Wednesday, August 27, 2008

MEMBUNUH IDEOLOGI

Oleh: Valery Kopong*

Abu Dujana telah ditangkap. Pelbagai kritik sedang dituai oleh pihak kepolisian berkenaan dengan cara penangkapan yang dinilai tidak manusiawi. Tim pembela muslim pun menilai bahwa penangkapan yang dilakukan melanggar hak asasi manusia karena yang bersangkutan ditembak pada saat ia telah jongkok dan pasrah.

Peristiwa penangkapan teroris ini mengundang minat publik untuk mengkaji lebih jauh terkait dua hal. Pertama, peristiwa penangkapan Abu Dujana dan para teroris lain tidak secara otomatis membubarkan jaringan teroris yang telah eksis sekian tahun. Kedua, peruntuhan jaringan teroris mestinya dibarengi dengan pembersihan ideologi yang dianut oleh kaum teroris yang telah mengakar dalam kelompok fundamental yang melegalkan kekerasan bahkan pembunuhan sebagai “komunikasi religius.” “Jihad, sebuah terminologi suci bagi kaum teroris. Penyebutan jihad seakan menjadi sebuah pembelaan tuntas. Terminologi jihad menyelesaikan segala perkara. Ada semacam keyakinan bahwa aktivitas kekerasan menjadi sarana masuk sorga, asal dibungkus dengan motif jihad. Sebuah logika moralitas yang menyesakkan nurani kemanusiaan kita!”

Tugas Berat Kepolisian

Apakah dengan penangkapan pelaku teroris, Indonesia sudah merasa aman dari ancaman dan peledakan bom? Jawabannya sulit untuk ditebak. Penangkapan bukanlah tujuan akhir tetapi hanyalah sebuah cara. Permasalahan pokok yang perlu ditangani terletak pada bagaimana membangun ideologi baru yang lebih menghargai nilai humanitas dan sekaligus menyelenggarakan kampanye untuk meruntuhkan ideologi militan yang sedang ditumbuhkan oleh kaum teroris.

Pihak kepolisian masih memiliki kelemahan. Secara organisatoris, mereka (pihak kepolisian) cukup solid dalam membangun jaringan kerja untuk membongkar kerangka kerja para gembong teroris. Tetapi cara paling efektif untuk bagaimana membubarkan jaringan teroris dengan ideologinya, belum terjangkau secara fundamental.

Tugas berat pihak kepolisian pascapenangkapan Abu Dujana adalah membangun pola kerja baru dengan menempuh beberapa langkah. Pertama, pahamilah masalah secara benar seperti yang dikatakan oleh Hobbes. Dengan memahami esensi masalah terorisme secara komprehensif maka besar kemungkinan semua permasalahan dapat teratasi.

Kedua, kepolisian harus digerakkan oleh misi dan kepentingan yang sama. Untuk meruntuhkan jaringan ini perlu adanya kerja sama dengan lembaga lain terutama lembaga keagamaan yang dijadikan tameng oleh para teroris untuk berlindung. Lembaga penegak hukum yang baik mempunyai mission-driven (Frederickson, 1997), bukan sekadar digerakkan oleh aturan (rule-driven).

Ketiga, meruntuhkan jaringan komunikasi yang negatif. Menelusuri sepak terjang kehidupan para teroris, kehidupan mereka menyatu dengan dunia internet dan alat komunikasi lain, yang mana peluang ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi secara global dengan sesama jaringan. Untuk membendung komunikasi ini maka pihak kepolisian berkoordinasi dengan departemen yang secara langsung menangani dunia internet dan alat komunikasi lain dalam memblokir jaringan mereka.

Keempat, sudah saatnya pihak kepolisian dan pemerintah bekerjasama mendirikan satu lembaga baru yang khusus mengedepankan “ideologi baru” (mungkin ideologi pancasila) yang lebih humanis yang bisa memberi pemahaman terhadap publik akan pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia. Kerumunan masyarakat perlu diberi pembekalan baru tentang nilai sebuah kehidupan yang lebih berarti. Atau meminjam bahasa Le Bon, seperti yang dikutip Boni Hargens mengatakan, individu dalam kerumunan menjadi anonim, mengalami hipnosis karena tenggelam dalam psikologi kolektif yang menular secara psikologis, cenderung mudah dipengaruhi, mudah percaya, dan loyal pada kelompok. Fenomena ini terlihat pada kelompok teroris yang cenderung mudah dipengaruhi dan loyal pada pamrih daripada hajat hidup rakyat, pemilik kehidupan (Kompas,18/5/2007).

Ujung Tombak

Lembaga kepolisian menjadi ujung tombak membasmi jaringan berbahaya ini. Empat pilar di atas menjadi penentu utama dalam menegakkan sebuah negara dari ancaman teroris. Jika pilar penentu kurang diperhatikan secara baik maka pertumbuhan jaringan terorisme semakin menyebar, seiring dengan waktu dan lengahnya para aparat.

Menata pola kerja seusai penangkapan Abu Dujana adalah sesuatu yang mendesak. Karena setiap kali ada penangkapan, apalagi yang ditangkap adalah seorang pemimpin maka ikatan emosional anggota lain cepat tanggap untuk menata susunan kepemimpinan yang baru. Pola kerja aparat dalam melenyapkan jaringan ini terkesan lambat tapi pasti. Atau meminjam adagium latin, “guta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo.” (titik air dapat melubangi batu bukan dengan kekerasan tetapi dengan cara menetes berulang-ulang kali). “Gaya dan pesona kehilangan makna kalau pemimpin labil dalam prinsip. Perubahan terjadi di tangan pemimpin yang berprinsip tegas dan berperangai lembut.”

Keberhasilan pihak kepolisian dalam menangani masalah terorisme tidak terlepas dari partisipasi masyarakat terutama dalam memberi informasi mengenai keberadaan seorang teroris. Teroris telah tertangkap tetapi bukan berarti sekaligus melenyapkan karakter mereka yang militan. Masih ada jalan panjang untuk mengelola ideologi baru sebagai ideologi tandingan sekaligus meruntuhkan ideologi para teroris.***

*Penulis, pemerhati masalah terorisme

No comments: