Tuesday, June 29, 2010

DI TANGKAI LANGIT
(Sebuah elegi sang perantau)
Siapa yang tahu persis, kapan kematian itu menjemput seseorang? Di sore yang sedikit mendung dengan awan sisa menggelantung di tangkai langit, seolah menerima keramahan dan senyuman terakhir bagi mereka yang melewati pos satpam Vireta. Ia pamit pulang karena jam kerjanya sudah selesai. Makan sore pun mulai. Piring yang ada di tangan menjadi saksi bisu kepergian Frans De’ona, lelaki dari pulau lomblen yang telah lama merantau.
Semua pada panik karena kondisinya kejang. Ia dilarikan ke Rumah Sakit tapi dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Kami yang menunggu dengan jantung setengah berdenyut, tiba-tiba hanyut dan larut dalam kemelut dingin. Ia mati sebagai seorang security. Ketika bertugas berjaga, mata-mata para satpam belalak liar mengintai pencuri atau musuh yang datang tapi kali ini ia tak sanggup lagi mengintai kedatangan maut. Ia hanyat terbawa dalam arus sakratul maut. Ia mati selamanya.Dan tentang kematian, seorang sahabat saya yang meninggal setelah menulis puisi ini, menuangkan nilai-nilai puitis bernada demikian:
Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samudra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…
Puisi yang bernilai eskatologis ini ditulis oleh teman kelas saya waktu ia masih hidup dan bergelut dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam tetapi gagal di persimpangan kebingunan. Kematian menjadi sebuah pilihan yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Apa gunanya berbicara tentang hidup kalau kita takut berbicara tentang kematian? Kematian itu pasti, ia (kematian) lebih pasti daripada ilmu pasti. Seperti dalam urat nadi puisi di atas yang menggambarkan secara implisit tentang heroisme seorang seniman yang tidak takut akan kematian yang digambarkan pada kalimat “kuusung jenasahku sendiri.” Ini menunjukkan bahwa ia sedang mempersiapkan diri menuju hidup yang lain. Ia berpihak pada kehendak-Nya dan mengusung kesadaran untuk pada akhirnya menerima kematian yang waktu itu terjadi secara tragis sebagai sesuatu yang terberi. Kekuatan bagi seorang seniman mengandalkan puisi sebagai benteng harapan dan meneguhkan imannya sendiri. Puisi itu lahir dari kesadaran dan karenanya kekuatan puisi itu dapat menembus ruang-ruang sunyi, seperti sinyal yang menembus ke segala arah.
“Hidup mengarah pada kematian” (Zein Zum Tode), demikian Martin Heidegger memproklamirkan tentang jejak terakhir dari hidup ini. Kematian bagi om Frans hanyalah sebuah langkah awal untuk memulai hidup baru. Semasa hidupnya, ia selalu menyempatkan diri untuk berdoa malaikat Tuhan (Angelus) walau ia hanya mengikutinya dibalik jendela bersama anak-anak SD Vireta. Ia yakin bahwa kekuatan doa sanggup memulihkan hidupnya dan pada akhirnya ia diterima dalam pangkuan-Nya. Allah tentu tidak bertanya, berapa kali Anda berdoa tetapi Ia bertanya berapa kali Anda berbuat baik dengan orang selama hidup.
Dewa, anak semata wayang yang barusan duduk dibangku kelas III SD, kelihatan tegar bahkan sekali-kali menghibur ibunya yang meluruhkan air matanya.“ Bu, relakan bapak pergi, “ demikian ucapan yang keluar dari mulut seorang Dewa. Dia seolah tegar tetapi semestinya ia belum paham arti kepergian dalam konteks kematian. Ia baru sadar dan menangis ketika peti jenazah yang terbaring di pekuburan sela pajang ditutupi tanah. Ia menangis bersama ibunya sambil memegang salib yang belum kuat berdiri di timbunan tanah yang lembab. Apa yang kita kenang pada sosok seorang Frans? Ia bukan seorang penyair seperti Gorki, Tolstoi atau Destoyevski yang walaupun sudah meninggal tetapi masih dikenang denyut nadi mereka pada karya-karya sastera bahkan orang-orang yang mengaguminya membuat patung untuk mengabadikan sosok orang yang pernah hidup dan berkarya. Ia (om Frans) hanyalah seorang perantau dari tepian kampung dan bekerja sebagai satpam. Yang dikenang adalah keramahan terakhir dan senyumnya yang begitu memukai beberapa orang di saat-saat menjelang kepergian terakhir.
Tak ada karya sastera yang terbaca dan tak ada catatan perjalanan yang ternoktah pada selembar kertas, yang mengisahkan liku-liku hidup sebagai perantau. Tapi amat menyedihkan ketika sidang perkabungan datang melayat, menatap dengan sedih jazatnya terbaring pada kontrakan yang begitu sempit. Tapi dalam kesederhanaan itu membahasakan sebuah filosofi hidup yang mendalam bahwa ia dan keluarganya hidup apa adanya. Kesederhanaan menjadi puncak pertarungan hidup dan mungkin ia mengalami “kekayaan baru” di tanah seberang. Di liang lahat dengan kembang melati yang harum menyengat, seakan membuka diri menerima anggota komunitas baru. Kami semua khusyuk dalam doa runduk pasrah. “Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan…” Hampir seminggu ia meninggal, tak ada tanda-tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan kematian itu menjemput? Hanya hamburan semerbak bunga mewangi yang paham tentang kematian sebagai titik akhir di dunia ini. (Valery Kopong)***

0 komentar: