. Tanggung jawab perdamaian Aceh tidak hanya di tangan elite, tetapi seluruh aktor yang peduli. Manisnya buah perdamaian bukan hanya bernutrisi bagi masyarakat Aceh, tetapi juga Indonesia yang makin berjaya.

Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh

Jumat, 29 Agustus 2008 | 00:26 WIB

Thursday, August 28, 2008

Mesin Ketik Pertama Arswendo Atmowiloto

Oleh Arswendo Atmowiloto

Saya menulis cerita pendek mulai kelas dua SMA। Mestinya jauh sebelum itu, karena itu यांग pertama kali dimuat। Tentang kisah cinta sesama teman sekolah. Lalu banyak menulis cerpen dalam bahasa Jawa. Salah satunya BAKUL JAMU atau penjual obat pinggir jalan yang biasanya penuh atraksi.

Saya ingat karena karena cerpen itu dikomentari sastrawan senior N. Sakdani Darmopamudjo. Tentu saja cerita ini lahir dari tangan saya--dalam artian sebenarnya--karena saya tulis dengan tangan. Tulisan tangan saya tidak bagus... sampai sekarang susah dibaca, mirip resep bikinan dokter.

Sebagian dari karya saya kemudian saya berikan ke biro jasa pengetikan. Waktu itu di Solo ada banyak biro jasa seperti itu. Kita bisa mengetikkan , dapat rangkap dua, dengan ongkos tertentu per halaman. Tapi ya itu tadi, tulisan saya susah dibaca dan susah ditafsirkan. Akibatnya, banyak salah ketik.

Tanpa banyak belajar, saya bisa mengetik di kantor kelurahan. Biasanya sehabis jam kantor, kelurahan sepi. Mesin ketik gede pun menganggur sehingga saya bisa leluasa menggunakan. Namun, kondisinya sudah tidak memenuhi syarat. Pitanya kering dan hancur, huruf-hurufnya harus dibersihkan, sehingga cara terbaik adalah memakai karbon. Aslinya tak jelas, tapi hasil karbon bisa terbaca. Apalagi harga karbon jauuuuh lebih murah dibandingkan dengan harga pita mesin ketik.

DIGADAIKAN IBU

Sebenarnya, kami pernah memiliki mesin ketik, warisan keluarga. Saya pernah menggunakan sesekali. Tapi oleh Ibu, mesin ketik itu digadaikan ke keluarga dekat. Karena tiga bulan tak bisa menebus, akhirnya "mabur" alias terbang tak kembali.

Sebenarnya keluarga dekat itu bukan tukang gadai. Tapi Ibu sering meminjam uang dan biasanya susah ditagih. Saya sempat marah besar kepada Ibu, namun Ibu menerangkan: "Itu lebih baik daripada kelaparan, dijual kan sayang."

Untuk jangka yang lama saya membenci Ibu karena tak menemukan alasan kenapa mesin ketik itu digadaikan. Ibu menyesali perbuatan itu, dan menurut cerita, ia mau "menjual rambut tubuhnya" jika bisa menebusnya. Tapi tak ada yang mau membeli rambut Ibu. Versi lain diceritakan tetangga. Ibu terpaksa menggadaikan mesin ketik itu bukan untuk kebutuhan sendiri, melainkan untuk menolong seseorang yang datang padanya meminjam duit.

Beberapa kali saya minta klarifikasi ke Ibu, tapi tak ada jawaban pasti. Untuk satu hal ini, Ibu lebih suka tutup mulut.

Akhirnya, ada jalan keluar yang tak terduga. Bisa jadi beginilah jalan Tuhan yang susah dimengerti, tapi mudah dirasakan. Saya menjaga toko kelontong milik keluarga dekat tadi. Saya menjaga saya juga berbelanja ke toko grosir dan melakukan pembukuan. Untuk itu, saya tidak menerima gaji, tapi bisa menggunakan mesin ketik.

Selama tak ada pembeli, saya bisa terus mengetik. Sebuah penyelesaian yang sama-sama menyenangkan. Saya mengusulkan toko buka 24 jam, meski yang disetujui hanya sampai pukul 22.00.

Toh, keinginan memiliki mesin ketik sendiri tetap menggebu, apalagi setelah toko kelontong itu punya penjaga lain. Saya merasa kurang leluasa mengetik. Untunglah, tak lama kemudian saya diterima bekerja di sebuah penerbitan berbahasa Jawa. Di sini saya bisa mengetik. Tapi, karena satu mesin dipakai tiga empat wartawan, kami harus antre. Di malam hari kadang saya tertidur dalam antrean.

Di samping pekerjaan kantor, saya mengetik juga keperluan pribadi. Menulis artikel, cerita pendek, dan cerita bersambung untuk dikirimkan ke penerbitan di Jakarta. Untuk kertas yang dipakai urusan pribadi, saya membawa sendiri dari rumah. Kertas itu biasanya kertas buram--begitu istilahnya, harganya murah.

Kertas itu tidak dibeli per rim, melainkan secara eceran. Bisa dibeli hanya 100 lembar, 50 lembar, bahkan 10 lembar pun dilayani. Dapat dibayangkan betapa repotnya menghitung lembar demi lembar, kadang tangan dibasahi ludah lebih dulu.

Saya mencoba menyisihkan uang agar kelak bisa membeli mesin ketik. Yang bekas pun tak apa. Namun, keinginan itu lebih sering mentok oleh kebutuhan perut. Hanya mereka yang pernah merasakan lapar, tahu betapa kelaparan bisa mendorong seseorang berbuat yang kita sesali, termasuk membenci Ibu atau mengecewakan anak. Hanya mereka yang tulus akan menemukan jalan keluar yang menyenangkan, tidak menyakiti siapa-siapa, dan tidak menyisakan dendam.

BUAH PERKAWINAN

Tahun pertama pernikahan, saya lebih memperkuat tekad untuk bisa membeli dan memiliki mesin ketik sendiri. Istri saya yang bekerja sebagai penjahit setuju untuk sama-sama menyisihkan uangnya. Dimasukkan ke "tabungan" yang diletakkan di kamar tidur. Bukan celengan ayam atau babi, melainkan kendi, tempat air dari tanah.

Kalau saya menerima honor tulisan, separuh masuk tabungan. Juga istri saya kalau menerima honor jahitan. Kalau tidak begitu, tidak ada yang tertahan. Sebelumnya, kami sudah melakukan hal yang sama ketika membeli mesin jahit bekas, dan sukses.

Meskipun tidak mencatat, kami sering berhitung. Kira-kira sudah berapa, hari ini memasukkan berapa, minggu ini memasukkan berapa. Perolehan dari honor-honor saya lumayan sebenarnya. Karena saya juga menulis laporan atau berita--lebih sering berbentuk feature--untuk harian KOMPAS dan mingguan TEMPO. Mungkin saya satu-satunya koresponden lepas yang bekerja untuk dua media yang berbeda. Herannya, saya memiliki surat tugas resmi, selembar kertas yang menerangkan saya koresponden lepas, dengan jangka waktu tertentu.

Honor menulis cerpen sekitar lima kali hasil menjahit baju. Namun tak bisa dijadwalkan kapan saya terima. Sementara menjahit bisa diperhitungkan, tiga hari dikerjakan selesai. Bisa langsung terima ongkos jahit... kalaupun mundur pembayaran, masih bisa diperkirakan. Baik menjahit maupun mengetik tak memerlukan modal besar. Menjahit hanya perlu membeli benang dan jarum sesekali, sedangkan mengetik hanya memerlukan kertas. Masalahnya, mesin jahit sudah ada, mesin ketik belum!

Sambil menunggu tabungan penuh, kami berdua rajin ke toko, melihati pajangan mesin ketik, dan mengumpulkan data-data, merek ini harganya berapa.Keinginan saya adalah mesin ketik portable--bukan yang gede kayak di kantor. Buatan Jepang lebih murah dari buatan Jerman, Inggris atau negara lain.

Ketika merasa sudah cukup, kami pun sepakat untuk memecahkan kendi. Benar, uang yang kami kawinkan berhasil mencapai harga mesin ketik di toko. Tak menunggu lama, kami berdua naik becak menuju kompleks pertokan di daerah Singasaren, sekitar tiga kilometer dari rumah. Dengan gagah kami membeli. Akhirnya! Ya, akhirnya saya, eh kami, memiliki mesin ketik sendiri!

Pulangnya saya tak mau naik becak. Mesin ketik sengaja saya tenteng sambil jalan kaki. Biar seluruh dunia tahu saya mampu membeli mesin ketik. Baru. Merek Brother, buatan Jepang -- mungkin juga buatan Taiwan atau Tiongkok, atau malah rakitan negeri sendiri. Kami hanya beristirahat di warung bakso. Bukan karena kecapekan, melainkan masih ada sisa duit. Melanjutkan jalan kaki, lewat deretan toko yang lampunya terang. Sehingga orang-orang bisa melihat kami membawa mesin ketik!

Sampai di rumah, mesin ketik dibuka plastiknya, saya letakkan di ranjang. Lalu dikeloni. Sengaja saya tidak menggunakan malam itu. Ingin memandang sepuasnya. Saya sudah menyatakan tekad bulat: segenting apa pun hidup ini, mesin ketik ini tak boleh digadaikan.

AMAN BERSELIMUT

Esoknya, berita besar sampai di kantor. Saya mendapat ucapan selamat. Semua teman menyatakan turut bergembira. Tentu saja mereka bergembira karena saya tak ikut antrean lagi.
Sejak itu hiasan rumah jadi berubah. Bertambah dengan pita yang direntangkan dari ujung ke ujung. Pita mesin ketik yang kering diminyaki, kemudian diangin-anginkan. Ini cara yang lebih mudah dibandingkan membeli yang baru. Pernah saya melakukan kebodohan yang disesali agak lama. Membeli pita baru yang dua warna: merah dan hitam. Ternyata warna merah praktis tak pernah digunakan, artinya hanya mempergunakan separuh. Duuuuh, nyesel rasanya.

Akhir 1973 saya mengembara ke Jakarta, sendirian. Anak dan istri di rumah. Pekerjaan saya menulis resensi, atau apa saja untuk dikirimkan ke media yang ada. Media mana saja. Mesin ketik itu saya bawa karena tak punya kantor. Saya memperoleh tempat tinggal di daerah Cililitan, di sebuah kebun kosong milik orang yang baik hati. Di sana ada rumah, namun kurang terurus... memang tak ditempati. Ada daun pintu, tapi tak ada kunci, dan engselnya mudah lepas.

Kalau saya dan teman-teman pergi, mesin ketik itu saya bungkus selimut, disembunyikan di kolong ranjang. Nyatanya selamat dari pencuri yang bisa masuk leluasa jika mau.

Kemudian saya mulai bekerja di grup ... namanya belum divisi majalah, di Gramedia. Mesin ketik itu pun ikut pindah ke rumah kontrakan di daerah Kalipasir, Cikini, kemudian ke Depok. Kadang kalau tugas keluar kota saya bawa.

Kami berpisah sementara di akhir tahun 1979 ketika saya mendapat beasiswa dari University of Iowa, Amerika Serikat. Saya mendapat kesempatan mengikuti kuliah dan membeli kuliah, kalau mau, mengenai penulisan kreatif. Hasil pertama di sana saya isi dengan membeli mesin ketik. Waktu itu mesin ketik sangat murah karena adanya komputer. Belinya di toko loak.

Suara tak-tik-tak-tok yang merdu turut hilang, berganti tet-tet-tet-tet mesin ketik listrik. Rasanya kok kurang pas. Itu sebabnya saya beli lagi mesin ketik biasa. Saah satu novel yang saya tulis lewat mesin ketik itu adalah DUA IBU yang dimuat bersambung di KOMPAS dan diterbitkan Gramedia, lalu mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dua mesin ketik itu saya bawa pulang, meskipun praktiknya saya masih lebih sering menggunakan merek Brother, yang kini telah berubah, catnya diperbarui. Kalau tak salah pernah dua kali diperbarui catnya, sebelum akhirnya lebih banyak digunakan keponakan. Sekitar 1985-an saya mulai menggunakan komputer. Membeli dari Parakitri Tahi Simbolon yang menjual berikut mesin printernya.

DOA DARI PENJARA

Saya memang selalu mengetik. Boleh dikata, tak pernah tiga hari berturut-turut, dalam kondisi apa pun, saya tidak mengetik. Setidaknya sampai 1990 ketika saya masuk penjara. Saya masih menulis, mengumpulkan lelucon-lelucon, yang lantas menjadi buku MENGHITUNG HARI, juga dibuat sebagai sinetron dengan judul yang sama dan dipilih sebagai sinetron terbaik. Capek sekali menulis tangan seperti dulu. Akhirnya, saya secara khusus merumuskan cara berdoa.

"Tuhan, tangan saya capek menulis. Beri kesempatan menggunakan mesin ketik kalau itu membawa kebaikan bagi saya. Jangan beri kesempatan kalau ternyata menjauhkan dari-Mu." Saya minta bantuan istri dan anak-anak berdoa dengan tema serupa: mendapatkan mesin ketik.

Eeeee, manjur seketika atau kebetulan, saya diizinkan memakai mesin ketik. Surat permohonan yang sudah diajukan sejak masuk, tiba-tiba diberi izin, dengan surat khusus. Alasan yang saya pakai untuk mengetik pembelaan. Surat izin itu saya beri bingkai, saya tempel di kamar. Isinya bahwa saya bertanggung jawab penuh atas penggunaan mesin ketik itu, tak boleh dipinjamkan kepada orang lain tanpa izin tertulis dari pimpinan.

Suatu ketika ada sipir yang mau meminjam mesin ketik, tetapi saya tolak. Padahal hanya mengetik satu huruf. Ya, satu huruf. Sipir itu baru saja memfotokopi kartu tanda penduduk. Rupanya ada huruf yang tak tersalin dengan jelas, dan hanya bisa dibetulkan dengan mesin ketik karena jenis hurufnya sama. Tapi saya keukeh tak memberikan dengan menunjukkan tanda larangan meminjamkan.

Di ruang keamanan--hanya ini tempat yang diperbolehkan untuk mengetik, itu pun siang hari--saya tak cuma mengetik pembelaan, tapi juga cerpen, novel, cerita bersambung, sesekali artikel. Dengan nama samaran, saya kirimkan dan dimuat di banyak harian, mingguan, dan majalah.

Gangguan kala mengetik hanya terjadi kalau ada napi berkelahi, pukul-pukulan, tusuk-tusukkan, atau tertangkap sodomi. Di ruang itulah diperiksa, berdaah-darah. Saya tak tega melihatnya. Mungkin kalau dulu saya berdoa: "Tuhan beri kesempatan saya menggunakan mesin ketik siang dan malam", lain ceritanya.

Sekarang, ketika menulis ini, saya tak lagi memakai mesin ketik. Tapi saya mengoleksi banyak mesin ketik, dari semua jenis yang pernah saya gunakan dan masih saya ingat, sampai yang aneh-aneh. Ada yang hurufnya amat sangat kecil, berhuruf Jepang, Arab, Thailand, Ibrani, India, ada juga yang sangat besaaaaar, hurufnya berdiri seperti bulu merak, hurufnya kapital semua, hurufnya terbuat dari perak, berukuran lebih kecil dari korek api [ini lebih sebagai hiasan], sampai yang masih lengkap tas pembungkusnya [dari kulit, kayu, plastik].

Beragam benar, dan semua masih bisa digunakan untuk mengetik. Saya memang senang mengoleksi. Mungkin karena dulu pernah menggunakan berbagai jenis yang tak bisa saya miliki. Mungkin juga karena kini saya merasa punya duit dan mampu membeli. Mungkin juga karena keinginan bernostalgia, sebagai kenangan yang bisa menjadi kekuatan rohani saat itu... atau juga sampai saat ini.

Yah, hanya mereka yang penah lama mengetik dengan mesin ketik manual bisa merasakan irama tak-tok-tak-tok yang indah, merdu, dan memberi kekuatan hidup. (*)

Sumber: Intisari, Februari 2008

BUNGA DUKA

Oleh: Valery Kopong*

GUNDUKAN tanah itu masih basah. Di atas gundukan tanah itu tertabur bunga-bunga duka dan tertanam salib bertuliskan RIP, requescat in pace, semoga ia beristirahat dalam damai. Menatap salib kayu bertuliskan RIP dan nama Paul yang terpampang di palang hina itu, ada memori terhadir kembali untuk mengenang wajah yang sudah berada dalam bayangan. Wajah yang ramah itu telah membumi dan lebur bersama ibu pertiwi tetapi kenangan akan wajah dan kepribadiannya tak pernah luput dari ingatan.

Kematian tak terelakan oleh manusia itu telah meninggalkan kesedihan yang mendalam. Isak tangis dan jeritan keluarga tak kuasa menghidupkan kembali tubuh yang kaku. Tetapi di tengah deraian air mata dan hilangnya harapan tersembul sosok Yesus yang dalam kitab suci memperkenalkan diri sebagai jalan, kebenaran dan hidup. Sebagai jalan yang benar, dimengerti sebagai penunjuk jalan ke arah tanah air sorgawi. Dialah yang membimbing orang yang telah meninggal dunia untuk boleh menikmati kebahagiaan abadi, suatu kebahagiaan sejati yang dijanjikan oleh Kristus kepada manusia. Dan Kristus sebagai manusia yang pernah mati dan bangkit sebagai Allah menjadikan ia sebagai tokoh iman abadi bagi dunia.

Merenungkan kisah korban Kristus dan memperhadapkan dengan kematian sahabatku Paul, ada suatu janji tentang kehidupan lain yang ada di dalamnya. Ketika berbaring di RS Sint Carolus, Paul sepertinya berpasrah pada Dia yang telah tersalib. Aku mengerti dengan sikap pasrahnya yang mungkin dipengaruhi oleh profesinya sebagai guru agama sehingga ia menghayati penderitaan itu sebagai salib yang harus ditanggung. Kepasrahan yang tergambar dalam sikap Paul yang berstatus sebagai pasien, tidak hanya karena penghayatannya akan penderitaan yang telah dialami oleh Sang gurunya tetapi karena parahnya penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya.

“Pak, sakit apa pak?” tanya Beny puteranya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Engga! Engga! Bapak engga sakit! Bapak hanya istirahat,” jawab Paul dalam kemelut resah. “Mengapa bapak hanya istirahat dan harus menempati ruang isolasi?” tanya Beny yang melacak keberadaan bapak di ruang isolasi.

“Ia tak sanggup menjawab lagi seluruh pertanyaan yang diberikan oleh anaknya. Buliran air matanya jatuh berceceran membasahi pipinya yang makin kurus.

Hari berganti hari, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Sore itu, Maria isterinya dipanggil oleh dokter Alberto untuk berkompromi agar bapak Paul segera dilarikan ke ruang ICU. “Bu, kondisi suamimu semakin memburuk. Jalan satu-satunya yaitu masuk ruang ICU dan kemungkinan dicuci darahnya karena darahnya telah tercemar dengan racun sebagai akibat dari pecahnya empedu,” kata dokter Alberto

“Seluruh penanganan kesehatan, saya serahkan pada dokter,” tegas Maria dengan mata berkaca-kaca. Memasuki ruang ICU sepertinya memasuki ruang kematian, mirip Auschwitz di Jerman tempo dulu. Pernapasan bapak Paul dipacu oleh oksigen dan hentakan jantung dikontrol oleh komputer. Detakan garis naik-turun yang terlihat pada layar komputer menandakan bahwa masih adanya tanda kehidupan. Pada hentakan garis terakhir menunjukkan sebuah garis lurus yang membentang dan mengisyaratkan sebuah kematian total. Pada hari Jumat, tepatnya pukul 10.00, bapak Paul menutup mata untuk terakhir kalinya. Ia mengambil hari Jumat sebagai hari kematian, mungkin untuk menunjukkan bahwa ia tetap menyatu dengan Yesus yang kematianNya diperingati pada hari Jumat Agung.

Ia telah tiada, ia telah pergi. Jiwanya telah melayang mendahului Beny, Eus dan Maria. Kepergiannya telah melepaskan belenggu penyakit yang menggerogotinya selama hidupnya. Tetapi kematiannya telah menyisahkan kepedihan yang mendalam dan hilangnya harapan bagi kedua puteranya.

“Mam, ke mana bapak pergi? Tanya Beny pada Maria, mamanya.

“Ia pergi menemui Yesus,” jawab Maria.

“Kapan bapak pulang lagi setelah menemui Yesus?” tanya Beny lanjut.

Kematian membawa kedukaan tetapi dibalik kedukaan itu menimbulkan pertanyaan lanjut, seperti Beny yang selalu bertanya kepergian bapaknya. Tubuh bapak Paul telah melebur bersama tanah. Gundukan tanah yang membukit pada pintu makam, telah menyatukan-leburkan tubuhnya dengan tanah. Memang, manusia diciptakan dari tanah maka setelah meninggal, ia harus kembali ke asalnya. Tanah adalah pangkuan asal seorang manusia dan manusia menemukan kerapuhan diri di atas onggokan tanah.

Tubuh memang hancur tetapi jiwa adalah sesuatu yang abadi. Setelah kematian, tubuh manusia berpisah dengan jiwanya. Tubuh kembali menemui tanah asalnya dan jiwa pun pergi menemui Allah sebagai Sang Khalik. Perpisahan tubuh dan jiwa dalam peristiwa kematian tidak lebih dilihat sebagai terbebasnya jiwa dari penjara tubuh. Tubuh dilihat sebagai penjara yang selama manusia hidup tetap mendekap jiwa. Karena tubuh (baca:daging) itu lemah maka terkadang jiwa turut terperosok di dalam kelemahan tubuh itu.

Senja kini jatuh lebih cepat di kompleks pemakaman karena pohon-pohon rindang menaungi dan sinar mentari menghilang lebih awal ditolak daun-daun tua dan semerbaknya wangi bunga duka. Di atas langit terlihat sebuah pesawat melaju dengan cepat menghantar penumpang, saat yang sama sidang perkabungan pun menghantar jenazah bapak Paul. Seperti pesawat, yang setelah menghantar penumpang namun tidak tahu ke mana tujuan perjalanan penumpang selanjutnya, demikian juga para pelayat dan penghantar jenazah. Mereka cuma menghantar tetapi tidak tahu perjalanan jiwa selanjutnya. Tetapi dalam keyakinan akan Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup, Beny dan Maria ibunya percaya bahwa jiwa almahrum telah berarak menuju tanah air sorgawi. “Bapak, selamat jalan sampai jumpa. Jangan lupa Beny dan Eus,” pinta Beny di depan pusara.***

Api, Lau

Bung Karno jadi presiden dalam usia 44. Soeharto memimpin gerilya ke Kota Yogya dalam umur 26. Ali Sadikin jadi gubernur ketika ia 39 tahun.

Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi lagi? Kenapa kini, pada awal abad ke-21 ini, sejumlah orang harus berteriak, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberitakan yang tak lazim, bahwa mereka yang masih muda bisa jadi pemimpin?

Memang ganjil, sebenarnya. Indonesia belum tua benar. Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang pendek bahkan dalam tarikh kepulauan ini sendiri. Tapi rupanya sesuatu terjadi: kini Indonesia tak berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu, kini kita telah terbiasa gentar untuk krisis.

Tak ada lagi tanah longsor politik, yang menyebabkan lembaga-lembaga yang ada retak atau runtuh. Tak ada celah tempat munculnya sesuatu yang baru sama sekali. Tak ada awal yang seakan-akan murni dan sepenuhnya awal. Kita bisa bernapas lega. Tapi jangan-jangan kita sebenarnya sedang tidak benar-benar bernapas.

Sebab, seperti dialami Indonesia pada tahun-tahun revolusi— dari 1945 sampai 1949—dari retakan tanah longsor itulah, ketika sejarah bagaikan dipenggal, bisa lahir pemimpin yang justru jadi penting karena ia tak punya masa lalu. Bukan kebetulan Benedict Anderson menyebut masa itu masa ”Revolusi Pemuda”: yang muda tak hanya berada di garis depan yang menghela maju, tapi juga di belakang, jadi pendorong.

Gemuruh itu menemukan jejaknya, dengan sedikit mencong-mencong, dalam organisasi-organisasi pemuda. Ada Gerakan Pemuda Marhaen, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Rakyat, Pemuda Sosialis, Pemuda Ansor—dan pada 1958 sampai 1966, sebagian dari ”gerakan” itu disingkirkan dan sebagian dihidupkan kembali, sebuah tanda bahwa sesuatu sedang guncang di masa itu.

Pada 1958, Bung Karno menyebut tema ”Manifesto Politik” yang dimaklumkannya ”penemuan kembali revolusi kita”. Sampai 1965, kata ”revolusi” jadi sakti kembali. Tak berarti masa itu adalah masa yang seluruhnya layak dirindukan kembali: ”revolusi”, walaupun dalam bentuk separuh retorika belaka, punya korbannya sendiri. Tapi ada yang kuat di sana, dan suasana seperti matang kembali, berseru, seperti Chairil Anwar berseru:

Ayo Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu

Kemudian datang 1965-1966: api itu membakar, laut itu menghantam, ke sana-kemari, dan dari arang dan puing Indonesia berpegang erat-erat, dengan rasa takut dan paranoia, sebuah keadaan yang disebut ”stabilitas”. Gemuruh dan gejolak dicegah. Revolusi digantikan Kontrarevolusi. Lembaga-lembaga dikukuhkan. Sistem dan prosedur dimantapkan.

Dalam keadaan itu, yang muda tak bisa lagi berkata, seperti Chairil berkata, ”aku sekarang api, aku sekarang laut”. Berangsur-angsur, yang muda jadi bagian penopang bangunan yang didirikan dan diberi nama ”Orde Baru”: jadi paku, sekrup, dan penyangga—hal-hal yang tak bisa mengguncang, bahkan diadakan buat melawan guncangan. Para pemuda bukan lagi bergerak, melainkan harus antre dengan tertib. ”Orde Baru” adalah sebuah masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” sebagai yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus napasnya.

Politik memang mati pada masa itu. Kini, sejak 1998, ia memang hidup kembali, tapi tiap ”Reformasi”—bahkan sebenarnya juga tiap Revolusi—tak hanya mengandalkan sisi destruktif dari sikap menampik. ”Reformasi” tak hanya terdiri dari sisi yang merusak dari ”negasi”. Tiap ”Reformasi” mengandung sisi yang ”afirmatif”. Tiap ”Reformasi” menunjukkan kemungkinan lahirnya tatanan baru yang sebenarnya bukan sebuah awal yang benar-benar awal.

Tapi dengan demikian ”Reformasi” mengandung kemungkinan berubahnya tatanan itu jadi kontra-reformasi. Ada satu fragmen dari sajak Pier Paolo Pasolini, Vittoria, yang pernah dikutip Alain Badiou—sebuah sajak yang dimulai dengan kalimat yang muram, ”semua politik adalah Realpolitik”. Dari sini kita temukan gambaran yang murung: pasukan anak muda yang telah gugur, yang datang kembali dan menunggu. Tak mustahil bila ”ayah mereka, pemimpin mereka, terlibat habis dalam sebuah debat yang misterius dengan Kekuasaan”. Tak mustahil bila sang ayah akan meninggalkan mereka, ”di pegunungan putih, di lembah yang anteng…”.

Tak mustahil—bahkan itulah yang terjadi kini. Politik hidup kembali, tapi tampaknya anak-anak muda telah ditinggalkan. Sepuluh tahun setelah Reformasi, tetap tak ada tampak gerakan pemuda dalam radar politik Indonesia. Partai-partai yang kini sibuk tak henti-hentinya terlibat dalam ”debat yang misterius dengan Kekuasaan” dan ke luar dari sana dengan tubuh yang gemuk tapi tua.

Tubuh itu tampak tua tentu saja karena Megawati, dalam umur 61, tetap ingin jadi presiden sekali lagi. Juga karena Abdurrahman Wahid, 68 tahun, belum hendak melepaskan niatnya buat kembali jadi kepala negara. Tapi bukan hanya itu soalnya. Ketuaan itu terasa ketika partai-partai memang tidak dimaksudkan untuk jadi ”api” dan ”laut”—kekuatan yang bisa destruktif tapi juga bisa menggerakkan perubahan.

Buat sebuah perubahan sosial, mereka yang tak terikat masa lalu—para pemuda—diperlukan di depan, sebagai penghela dan pendorong. Tapi jika kini kita tak melihat mereka, itu karena partai hanya jadi sebuah tempat pengawet, berangkat dari keinginan untuk kembali, bukan untuk sebuah gerakan maju.

~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXVII/28 Juli - 03 Agustus 2008~

Wednesday, August 27, 2008

MEMBUNUH IDEOLOGI

Oleh: Valery Kopong*

Abu Dujana telah ditangkap. Pelbagai kritik sedang dituai oleh pihak kepolisian berkenaan dengan cara penangkapan yang dinilai tidak manusiawi. Tim pembela muslim pun menilai bahwa penangkapan yang dilakukan melanggar hak asasi manusia karena yang bersangkutan ditembak pada saat ia telah jongkok dan pasrah.

Peristiwa penangkapan teroris ini mengundang minat publik untuk mengkaji lebih jauh terkait dua hal. Pertama, peristiwa penangkapan Abu Dujana dan para teroris lain tidak secara otomatis membubarkan jaringan teroris yang telah eksis sekian tahun. Kedua, peruntuhan jaringan teroris mestinya dibarengi dengan pembersihan ideologi yang dianut oleh kaum teroris yang telah mengakar dalam kelompok fundamental yang melegalkan kekerasan bahkan pembunuhan sebagai “komunikasi religius.” “Jihad, sebuah terminologi suci bagi kaum teroris. Penyebutan jihad seakan menjadi sebuah pembelaan tuntas. Terminologi jihad menyelesaikan segala perkara. Ada semacam keyakinan bahwa aktivitas kekerasan menjadi sarana masuk sorga, asal dibungkus dengan motif jihad. Sebuah logika moralitas yang menyesakkan nurani kemanusiaan kita!”

Tugas Berat Kepolisian

Apakah dengan penangkapan pelaku teroris, Indonesia sudah merasa aman dari ancaman dan peledakan bom? Jawabannya sulit untuk ditebak. Penangkapan bukanlah tujuan akhir tetapi hanyalah sebuah cara. Permasalahan pokok yang perlu ditangani terletak pada bagaimana membangun ideologi baru yang lebih menghargai nilai humanitas dan sekaligus menyelenggarakan kampanye untuk meruntuhkan ideologi militan yang sedang ditumbuhkan oleh kaum teroris.

Pihak kepolisian masih memiliki kelemahan. Secara organisatoris, mereka (pihak kepolisian) cukup solid dalam membangun jaringan kerja untuk membongkar kerangka kerja para gembong teroris. Tetapi cara paling efektif untuk bagaimana membubarkan jaringan teroris dengan ideologinya, belum terjangkau secara fundamental.

Tugas berat pihak kepolisian pascapenangkapan Abu Dujana adalah membangun pola kerja baru dengan menempuh beberapa langkah. Pertama, pahamilah masalah secara benar seperti yang dikatakan oleh Hobbes. Dengan memahami esensi masalah terorisme secara komprehensif maka besar kemungkinan semua permasalahan dapat teratasi.

Kedua, kepolisian harus digerakkan oleh misi dan kepentingan yang sama. Untuk meruntuhkan jaringan ini perlu adanya kerja sama dengan lembaga lain terutama lembaga keagamaan yang dijadikan tameng oleh para teroris untuk berlindung. Lembaga penegak hukum yang baik mempunyai mission-driven (Frederickson, 1997), bukan sekadar digerakkan oleh aturan (rule-driven).

Ketiga, meruntuhkan jaringan komunikasi yang negatif. Menelusuri sepak terjang kehidupan para teroris, kehidupan mereka menyatu dengan dunia internet dan alat komunikasi lain, yang mana peluang ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi secara global dengan sesama jaringan. Untuk membendung komunikasi ini maka pihak kepolisian berkoordinasi dengan departemen yang secara langsung menangani dunia internet dan alat komunikasi lain dalam memblokir jaringan mereka.

Keempat, sudah saatnya pihak kepolisian dan pemerintah bekerjasama mendirikan satu lembaga baru yang khusus mengedepankan “ideologi baru” (mungkin ideologi pancasila) yang lebih humanis yang bisa memberi pemahaman terhadap publik akan pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia. Kerumunan masyarakat perlu diberi pembekalan baru tentang nilai sebuah kehidupan yang lebih berarti. Atau meminjam bahasa Le Bon, seperti yang dikutip Boni Hargens mengatakan, individu dalam kerumunan menjadi anonim, mengalami hipnosis karena tenggelam dalam psikologi kolektif yang menular secara psikologis, cenderung mudah dipengaruhi, mudah percaya, dan loyal pada kelompok. Fenomena ini terlihat pada kelompok teroris yang cenderung mudah dipengaruhi dan loyal pada pamrih daripada hajat hidup rakyat, pemilik kehidupan (Kompas,18/5/2007).

