Monday, June 28, 2010

“AIR SUSU IBU MENGERING”
Oleh: Valery Kopong*

Melihat cuplikan film “Tanah Air Beta” garapan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen mengisahkan tentang detik-detik terakhir ketika Timor-Timur (Timor Leste) yang menyatakan diri merdeka dan lepas-pisah dengan NKRI, ada rasa yang memiris kemanusiaan. Opsi yang digulirkan pemerintahan Habibie waktu itu membuka peluang besar bagi orang-orang Timor Lorosae (Timor matahari terbit) untuk menghirup nafas kebebasan. Tetapi apakah penentuan diri untuk merdeka menjadikan orang-orang yang pro kemerdekaan dan pro integrasi sama-sama merasakan kebahagiaan? Dua kelompok ini sama-sama merasakan penderitaan. Yang pro kemerdekaan juga masih mengalami derita dalam mempertahankan hidup. Sedangkan mereka yang pro integrasi, juga sampai sekarang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Film “Tanah Air Beta” menjadi menarik dan memiliki nilai sejarah yang mendalam karena dengan film ini sanggup menggugah kesadaran masyarakat umum, baik pemerintah daerah maupun Gereja untuk dapat memperhatikan kehidupan mereka ke depan.
Menurut catatan sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Yanuarius Koli Bau, bahwa kehidupan para pengungsi eks Timor-Timur saat ini lebih memprihatinkan dari pelbagai sisi kehidupan. Banyak tindakan kriminal dan asusila mulai terkuak ke permukaan hidup karena didorong oleh kehidupan yang serba tak menentu. Kehidupan saat ini saja tidak menentu, apa yang dapat diharapkan untuk waktu yang akan datang? Banyak anak yang terjerumus dalam aksi premanisme dan cara ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri dari tuntutan ekonomi. Ada perempuan yang berani melacurkan diri dan hal ini juga dilakukan demi menyambung hidup.
Apa yang disoroti oleh seorang sosiolog ini bukanlah sebuah rekayasa tetapi merupakan sebuah fakta yang sedang berpihak pada penderitaan rakyat miskin. Kemiskinan yang sedang dialami oleh para pengungsi eks Timor-Timur merupakan kemiskinan yang terstruktur dan korban dari sebuah guliran opsi yang tidak mempertimbangkan aspek humanitas. Apa yang harus dilakukan agar kehidupan mereka sekarang dan pada masa yang akan datang dapat terus berlanjut? Pertama, pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur perlu memperhatikan secara serius kehidupan yang tengah mereka jalani. Perhatian pertama ini ditujukan untuk pemulihan kehidupan ekonomi dan penataan perumahan yang layak pakai. Barangkali pemerintah menggalang dana dari para donatur dan disalurkan pada mereka sebagai modal awal untuk mengembangkan usaha-usaha kecil. Apabila pemerintah membuka dompet kemanusiaan untuk mereka, pasti banyak orang yang membantu, asalkan bantuan yang diberikan tepat pada sasaran.
Kedua, pihak Gereja katolik juga turut membantu kehidupan mereka. Keterlibatan Gereja dalam persoalan kemanusiaan merupakan suatu panggilan. Konsili Vatikan II menegaskan ciri pelayanan klerus sebagai orang-orang terpanggil demi pelayaan (Lumen Gentium 28, Prebyterorum Ordinis,2). Imam Katolik, dalam persatuan dengan uskup, dipanggil untuk meneruskan karya pelayanan Kristus kepada umat demi pertumbuhan roh dan perwujudan keadilan (LG, 21). Imam sebagai rekan kerja Uskup memperjuangkan keadilan karena tugas ini tidak terpisahkan dari karya penginjilan. Iustitia in Mundo, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan “Bertindak atas nama keadilan dan partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu dimensi pokok untuk mewartakan Injil atau dengan kata lain, dimensi yang pokok tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan yang menekan.”
Memang, keterlibatan Gereja terutama para imam, suster dan awam yang tergabung dalam TRUK-F waktu itu, begitu banyak menyelamatkan para pengungsi yang terbengkelai hidupnya. Tetapi apakah aksi penyelamatan korban merupakan akhir dari pelayanan? Aksi-aksi pelayanan nyata kelihatan kendor saat ini dan dengan penayangan film “Tanah Air Beta” di pentas nasional turut menggugah kembali kesadaran baik pemerintah daerah NTT dan Gereja Regio Nusra untuk berpacu dalam menyelamatkan generasi bangsa yang sedang mengalami pergulatan yang tidak mengenal titik batas penyelesaikan.
Karya pastoral saat ini yang paling mendesak adalah bagaimana menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan juga adalah umat Allah. Apa yang dilakukan oleh Gereja merupakan panggilan profetis sebagai bagian integral warga negara Indonesia. Bahwa demi “Merah-Putih,” para pengungsi eks Timor-Timur tetap bertahan walau dalam kondisi yang lapar. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat Allah (baca: rakyat) harus juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para gembala (bdk. Gaudium et Spes artikel No. 1). Pemerintah dan Gereja mestinya sepakat dalam mengurus warga eks Timor-Timur yang sedang menunggu uluran tangan. Kedua lembaga terhormat ini jangan berhenti melepaskan tanggung jawab di “persimpangan hidup” mereka. Mereka butuh bantuan, baik moril maupun materiil. Tanpa uluran kemanusiaan dari mereka yang peduli maka hidup yang tengah dijalani “mungkin” bertahan untuk satu generasi ini. Dalam catatan keprihatinan Yanuarius Koli Bau, ia mengisahkan bahwa seorang bayi meninggal di tengah pelukan ibunya. Bayi itu tak berdaya dan ingin meminum air susu ibu, ternyata air susu ibu kehabisan karena ibunya sudah dua minggu tidak makan dan minum. Ia akhirnya meninggal ketika mulutnya sedang menyundut puting susu ibunya yang telah kering. “Gereja mesti solider dan peka dengan masalah kemanusiaan yang terus diderita umat sederhana jika gereja tidak ingin kehilangan jati diri sebagaimana yang dicita-citakan Yesus saat mendirikannya.” ***

0 komentar: