Saturday, September 18, 2010

ANAK


Hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.
Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti menuruti tatanan simbul-simbul yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.
Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi inipun sebagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepeneur baju dan sepatu, industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa-jasa iklan, pengarah kindergarten dan sekolah dasar.
Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilangkan.
Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas.
Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuah generasi baru akan meninggalkan tradisi — sisa simptom masyarakat petani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika perubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa bertahan dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepada yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang baru.
Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan, dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua dengan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka untuk masuk ke dunia yang baru – tapi yang sebenarnya bukan dunia anak-anak.
Di tengah kecemasan itu, anak hanya diberi, tapi dengan sikap mendua. Sang pemberi, si orang tua, merasa diri berkorban, dan dengan pengrobanan itu memposisikan diri lebih mulia.. Saya kira ambivalensi itulah yang tercermin dalam satu sajak Amir Hamzah yang ditulis di tahun 1930-an:
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah dinilai lasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas melayani. Tapi tak ada peluang si anak untuk menampilkan sudut pandangnya. Amir Hamzah, seperti banyak sastrawan Indonesia lain, tak menghadirkan karya dengan perspektif anak-anak yang menggugat kearifan orang dewasa – satu hal yang kita temukan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupèry.
Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disisihkan tiap hari.
Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ketersisihan itu. Di awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri makin kukuh, Eropa merasakan hilangnya saat-saat anak –hilangnya suasana ketika kita bisa, (dalam kata-kata Tagore), ”duduk di atas debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.
Kian lama kehidupan kian ditentukan oleh “hasil”, “guna”, “perhitungan”, “efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang ingin terus menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang semula hidup dibuat beku. Cara pun jadi formua, alam jadi proyek, ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise, dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Mungkin inilah yang disebut Hegel sebagai “kehidupan yang bergerak sendiri tapi sebenarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati,” ein sich in sich selbst bewegende Leben des Todes.
Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. “Orang dewasa,” kata sang Pangeran Kecil dalam karya de Saint-Exupéry itu, “menyukai angka-angka”. Orang dewasa (sebuah kiasan untuk “orang modern” atau lebih tepat “borjuis”) hanya mampu melihat setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. Dengan kata lain, “mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan kehadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya sebuah penyesalan. De Saint-Exupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas jadi paradigma.
Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, ditauldankan oleh keasyikan anak-anak. Sebelum Tagore dan de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan “dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan benda-benda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya “berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri dengan segala detail.”
Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak berubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan pandang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional. Mereka kita dorong memandang bunga, batu, daun sebagai benda mati yang bisa dimanfaatkan. Maka hadirlah kebekuan. Rilke mengungkapkannya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang terkenal itu:
… sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang
Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan
Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi
Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian.
Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Juli 2010~

DAGING


Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan hanya menerima yang ”rohani”. Sejak pukul 4 dini hari, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat…. Kita dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak gado-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru pada bulan Ramadan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistansi.
Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima. Kita akan melihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreativitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60 persen. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa harus menanggungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan.
Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si korban yang dendam: mereka minta diperlakukan dengan kelas tersendiri. ”Hormatilah orang yang berpuasa!” seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: ”jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal”.
Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Pada bulan ini orang-orang yang mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikhlas) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi dari kekuatan di luar diri mereka: Negara.
Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang pada hari Lebaran.
Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.
Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas menghadapi dunia—agresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.
Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang.
Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.
Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.
Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai bentuk alienasi), wujud manusia hilang: ”semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan bagi dirinya sendiri….”. Tapi di situ Marx salah. Pada abad ini yang kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek yang penuh dan perkasa. Dan agresif.
Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sadar bahwa kita tak pernah bisa tegak utuh sendiri. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia—meskipun kesatuan antara roh dan daging itu menyebabkan manusia tak seluruhnya bisa dirumuskan. Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan—sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa merasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dalam posisi itu, aku bisa menghilangkan ketamakan dan agresivitasku.
Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri. Bukan tubuh yang dikurung untuk diwaspadai.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Agustus 2010~


Majenun  


DI sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair. Atau kedua-duanya.
”Kenapa kalian, para penyair, begitu terpesona kepada orang gila?”
”Kami punya banyak kesamaan.”
Dialog ini, dalam film Man from La Mancha, berlangsung dalam sebuah penjara bawah tanah di Spanyol abad ke-17. Si penyair yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de Cervantes. Dalam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote de la Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid panjang yang berkisah tentang seorang majenun. Dalam film ini, diproduksi di tahun 1972, kisah itu diadaptasi dengan pendekatan yang ingin berbicara untuk zaman kita—zaman yang tak mau menerima kegilaan.
Adapun bagian pertama novel ini terbit di tahun 1605 di Madrid. Ia sebuah satire: Don Quixote tampil sebagai tokoh yang ditertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes terasa tumbuh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibaca dengan jilid keduanya yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu dalam kegilaan itu: Alonso Quijana, seorang tua yang terlalu banyak membaca buku tentang ksatria, tiba-tiba meninggalkan rumahnya, berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya seorang caballero. Seakan-akan Spanyol masih di zaman dongeng lama ketika para ksatria bertempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso Quijana menyebut diri ”Don Quixote de la Mancha”.
Film Man from La Mancha merupakan adaptasi musikal atas kisah yang sudah beredar 300 tahun itu. Saya tak pernah menyukai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan skenario Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak terlupakan. Terutama karena Peter O’Toole bermain dengan cemerlang sebagai Cervantes dan sekaligus Don Quixote—dan terutama karena mise-en-scène yang bisa menggabungkan teater gaya Brecht dengan layar putih á la Hollywood.
Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman, menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan.
Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu peti yang dibawanya. Ia siap membela diri di depan mahkamah kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon.
Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang penyair membuka petinya. Ia kenakan kostum dan tata rias, dan muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi berat dan membayangkan diri sebagai Don Quixote.
Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner itu, dengan diiringi pelayannya, kini disebut Sancho Panza, naik kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera memindahkan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh plateau sunyi La Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di punggung Rocinante.
Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan novel. Teks Wasserman (penulis lakon yang juga membuat adaptasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan beberapa bab yang penting dari narasi Cervantes.
Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan pelacur Aldonza, di sebuah losmen. Kita ingat sang majenun membayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur sebagai Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mempersembahkan hidup dan cintanya.
Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi sebuah alegori. Kita menyaksikan wajah kegilaan yang luhur dan sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang dari La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan sinisme. ”I hope to add some measure of grace to the world,” katanya agak malu-malu, sambil memandang Aldonza dengan lembut, mesra, tapi dengan sinar mata seorang gila.
Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu. Ia selama itu jadi obyek nafsu lelaki. Ia merasa nista dan tak pernah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa tumbuh dari hidup. ”Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus dan pahit, ”dan kita belatung yang merayap di atasnya.”
Don Quixote dengan halus membantah. ”Dalam hati, tuan putri tahu bahwa tak begitu sebenarnya.”
Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia yang akan dihajar nasib. Tapi laki-laki tua yang kurus dan linglung itu menjawab: ”Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak penting.”
Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang ksatria, itu sebuah privilese.
To dream the impossible dream,
To fight the unbeatable foe,
To bear with unbearable sorrow
To run where the brave dare not go
To right the unrightable wrong
Dengan itu, berbeda dari novel Cervantes, Man from La Mancha menampilkan Don Quixote sebagai seorang yang tulus dan militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seperti halnya seorang penyair yang masuk menemui malam entah untuk apa.
Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, ”barangkali yang terlalu praktis, itulah kegilaan”. Barangkali terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itulah kegilaan.
Berjuang dengan setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun mustahil, adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia. Aldonza akan bisa menemukan yang luhur dalam hidup. Ia bisa terbebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau menghitung laba-rugi. Ia bisa tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi.
Majalah Tempo Edisi Senin, 23 Agustus 2010~
One blogger likes this post

Monday, September 13, 2010

SEPARUH HIDUPKU YANG HILANG
Oleh: Vedizha Efrilia
Kelas: XII IPS 3, SMA Tarsisius Vireta-Tangerang

Seperti dalam bacaan Lukas 15:11-32 yang mengisahkan tentang perumpamaan anak yang hilang, begitulah sendi-sendi kehidupan terbentuk tanpa bisa kita sadari sepenuhnya dari seluruh kejadian yang telah kita alami sendiri. Banyak hal yang begitu nyata yang terjadi pada kehidupan kita sendiri tapi tak seluruhnya dapat kita pahami. Terkadang sendi-sendi kehidupan itu pun tak dapat kita terima dengan alasan keadilan. Tetapi semua itu merupakan jalan Tuhan yang terbaik dan yang telah dipilihkan untuk setiap umat-Nya. Sekalipun kejadian itu buruk atau terburuk yang pernah kita alami, tetapi kita tidak dapat memungkirinya.
Membaca perumpamaan tentang anak yang hilang yang menggambarkan satu keadaan nyata tentang ayah dan dua anaknya di mana sang ayah memperlakukan kedua anaknya secara berbeda sesuai dengan takaran keadilan sang ayah tentunya. Dari situ sang anak sulung yang merasa telah kurang diperhitungkan oleh ayahnya merasa geram dan hanyut dalam pikiran negatifnya. Sesungguhnya setiap orang mempunyai takaran keadilan yang berbeda-beda seperti yang terlihat pada cerita tersebut. Apa yang menurut orang tua adil, belum tentu adil juga menurut sang ayah dan begitu pula sebaliknya. Takaran keadilan itu tidak melihat ke dalam rasa, tidak memperhitungkan perasaan sebenarnya, juga tidak memperhitungkan seberapa penting atau seberapa berharganya orang tersebut untuk kita. Keadilan itu hanya memperhitungkan dari dalam diri orang-orang yang sedang kita perhitungkan, bukan melihat dari luar (fisik) orang tersebut.
Keadilan itu memang sering dipertanyakan di dalam keseharian kita. Apakah yang kita dapatkan itu adil atau tidak? Jarang sekali orang bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang saya berikan kepada orang lain itu adil atau tidak? Dari situ kita dapat melihat bahwa sebenarnya lebih banyak kadar keegoisan dalam diri manusia daripada kadar keadilan. Begitu pula dengan diri saya yang lebih banyak mempertanyakan keadilan itu sendiri , apakah yang saya lakukan atau yang saya berikan kepada orang lain itu sudah adil. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya seputar keadilan. Kejadian-kejadian masa kecil hingga saya berumur 17 tahun, belum saya temukan letak keadilannya. Bukan berarti saya tak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada saya. Bukan berarti saya melupakan sisi-sisi positif yang terdapat dalam kejadian-kejadian yang pernah saya alami. Dan bukan berarti saya selalu menyalahkan orang-orang yang terlibat jauh dalam kejadian-kejadian itu.
Keadilan itu memang tak sepenuhnya dapat manusia rasakan dan tak sepenuhnya pula dapat kita berikan kepada orang lain. Karena menurut saya, kadar keadilan tiap-tiap orang itu memang berbeda. Seperti pada saat saya mengalami satu rasa yang benar-benar sangat mengguncang kehidupan saya, rasa kehilangan yang begitu besar pada bagian hidup saya. Hanya segores tinta yang memberi arti lain dalam sendi-sendi kehidupan saya. Saya kehilangan sosok ayah yang begitu besar artinya dalam hidup saya. Ia menutup mata untuk menuju peristirahatan terakhirnya pada saat saya tidak berada di sisinya. Saya sedang berada di sekolah pada waktu ia berusaha melewati masa-masa kritisnya. Bahkan pada saat ia dipulangkan dari rumah sakit ke kediamannya pun, saya belum melihat dan menyentuhnya. Saya baru bisa melihatnya pada malam hari. Dan hari itu adalah hari yang tak pernah terlupakan bagi saya. Awan gelap itu menyambut kesedihan dan tangisan yang tertumpah begitu saja setelah saya melihat sosok laki-laki paruh baya yang sangat saya cintai sudah terbujur kaku, tak dapat lagi memanjakan saya seperti yang biasa dia lakukan. Satu tahun lebih ia meninggalkan saya untuk selamanya. Dari situ saya benar-benar mempertanyakan keadilan Tuhan untuk kehidupan saya. Apakah itu adil bagi saya? Tuhan mengambilnya saat saya tidak ada di sisinya. Dan sampai sekarang, pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Saya sangat merindukannya, merindukan senyumannya, kelembutannya, belaian kasih sayangnya, juga suaranya. Seperti pada perumpamaan tentang anak yang hilang yang memikirkan ayahnya dan menyesali perbuatannya ketika berada jauh dari ayahnya dan berkaca pada kehidupan orang lain.***
BERBUAT BAIK
Oleh: Desy Yolanda
Kelas: XII IPS2, SMA Tarsisius Vireta

Berbuat sesuatu tanpa mengharapkan balasan bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan tetapi juga tidak mudah tentunya. Mencari orang yang tulus hatinya di zaman ini memang sulit. Berbuat tulus sekali hingga tidak mengharapkan balasan, merupakan hal yang langka. Itu sama seperti bekerja tanpa gaji atau berbuat sesuatu tanpa tujuan. Ya, pikiran manusia memang duniawi sekali. Hal ini bukan tuntutan atau paksaan namun sebaiknya manusia melakukannya karena manusia tidak hidup sendirian di dunia ini. Ketulusan hati adalah hal yang berharga.
Kitab suci mengajarkan untuk mengasihi musuh, dan tidak berharap pemberian dari orang lain dan tidak mengharapkan pembalasan atas apa yang dilakukan untuk orang lain. Sebab balasan itu datangnya dari Tuhan. Apa yang dilakukan, akan dituai di kemudian hari. Andai saja manusia bisa seperti lilin. Ia memberikan penerangan tanpa mengharapkan pembalasan bahkan melelehkan dirinya demi member i cahaya untuk orang-orang sekitarnya. Hidup memang tidak mudah dan lilin tidak sama dengan manusia. Banyak aspek yang dipertimbangkan orang dalam melakukan sesuatu. Uang, harga diri, waktu, kesempatan dan lainnya.
Sulit bagi orang yang serba berkekurangan untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan pamrih. “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apalah jasamu?” (Lukas 6:32). Jadilah orang mulai mengasihi orang lain terlebih dahulu. Hal itu tidak ada ruginya bukan? Hidup akan lebih menyenangkan jika kita bisa melayani orang lain. Memang lebih merepotkan, namun lebih berarti dan berharga. Yesus pun mengajarkan demikian, padahal Dia adalah seorang Mesias, tapi dia bersedia melayani murid-murid-Nya. Kita manusia tidak lebih tinggi daripada-Nya, mengapa kita harus gengsi dan malu untuk melayani orang lain?
Hidup di dunia ini fana. Hidup yang sesungguhnya adalah di akhirat sana. Manusia hidup di dunia merupakan kesempatan berharga yang diberikan oleh Tuhan. Hidup manusia itu dinilai. Perjalanan hidup manusia seperti tulisan di atas kertas. Apa yang dilakukan manusia akan dikoreksi oleh Tuhan pada waktunya nanti. Pengampunan itu ada seiring dengan adanya pertobatan. Maka hendaknya hidup harus diperbaiki. Berbuat tulus dalam melayani adalah salah satu contoh cara hidup yang diterima oleh Tuhan. Manusia memang tidak sempurna, namun manusia mempunyai akal untuk memperbaiki yang tidak sempurna.***

Tuesday, June 29, 2010

DI TANGKAI LANGIT
(Sebuah elegi sang perantau)
Siapa yang tahu persis, kapan kematian itu menjemput seseorang? Di sore yang sedikit mendung dengan awan sisa menggelantung di tangkai langit, seolah menerima keramahan dan senyuman terakhir bagi mereka yang melewati pos satpam Vireta. Ia pamit pulang karena jam kerjanya sudah selesai. Makan sore pun mulai. Piring yang ada di tangan menjadi saksi bisu kepergian Frans De’ona, lelaki dari pulau lomblen yang telah lama merantau.
Semua pada panik karena kondisinya kejang. Ia dilarikan ke Rumah Sakit tapi dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Kami yang menunggu dengan jantung setengah berdenyut, tiba-tiba hanyut dan larut dalam kemelut dingin. Ia mati sebagai seorang security. Ketika bertugas berjaga, mata-mata para satpam belalak liar mengintai pencuri atau musuh yang datang tapi kali ini ia tak sanggup lagi mengintai kedatangan maut. Ia hanyat terbawa dalam arus sakratul maut. Ia mati selamanya.Dan tentang kematian, seorang sahabat saya yang meninggal setelah menulis puisi ini, menuangkan nilai-nilai puitis bernada demikian:
Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samudra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…
Puisi yang bernilai eskatologis ini ditulis oleh teman kelas saya waktu ia masih hidup dan bergelut dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam tetapi gagal di persimpangan kebingunan. Kematian menjadi sebuah pilihan yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Apa gunanya berbicara tentang hidup kalau kita takut berbicara tentang kematian? Kematian itu pasti, ia (kematian) lebih pasti daripada ilmu pasti. Seperti dalam urat nadi puisi di atas yang menggambarkan secara implisit tentang heroisme seorang seniman yang tidak takut akan kematian yang digambarkan pada kalimat “kuusung jenasahku sendiri.” Ini menunjukkan bahwa ia sedang mempersiapkan diri menuju hidup yang lain. Ia berpihak pada kehendak-Nya dan mengusung kesadaran untuk pada akhirnya menerima kematian yang waktu itu terjadi secara tragis sebagai sesuatu yang terberi. Kekuatan bagi seorang seniman mengandalkan puisi sebagai benteng harapan dan meneguhkan imannya sendiri. Puisi itu lahir dari kesadaran dan karenanya kekuatan puisi itu dapat menembus ruang-ruang sunyi, seperti sinyal yang menembus ke segala arah.
“Hidup mengarah pada kematian” (Zein Zum Tode), demikian Martin Heidegger memproklamirkan tentang jejak terakhir dari hidup ini. Kematian bagi om Frans hanyalah sebuah langkah awal untuk memulai hidup baru. Semasa hidupnya, ia selalu menyempatkan diri untuk berdoa malaikat Tuhan (Angelus) walau ia hanya mengikutinya dibalik jendela bersama anak-anak SD Vireta. Ia yakin bahwa kekuatan doa sanggup memulihkan hidupnya dan pada akhirnya ia diterima dalam pangkuan-Nya. Allah tentu tidak bertanya, berapa kali Anda berdoa tetapi Ia bertanya berapa kali Anda berbuat baik dengan orang selama hidup.
Dewa, anak semata wayang yang barusan duduk dibangku kelas III SD, kelihatan tegar bahkan sekali-kali menghibur ibunya yang meluruhkan air matanya.“ Bu, relakan bapak pergi, “ demikian ucapan yang keluar dari mulut seorang Dewa. Dia seolah tegar tetapi semestinya ia belum paham arti kepergian dalam konteks kematian. Ia baru sadar dan menangis ketika peti jenazah yang terbaring di pekuburan sela pajang ditutupi tanah. Ia menangis bersama ibunya sambil memegang salib yang belum kuat berdiri di timbunan tanah yang lembab. Apa yang kita kenang pada sosok seorang Frans? Ia bukan seorang penyair seperti Gorki, Tolstoi atau Destoyevski yang walaupun sudah meninggal tetapi masih dikenang denyut nadi mereka pada karya-karya sastera bahkan orang-orang yang mengaguminya membuat patung untuk mengabadikan sosok orang yang pernah hidup dan berkarya. Ia (om Frans) hanyalah seorang perantau dari tepian kampung dan bekerja sebagai satpam. Yang dikenang adalah keramahan terakhir dan senyumnya yang begitu memukai beberapa orang di saat-saat menjelang kepergian terakhir.
Tak ada karya sastera yang terbaca dan tak ada catatan perjalanan yang ternoktah pada selembar kertas, yang mengisahkan liku-liku hidup sebagai perantau. Tapi amat menyedihkan ketika sidang perkabungan datang melayat, menatap dengan sedih jazatnya terbaring pada kontrakan yang begitu sempit. Tapi dalam kesederhanaan itu membahasakan sebuah filosofi hidup yang mendalam bahwa ia dan keluarganya hidup apa adanya. Kesederhanaan menjadi puncak pertarungan hidup dan mungkin ia mengalami “kekayaan baru” di tanah seberang. Di liang lahat dengan kembang melati yang harum menyengat, seakan membuka diri menerima anggota komunitas baru. Kami semua khusyuk dalam doa runduk pasrah. “Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan…” Hampir seminggu ia meninggal, tak ada tanda-tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan kematian itu menjemput? Hanya hamburan semerbak bunga mewangi yang paham tentang kematian sebagai titik akhir di dunia ini. (Valery Kopong)***
Rumah
DI ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, sebuah dusun di Flores Barat mencoba mengingat.
Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembali rumah adat mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri, setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan tiang utama, setelah sawah ladang tak cukup bisa membuat surplus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun; mereka membentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan desa didefinisikan oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya sebuah gudang berisikan hal-hal yang aus.
Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai nama yang dicoba disimpan dalam ingatan dan dilambangkan oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua lain di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”, di mana (jika saya tafsirkan pengertian Bachelard ini) orang bisa merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan tiap saat bumi menjangkau yang kosmis.
Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak lagi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas. Yang vertikal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift. Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki.
Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak berteman dengan ruang. Penghuni Wae Rebo yang hidup di antara gunung itu menyadari mereka bagian dari tamasya yang lebih luas ketimbang dusun. Sementara itu, di Jakarta, para pembangun rumah susun memaksa ruang atau dipaksa ruang; konstruksi mereka lahir dari impuls geometris.
Impuls ini—”geometrisme”, kata Bachelard—menggariskan batas yang lurus-kaku, dan dengan itu memisahkan apa yang di luar dan di dalam. Di hampir semua segi kehidupan, ruang terbuka dianggap serasa ancaman, karena akan datang yang ajaib dan tak dapat dikalkulasi. Manusia tak takut klaustrofobia; mereka menanggungkan agorafobia.
Tapi barangkali akan berlebihan bila kita terus-menerus mengeluhkan kota-kota zaman ini dan menyesali modernitas. Modernitas, yang memacu dan dipacu waktu, mendorong X, Y, Z ke masa lalu, dan kemudian mengubah semua itu jadi nostalgia. Namun nostalgia justru menunjukkan bahwa kita terpaut pada masa kini: kita memandang X, Y, Z dari posisi manusia masa sekarang yang sedang takut kepada lupa.
Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari masa silam yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.
Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu hari di tahun 2009 berjalan berjam-jam mendaki ke Dusun Wae Rebo, dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika mereka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan lagi kepiawaian arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika kemudian ada dermawan yang membiayai usaha untuk mensyukuri tanah air dengan cara yang kreatif itu—itu semua menunjukkan bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang baru dan berbeda. Buku yang kemudian mereka terbitkan, Pesan dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010) adalah rekaman semua itu.
Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia sebenarnya bagian dari modernitas, yang tak mau hanya menerima apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena kritik itu juga tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri.
Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketakmampuan kita untuk merasakan tempat kita tinggal sebagai bagian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita kehilangan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fajar, telah jadi ”pengetahuan”. Rumah telah jadi kamar persegi panjang.
Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik kepada abad ke-20, mengingatkan kita akan makna kata bauen. Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada ”membangun”, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh—baik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.
Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu?
Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak lagi, untuk menggunakan kalimat penyair Hölderlin di Jerman abad ke-18, ”berdiam secara puitis” (dichterisch wohnet der Mensch). Di kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubungan dengan ruang hidupnya sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah.
Tapi tak hanya itu. ”Berdiam secara puitis” agaknya hanya bisa diutarakan oleh mereka yang punya rumah yang sejuk dan tenang, mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya. Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang menginap dari tempat ke tempat, para pemulung yang membuat kereta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di mana saja, punya pengertian lain tentang ”rumah”.
Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tubuh, yang berkembang jadi rencana dan imajinasi. Ingatan tentang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temunya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan menemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di sebuah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.
Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa Wae Rebo kita temukan sesuatu yang baru di dalam bentuk fisik yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi. Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui kreasi.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 28 Juni 2010 (Catatan Pinggir Gunawan Mohammad)
Z A K H E U S

Oleh: Valery Kopong*

KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya. Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus) karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.
Rumah Zakheus adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya. Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.
Kerinduan terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada “mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram, menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias. Zakheus tentu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini, kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding, siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan “Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan “ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa saja yang membuka diri pada keselamatan.
Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum. Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih korupsi, apa kata dunia?” ***

Monday, June 28, 2010

“AIR SUSU IBU MENGERING”
Oleh: Valery Kopong*

Melihat cuplikan film “Tanah Air Beta” garapan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen mengisahkan tentang detik-detik terakhir ketika Timor-Timur (Timor Leste) yang menyatakan diri merdeka dan lepas-pisah dengan NKRI, ada rasa yang memiris kemanusiaan. Opsi yang digulirkan pemerintahan Habibie waktu itu membuka peluang besar bagi orang-orang Timor Lorosae (Timor matahari terbit) untuk menghirup nafas kebebasan. Tetapi apakah penentuan diri untuk merdeka menjadikan orang-orang yang pro kemerdekaan dan pro integrasi sama-sama merasakan kebahagiaan? Dua kelompok ini sama-sama merasakan penderitaan. Yang pro kemerdekaan juga masih mengalami derita dalam mempertahankan hidup. Sedangkan mereka yang pro integrasi, juga sampai sekarang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Film “Tanah Air Beta” menjadi menarik dan memiliki nilai sejarah yang mendalam karena dengan film ini sanggup menggugah kesadaran masyarakat umum, baik pemerintah daerah maupun Gereja untuk dapat memperhatikan kehidupan mereka ke depan.
Menurut catatan sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Yanuarius Koli Bau, bahwa kehidupan para pengungsi eks Timor-Timur saat ini lebih memprihatinkan dari pelbagai sisi kehidupan. Banyak tindakan kriminal dan asusila mulai terkuak ke permukaan hidup karena didorong oleh kehidupan yang serba tak menentu. Kehidupan saat ini saja tidak menentu, apa yang dapat diharapkan untuk waktu yang akan datang? Banyak anak yang terjerumus dalam aksi premanisme dan cara ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri dari tuntutan ekonomi. Ada perempuan yang berani melacurkan diri dan hal ini juga dilakukan demi menyambung hidup.
Apa yang disoroti oleh seorang sosiolog ini bukanlah sebuah rekayasa tetapi merupakan sebuah fakta yang sedang berpihak pada penderitaan rakyat miskin. Kemiskinan yang sedang dialami oleh para pengungsi eks Timor-Timur merupakan kemiskinan yang terstruktur dan korban dari sebuah guliran opsi yang tidak mempertimbangkan aspek humanitas. Apa yang harus dilakukan agar kehidupan mereka sekarang dan pada masa yang akan datang dapat terus berlanjut? Pertama, pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur perlu memperhatikan secara serius kehidupan yang tengah mereka jalani. Perhatian pertama ini ditujukan untuk pemulihan kehidupan ekonomi dan penataan perumahan yang layak pakai. Barangkali pemerintah menggalang dana dari para donatur dan disalurkan pada mereka sebagai modal awal untuk mengembangkan usaha-usaha kecil. Apabila pemerintah membuka dompet kemanusiaan untuk mereka, pasti banyak orang yang membantu, asalkan bantuan yang diberikan tepat pada sasaran.
