Oleh: Valery Kopong*
GUNDUKAN tanah itu masih basah. Di atas gundukan tanah itu tertabur bunga-bunga duka dan tertanam salib bertuliskan RIP, requescat in pace, semoga ia beristirahat dalam damai. Menatap salib kayu bertuliskan RIP dan nama Paul yang terpampang di palang hina itu, ada memori terhadir kembali untuk mengenang wajah yang sudah berada dalam bayangan. Wajah yang ramah itu telah membumi dan lebur bersama ibu pertiwi tetapi kenangan akan wajah dan kepribadiannya tak pernah luput dari ingatan.
Kematian tak terelakan oleh manusia itu telah meninggalkan kesedihan yang mendalam. Isak tangis dan jeritan keluarga tak kuasa menghidupkan kembali tubuh yang kaku. Tetapi di tengah deraian air mata dan hilangnya harapan tersembul sosok Yesus yang dalam kitab suci memperkenalkan diri sebagai jalan, kebenaran dan hidup. Sebagai jalan yang benar, dimengerti sebagai penunjuk jalan ke arah tanah air sorgawi. Dialah yang membimbing orang yang telah meninggal dunia untuk boleh menikmati kebahagiaan abadi, suatu kebahagiaan sejati yang dijanjikan oleh Kristus kepada manusia. Dan Kristus sebagai manusia yang pernah mati dan bangkit sebagai Allah menjadikan ia sebagai tokoh iman abadi bagi dunia.
Merenungkan kisah korban Kristus dan memperhadapkan dengan kematian sahabatku Paul, ada suatu janji tentang kehidupan lain yang ada di dalamnya. Ketika berbaring di RS Sint Carolus, Paul sepertinya berpasrah pada Dia yang telah tersalib. Aku mengerti dengan sikap pasrahnya yang mungkin dipengaruhi oleh profesinya sebagai guru agama sehingga ia menghayati penderitaan itu sebagai salib yang harus ditanggung. Kepasrahan yang tergambar dalam sikap Paul yang berstatus sebagai pasien, tidak hanya karena penghayatannya akan penderitaan yang telah dialami oleh Sang gurunya tetapi karena parahnya penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya.
“Pak, sakit apa pak?” tanya Beny puteranya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Engga! Engga! Bapak engga sakit! Bapak hanya istirahat,” jawab Paul dalam kemelut resah. “Mengapa bapak hanya istirahat dan harus menempati ruang isolasi?” tanya Beny yang melacak keberadaan bapak di ruang isolasi.
“Ia tak sanggup menjawab lagi seluruh pertanyaan yang diberikan oleh anaknya. Buliran air matanya jatuh berceceran membasahi pipinya yang makin kurus.
Hari berganti hari, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Sore itu, Maria isterinya dipanggil oleh dokter Alberto untuk berkompromi agar bapak Paul segera dilarikan ke ruang ICU. “Bu, kondisi suamimu semakin memburuk. Jalan satu-satunya yaitu masuk ruang ICU dan kemungkinan dicuci darahnya karena darahnya telah tercemar dengan racun sebagai akibat dari pecahnya empedu,” kata dokter Alberto
“Seluruh penanganan kesehatan, saya serahkan pada dokter,” tegas Maria dengan mata berkaca-kaca. Memasuki ruang ICU sepertinya memasuki ruang kematian, mirip Auschwitz di Jerman tempo dulu. Pernapasan bapak Paul dipacu oleh oksigen dan hentakan jantung dikontrol oleh komputer. Detakan garis naik-turun yang terlihat pada layar komputer menandakan bahwa masih adanya tanda kehidupan. Pada hentakan garis terakhir menunjukkan sebuah garis lurus yang membentang dan mengisyaratkan sebuah kematian total. Pada hari Jumat, tepatnya pukul 10.00, bapak Paul menutup mata untuk terakhir kalinya. Ia mengambil hari Jumat sebagai hari kematian, mungkin untuk menunjukkan bahwa ia tetap menyatu dengan Yesus yang kematianNya diperingati pada hari Jumat Agung.
Ia telah tiada, ia telah pergi. Jiwanya telah melayang mendahului Beny, Eus dan Maria. Kepergiannya telah melepaskan belenggu penyakit yang menggerogotinya selama hidupnya. Tetapi kematiannya telah menyisahkan kepedihan yang mendalam dan hilangnya harapan bagi kedua puteranya.
“Mam, ke mana bapak pergi? Tanya Beny pada Maria, mamanya.
“Ia pergi menemui Yesus,” jawab Maria.
“Kapan bapak pulang lagi setelah menemui Yesus?” tanya Beny lanjut.
Kematian membawa kedukaan tetapi dibalik kedukaan itu menimbulkan pertanyaan lanjut, seperti Beny yang selalu bertanya kepergian bapaknya. Tubuh bapak Paul telah melebur bersama tanah. Gundukan tanah yang membukit pada pintu makam, telah menyatukan-leburkan tubuhnya dengan tanah. Memang, manusia diciptakan dari tanah maka setelah meninggal, ia harus kembali ke asalnya. Tanah adalah pangkuan asal seorang manusia dan manusia menemukan kerapuhan diri di atas onggokan tanah.
Tubuh memang hancur tetapi jiwa adalah sesuatu yang abadi. Setelah kematian, tubuh manusia berpisah dengan jiwanya. Tubuh kembali menemui tanah asalnya dan jiwa pun pergi menemui Allah sebagai Sang Khalik. Perpisahan tubuh dan jiwa dalam peristiwa kematian tidak lebih dilihat sebagai terbebasnya jiwa dari penjara tubuh. Tubuh dilihat sebagai penjara yang selama manusia hidup tetap mendekap jiwa. Karena tubuh (baca:daging) itu lemah maka terkadang jiwa turut terperosok di dalam kelemahan tubuh itu.
Senja kini jatuh lebih cepat di kompleks pemakaman karena pohon-pohon rindang menaungi dan sinar mentari menghilang lebih awal ditolak daun-daun tua dan semerbaknya wangi bunga duka. Di atas langit terlihat sebuah pesawat melaju dengan cepat menghantar penumpang, saat yang sama sidang perkabungan pun menghantar jenazah bapak Paul. Seperti pesawat, yang setelah menghantar penumpang namun tidak tahu ke mana tujuan perjalanan penumpang selanjutnya, demikian juga para pelayat dan penghantar jenazah. Mereka cuma menghantar tetapi tidak tahu perjalanan jiwa selanjutnya. Tetapi dalam keyakinan akan Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup, Beny dan Maria ibunya percaya bahwa jiwa almahrum telah berarak menuju tanah air sorgawi. “Bapak, selamat jalan sampai jumpa. Jangan lupa Beny dan Eus,” pinta Beny di depan pusara.***
0 komentar:
Post a Comment