Ujung Tombak

Lembaga kepolisian menjadi ujung tombak membasmi jaringan berbahaya ini. Empat pilar di atas menjadi penentu utama dalam menegakkan sebuah negara dari ancaman teroris. Jika pilar penentu kurang diperhatikan secara baik maka pertumbuhan jaringan terorisme semakin menyebar, seiring dengan waktu dan lengahnya para aparat.

Menata pola kerja seusai penangkapan Abu Dujana adalah sesuatu yang mendesak. Karena setiap kali ada penangkapan, apalagi yang ditangkap adalah seorang pemimpin maka ikatan emosional anggota lain cepat tanggap untuk menata susunan kepemimpinan yang baru. Pola kerja aparat dalam melenyapkan jaringan ini terkesan lambat tapi pasti. Atau meminjam adagium latin, “guta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo.” (titik air dapat melubangi batu bukan dengan kekerasan tetapi dengan cara menetes berulang-ulang kali). “Gaya dan pesona kehilangan makna kalau pemimpin labil dalam prinsip. Perubahan terjadi di tangan pemimpin yang berprinsip tegas dan berperangai lembut.”

Keberhasilan pihak kepolisian dalam menangani masalah terorisme tidak terlepas dari partisipasi masyarakat terutama dalam memberi informasi mengenai keberadaan seorang teroris. Teroris telah tertangkap tetapi bukan berarti sekaligus melenyapkan karakter mereka yang militan. Masih ada jalan panjang untuk mengelola ideologi baru sebagai ideologi tandingan sekaligus meruntuhkan ideologi para teroris.***

*Penulis, pemerhati masalah terorisme

Gisela Borowka Pahlawan Kaum Kusta


Penyakit kusta bisa disembuhkan
Biarlah mereka hidup bersama kita
Mereka juga citra Allah
Tuhan sayang kita semua
Jangan lukai hati mereka,
Mereka telah terluka
Orang-orang kusta tidak saja sakit fisik,
tapi juga sakit hati.

[Gisela Borowka]



Mama Putih bicara dengan bahasa Indonesia ala Flores Timur. Sangat sederhana. Dia juga membawa beberapa bekas penderita lepra untuk kasih kesaksikan bahwa mereka benar-benar sudah sembuh. Mereka, para bekas penderita lepra, punya komunitas di Lewoleba, bisa kerja, produktif, bisa main teater, paduan suara, dan seterusnya.

Tapi kami, anak-anak kecil dan warga kampung, tidak percaya begitu saja. Orang kampung sudah telanjur termakan takhayul bahwa lepra penyakit kutukan. Celakanya lagi, kitab suci banyak menceritakan tentang penderita kusta di zaman Yesus Kristus yang juga dikucilkan masyarakat. Klop! Jadi, benar-benar sulit menghapus pandangan lama.

Gisela Borowka alias Mama Putih pertama kali menginjak bumi Lembata pada 28 Agustus 1963. Saya tidak bisa membayangkan Lembata pada tahun 1960-an. Sebab, pada 1980-an saja kita harus jalan kaki dari pelabuhan sederhana ke 'kota'. Kota harus pakai tanda kutip karena jauh berbeda dengan kota di Jawa. Sampai sekarang saya tidak menganggap Lewoleba sebagai kota meskipun sejak reformasi sudah menjadi ibu kota kabupaten. Masih terlalu sederhana ala kampung-kampung umumnya.

Misi sosial Gisela ke Lembata dimungkinkan karena sebelumnya ia berkenalan dengan Isabella Diaz Gonzales, perawat yang menjadi teman akrabnya saat menempuh pendidikan di Wuezburg, Jerman. Mereka bahkan satu kamar di asrama. Isabella [belakangan menjadi Mama Hitam] bercerita betapa masih banyak penderita lepra di Flores Timur dan Indonesia umumnya.

Saat itulah Gisela Borowka teringat Pastor Damian de Veuster SSCC yang dikirim ke Hawaii pada 1863. Di sana orang-orang kusta dibuang ke Pulau Molokai. Cepat atau lambat para penderita kusta akan mati karena tidak ada perawatan. Pastor Damian menawarkan diri berkarya di Pulau Molokai agar bisa merawat para penderita kusta.

Selama 16 tahun Damian tinggal di pulau terkucil itu. Ia terkena lepra juga, dan meninggal di situ. Damian kemudian dijuluki pahlawan kusta dari Molokai. Nah, Gisela Borowka membaca cerita Pastor Damian saat masih kelas lima sekolah dasar di Jerman Timur.

"Hati kecil mengatakan bahwa saya harus mengikuti jejak Pastor Damian," kata Gisela Borowka dalam buku yang ditulis Florens Maxi Un Bria, Pr. ini. Pada 1963, saat tiba di Lembata, cita-cita masa kecil Gisela mulai mewujud. Kondisi Lembata memang tidak separah Molokai, tapi status orang kusta sama-sama terkucil.

"Setiap hari kami sibuk mengurus orang sakit. Pekerjaan ini membuat aku senang dan bahagia.... Setiap saat selalu ada orang sakit kusta datang meminta obat. Mereka akhirnya berkeputusan tingga bersama kami sebab di masyarakat mereka disisihkan. Mereka harus tinggal jauh dari keluarga. Untuk itu, Isabella membangun dua pondok darurat untuk mereka," cerita perempuan kelahiran Neisse, Jerman, 25 Agustus 1934, ini.

Situasi di pondok kusta pada 1960-an sangat sulit. Atap bocor. Kutu busuk. Nyamuk banyak sekali. "Setiap pagi kami dikejutkan oleh luka baru yang parah. Kami akhirnya tahu bahwa luka itu bekas gigitan tikus karena kaki mereka mati rasa. Mereka tidak tahu kalau malam tikus datang menggigit tangan dan kaki mereka.

"Kami memberi mereka kaus kaki pada malam hari. Hasilnya, setelah bangun kaus kakinya telah tiada karena telah dibawa si tikus nakal. Kami merasa ngeri sekali."

Pada 1966 Gisela Borowka mendapat bantuan dari Jerman berupa bahan-bahan untuk mendirikan rumah sakit kusta di Lewoleba. Masyarakat menyebutnya rumah besi karena bahan-bahannya memang dari besi dan eternit. Pada Desember 1968 Rumah Sakit Lepra 'Damian' resmi beroperasi di Lembata. Lalu, dibangun dapur umum, paviliun, kamar cuci, kamar mandi, kakus, hingga kebun. Bagi Gisela Borowka, ini semua berkat bantuan doa Pater Damian, tokoh idolanya.

Kehadiran rumah sakit lepra membuat pelayanan Mama Hitam dan Mama Putih makin mudah. Orang-orang kusta akhirnya sembuh dan membentuk komunitas khusus. Masyarakat umum di Flores Timur pun tidak takut lagi dengan penyakit kusta. Boleh dikata, sejak akhir 1990-an tidak ada lagi penderita kusta di Flores Timur, khususnya Lembata. Jikapun ada, begitu tahu gejala-gejalanya, langsung diobati sehingga tidak merusak organ tubuh penderita.

RS Lepra semakin terkenal karena sering mementaskan teater di berbagai tempat. Gisela Borowka memanfaatkan Teater Padma untuk menjelaskan penyakit kusta di masyarakat. Semua pemain teater bekas penderita kusta. Teater ini main di kampung-kampung hingga Kupang, ibu kota provinsi NTT.

Pada 1980 RS Lepra diserahkan kepada kongregasi suster-suster CIJ. Gisela Borowka merasa bahwa tugasnya di Indonesia sudah selesai. Banyak penderita kusta sembuh dan telah kembali ke rumahnya masing-masing. Gisela mulai memikirkan berlibur ke Jerman, bahkan mungkin tinggal di negaranya itu. Misi kemanusiaan di Lembata tuntas dengan sempurna!

Namun, pada 1987 Uskup Kupang Mgr. Gregorius Monteiro meminta Gisela Borowka berkarya di Pulau Alor. Pulau ini terpencil dan lebih menantang ketimbang Lembata. Di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Gisela melayani orang-orang kusta di Kampung Kusta Benlelang.

"Saya sangat sedih karena banyak dari mereka sudah cacat. Hati saya iba melihat tangan cacat mereka, namun masih bisa pegang palu besar untuk memecahkan batu-batu besar yang diambil di kali. Mereka menyekop pasir dari dalam air, dan itu semua dikerjakan dengan tangan cacat," cerita Gisela Borowka.

Seperti di Lewoleba dulu, pada 1989 Gisela mendirikan rumah sakit lepra di Alor. Pasien yang parah dirawat di rumah sakit. Sementara kunjungan ke pelosok-pelosok untuk mengobati penderita kusta di lapangan tetap dilakukan. Pada 1990 pemerintah mengirim dokter spesialis dari RS Kusta Sitanala di Tangerang untuk membantu Gisela dan kawan-kawan di Alor.

Bekas penderita kusta yang cacat dioperasi agar anggota tubuhnya bisa lebih sempurna. Biaya ditanggung oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan Gisela berkembang karena donatur di dalam dan luar negeri terus membantu. Setiap tahun Kedutaan Besar Jerman di Jakarta mengadakan acara pengalangan dana untuk penderita kusta di Pulau Alor.

"Saya senang karena bantuan-bantuan itu pekerjaan kami menjadi ringan dan lebih baik," kata Gisela Borowka. Dia juga membuka Panti Asuhan Damian di Kalabahi karena banyaknya anak keluarga miskin yang tidak mendapat layanan pendidikan dan kesehatan yang layak.

Pada 20 September 1996, bertepatan dengan masa pensiunnya, Gisela Borowka resmi menjadi warga negara Indonesia. Status WNI membuat ia lebih leluasa bekerja untuk penderita kusta dan orang-orang yang terbuang. "Saya percaya bahwa Tuhan telah mengatur semuanya dengan baik. Saya tidak berpikir lagi untuk pulang ke Jerman sebab tenaga saya masih dibutuhkan di Indonesia," tegas Gisela.

Gisela Borowka alias Mama Putih telah berbuat banyak, bahkan terlalu banyak, untuk penderita kusta dan orang-orang telantar di Flores Timur dan Alor. Dia pahlawan orang kusta di Indonesia!


BIOGRAFI SINGKAT

Nama : Gisela Borowka
Lahir : Neisse, Jerman, 25 Agustus 1934
Pendidikan : Pendidikan perawat di Missionsaertztliche, Wuerzburg, Jerman, 1953.

TUGAS PELAYANAN

1958-1962 : Merawat penderita kusta di Ethiopia.
1963-1987 : Merawat penderita kusta di Lewoleba, Lembata, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
1987- sekarang : Merawat penderita kusta dan anak telantar di Kalabahi, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

PENGHARGAAN

1980 : Penghargaan tertinggi dari pemerintah Jerman atas dedikasinya sebagai pekerja sosial.
11 November 2000: Sido Muncul Award dari PT Sido Muncul Semarang atas jasa-jasanya di bidang sosial kemanusiaan.
Sumber: http://hurek.blogspot.com