Kedua, pihak Gereja katolik juga turut membantu kehidupan mereka. Keterlibatan Gereja dalam persoalan kemanusiaan merupakan suatu panggilan. Konsili Vatikan II menegaskan ciri pelayanan klerus sebagai orang-orang terpanggil demi pelayaan (Lumen Gentium 28, Prebyterorum Ordinis,2). Imam Katolik, dalam persatuan dengan uskup, dipanggil untuk meneruskan karya pelayanan Kristus kepada umat demi pertumbuhan roh dan perwujudan keadilan (LG, 21). Imam sebagai rekan kerja Uskup memperjuangkan keadilan karena tugas ini tidak terpisahkan dari karya penginjilan. Iustitia in Mundo, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan “Bertindak atas nama keadilan dan partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu dimensi pokok untuk mewartakan Injil atau dengan kata lain, dimensi yang pokok tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan yang menekan.”
Memang, keterlibatan Gereja terutama para imam, suster dan awam yang tergabung dalam TRUK-F waktu itu, begitu banyak menyelamatkan para pengungsi yang terbengkelai hidupnya. Tetapi apakah aksi penyelamatan korban merupakan akhir dari pelayanan? Aksi-aksi pelayanan nyata kelihatan kendor saat ini dan dengan penayangan film “Tanah Air Beta” di pentas nasional turut menggugah kembali kesadaran baik pemerintah daerah NTT dan Gereja Regio Nusra untuk berpacu dalam menyelamatkan generasi bangsa yang sedang mengalami pergulatan yang tidak mengenal titik batas penyelesaikan.
Karya pastoral saat ini yang paling mendesak adalah bagaimana menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan juga adalah umat Allah. Apa yang dilakukan oleh Gereja merupakan panggilan profetis sebagai bagian integral warga negara Indonesia. Bahwa demi “Merah-Putih,” para pengungsi eks Timor-Timur tetap bertahan walau dalam kondisi yang lapar. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat Allah (baca: rakyat) harus juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para gembala (bdk. Gaudium et Spes artikel No. 1). Pemerintah dan Gereja mestinya sepakat dalam mengurus warga eks Timor-Timur yang sedang menunggu uluran tangan. Kedua lembaga terhormat ini jangan berhenti melepaskan tanggung jawab di “persimpangan hidup” mereka. Mereka butuh bantuan, baik moril maupun materiil. Tanpa uluran kemanusiaan dari mereka yang peduli maka hidup yang tengah dijalani “mungkin” bertahan untuk satu generasi ini. Dalam catatan keprihatinan Yanuarius Koli Bau, ia mengisahkan bahwa seorang bayi meninggal di tengah pelukan ibunya. Bayi itu tak berdaya dan ingin meminum air susu ibu, ternyata air susu ibu kehabisan karena ibunya sudah dua minggu tidak makan dan minum. Ia akhirnya meninggal ketika mulutnya sedang menyundut puting susu ibunya yang telah kering. “Gereja mesti solider dan peka dengan masalah kemanusiaan yang terus diderita umat sederhana jika gereja tidak ingin kehilangan jati diri sebagaimana yang dicita-citakan Yesus saat mendirikannya.” ***