Friday, August 29, 2008

Wacana Koalisi Golkar dan PDI-P

Oleh M Alfan Alfian

Setelah gagal mewujudkan gerak politik bersama pascapertemuan Medan dan Palembang tahun lalu, beberapa kalangan elite Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mewacanakan kembali koalisi menjelang Pemilu 2009. Lagi-lagi, alasan dasar yang dipakai kesamaan ideologi.

Baik Partai Golkar maupun PDI-P sama-sama sebagai partai nasionalis yang berposisi di tengah yang mewadahi beragam segmen (cacth all party). Namun, kesamaan ”ideologi” saja tidaklah cukup untuk mengoperasionalisasikan kerangka koalisi yang sesungguhnya. Akibatnya, koalisi berhenti di tingkat wacana. Kedua partai tampak tak memasang ”harga mati” dan masih membuka diri bagi berbagai macam kemungkinan. Maka, berharap ada koalisi besar PDI-P dengan Partai Golkar sebelum Pemilu 2009 tentu terlalu berlebihan.

Masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri. Realitas faksional di masing-masing partai, khususnya Golkar, membuat manuver-manuver yang tercipta tak kunjung matang. Masing-masing pihak terbuka menciptakan ruang manuvernya sendiri, yang sering berbuah benturan. Di lapangan, kalkulasi politik pragmatis condong mengedepankan ketimbang realisasi komitmen ideologis. Golkar dan PDI-P, dalam banyak kasus gagal berkoalisi, bahkan berhadapan dalam banyak pilkada.

Belum tumbuh

Hingga saat ini, tradisi koalisi permanen belum tumbuh. Golkar dan PDI-P sesungguhnya pernah merintis upaya itu, tatkala membentuk Koalisi Kebangsaan. Tapi begitu Jusuf Kalla, yang notabene wakil presiden, berhasil menjadi ketua umum partai yang sebelumnya dipimpin Akbar Tandjung itu, Koalisi Kebangsaan langsung bubar.

Pasca-Koalisi Kebangsaan, wacana untuk berkoalisi kembali hadir, puncaknya tatkala Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dan petinggi PDI-P Taufik Kiemas memotori pertemuan Medan dan Palembang. Sayangnya, koalisi ini tidak matang. Rencana pertemuan selanjutnya di Jawa Barat gagal.

Di kalangan petinggi Golkar juga pernah dilontarkan gagasan koalisi permanen pendukung pemerintahan serta melancarkan kritik atas partai-partai yang terkesan setengah hati mendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Toh, koalisi permanen pun berhenti di tingkat wacana pula. Partai Golkar dan Partai Demokrat belum membuat koalisi apa-apa menjelang Pemilu 2009 ini. Karena itu, rencana-rencana politik masih demikian terbuka.

Partai-partai yang berada di tengah, baik tengah-kanan maupun tengah-kiri, kini semakin beragam. Artinya segmentasi politik ”ideologi tengah” bakal diperebutkan banyak partai. Dalam pemilu legislatif satu sama lain adalah pesaing, sementara sentimen ideologi pada era demokrasi langsung yang pragmatis ini belum terbukti manjur dalam menggerakkan konvergensi politik. Kalaupun terbentuk koalisi ”permanen” pascapemilu legislatif menjelang pilpres, yang mengemuka justru kepentingan pragmatis berasas take and give dalam sharing kekuasaan.

Yang perlu diamati juga adalah pola oligarki masing-masing partai. Aktor-aktor dalam oligarki politik partai akan sangat menentukan ”hasil akhir” pengambilan kebijakan politik. Dalam konteks inilah realitas fragmentasi internal partai perlu diteropong. Hubungan-hubungan antar-aktor satu partai dengan yang lain perlu pula ditelaah. Kesamaan berorganisasi di luar partai masih dianggap sebagai faktor yang cukup menentukan.

Terlalu riskan

Tampaknya kedua elite partai telah mengambil pelajaran dari rencana-rencana mereka sebelumnya. Terlalu mengutamakan isu koalisi ideologis di tengah realitas pragmatisme, terlalu riskan. Terbukti, partai-partai Islam tampak tersinggung dengan wacana yang seolah-olah memosisikan mereka ”tidak nasionalis”. Eksesnya dapat mengarah kepada ketegangan-ketegangan politik yang kurang perlu. Karena itu, dapat dipahami mengapa, misalnya, Taufik Kiemas mendirikan sayap Islam Baitul Muslimin di PDI-P dan hadir dalam Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang kerap disebut sebagai common enemy itu.

Bayangan bahwa jika Golkar- PDI-P berkoalisi prapemilu akan tambah besar kelak, barangkali hanya akan ”menguntungkan” satu pihak. Pihak PDI-P mungkin lebih optimistis, dukungan suaranya bakal melonjak sesuai yang diperkirakan banyak lembaga jajak pendapat. Sementara Golkar, bisa ”turun kelas” sebagai partai menengah. Kecemasan-kecemasan soal posisi dukungan suara itu sangat menentukan pergerakan niat berkoalisi. Di sisi lain, wacana memasangkan Megawati-Jusuf Kalla atau Jusuf Kalla-Megawati perlu dicermati chemistry politik antarkeduanya, khususnya seberapa besar derajat kepatutan dan elektabilitasnya.

Megawati harus mencari figur untuk memperkuat kimia politiknya. Pengalamannya dalam Pilpres 2004 menjadikan pelajaran berharga. Bagi Megawati dan siapa pun calon presiden, ketepatan memilih pasangan akan sangat menentukan. Satu sama lain tak boleh lagi terkesan menegasikan, sementara JK juga akan disibukkan mengalkulasi dirinya, soal apakah tetap berpasangan lagi dengan Yudhoyono, banyak variabel yang menentukan.

Kini, kalkulasi politik belum dapat dilakukan secara rinci. Pengalaman membuktikan, pertarungan antarpartai akan tidak sama dengan antarfigur. Ke depan, isu oligarki partai ”tidak laku” lagi dijadikan sentimen penarik suara. Sebab, koalisi antar- partai sudah menjadi keharusan khususnya pascapemilu legislatif. Tidak lagi ada klaim koalisi antar-partai yang bebas oligarki.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Jumat, 29 Agustus 2008 | 00:25 WIB

No comments: