Thursday, January 31, 2013

PAROKI SANTO AGUSTINUS – KARAWACI


Santo Agustinus adalah nama paroki. Nama pelindung paroki yang berada di kawasan Perumnas Karawaci ini bukanlah sebuah kesengajaan kalau kemudian menempatkan St. Agustinus ini sebagai pelindung Paroki. Meskipun pemakaian nama pelindung ini juga disamakan dengan tanggal peresmian Paroki St. Agustinus pada tanggal 28 Agustus 1988 dan menjadi hari Ulang Tahun Paroki setiap tanggal 28 Agustus tersebut, namun pemilihan Santo Agustinus diharapkan selalu menjadi inspirasi bagi umat, bahwa melalui pertobatannya yang sangat besar, St. Agustinus mampu memberi sumbangan yang bernilai bagi gereja.
            Sebagai kumpulan umat beriman yang berdosa, yang jauh dari kesempurnaan, umat diharapkan mampu menimba pertobatan St. Agustinus dan memulai sikap hidup yang terinspirasikan oleh injil dengan sebuah pertanyaan refleksi, “Injilkah yang menjiwai hidup mereka?” Hal ini juga selalu dan selalu diingatkan kepada umat dalam setiap perayaan Ulang Tahun Paroki, bahwa inti dari penghayatan umat beriman adalah melalui pertobatan. Melalui pertobatan inilah kita telah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menyelami kehendak Tuhan bagi kita. Melalui pertobatan juga sebagai sebuah pembelajaran akan kerendahan hati.

Letak Paroki St. Agustinus Karawaci

Mencapai Paroki St.Agustinus Karawaci Tangerang yang satu kompleks dengan Perhimpunan Sekolah STRADA, tidaklah sulit. Lingkungan perumahan “PERUMNAS” dengan jalan-jalan yang cukup lebar dan dilalui oleh kendaraan umum, membuat Paroki St.Agustinus Karawaci mudah dijangkau baik dengan kendaraan umum maupun pribadi. Rute-rute kendaraan umum (Angkot) di wilayah Kotamadya Tangerang, seperti rute: R 11, R 14, R 17, R 02, R 08 Lippo, mulai dari arah: Cimone, Cikokol, Pasar Kemis, Cikupa, Tangerang Kota, Perumahan Lippo Karawaci melewati dan atau bersinggungan di terminal Cibodas yang dekat dengan keberadaan Paroki St.Agustinus, Jl. Prambanan Raya.
            Keberadaan umat menyebar sampai dengan radius 20 km dari pusat Gereja, dengan wilayah terjauh adalah wilayah Pasar Kemis dan Cikupa Tangerang. Karakteristik umat Paroki St.Agustinus, secara sosial ekonomi lebih pada range social menengah ke bawah, dengan mayoritas umat yang bekerja sebagai karyawan pabrik, pegawai negeri, guru, maupun karyawan lepas lainnya. Secara kultural, umat pada dasarnya merupakan masyarakat urban dengan mayoritas pendatang dari suku Jawa yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik di wilayah Tangerang. Di samping itu juga ada pendatang dari Sumatera Utara, Flores, maupun daerah-daerah lain di Indonesia dan warga keturunan. Umat tersebut tersebar pada perumahan-perumahan: PERUMNAS I, II,III,IV, Perumahan Harapan Kita,  Perumahan Liga Mas Regency, Perumahan Cimone Mas Permai, Perumahan Aster, Perumahan Palem Semi, sebagian perumahan LIPPO Karawaci, Perumahan Taman Cibodas, Perumahan Keroncong Permai, Perumahan Taman Walet sampai dengan perumahan-perumahan kontrakan di sekitar Pasar Kemis, Cikupa. Menurut data statistik, jumlah umat ada 11.000 orang dan jumlah umat ini tersebar di 16 wilayah dan 84 lingkungan.

Sekilas Latar Belakang Paroki St. Agustinus – Karawaci

            Dalam sejarah cikal bakal berdirinya paroki ini, bermula dari umat di lingkungan Emanuel di Perumnas I – Karawaci Tangerang, yang pada tahun 1980, masih tergabung dalam Paroki Santa Maria yang Berhati Tak Bernoda di Jl. Daan Mogot Tangerang. Jarak lingkungan Emanuel dengan pusat paroki cukup jauh dan kendaraan umum masih minim, maka lingkungan ini kemudian dijadikan sebagai stasi dari Paroki Santa Maria- Tangerang. Pada waktu itu misa di lingkungan ini dilakukan hanya sebulan sekali, dengan menggunakan ruang rapat milik kantor pemasaran Perumnas di Jl. Cendrawasih Perumnas I Tangerang.
            Karena umat semakin bertambah banyak, maka dirasakan perlu untuk memiliki tempat yang lebih baik untuk beribadat. Untuk mempermudah pembangunan tempat ibadah yang sederhana maka dibentuk Panitia Pembangunan Gereja (PPG) dengan struktur kepengurusan:

Pelindung :  Romo FX. Tan Soe Ie, SJ (Pastor Kepala Paroki St.Maria)
Penasihat  :  J. Sarimin (Ketua Lingkungan Emanuel saat itu)
Ketua        : D. Sardjono
Sekretaris  :  M. Hutabarat
Bendahara :  R. Slamet Susyanto
      Atas usaha tim PPG tersebut, diperoleh tanah seluas 1000 m2 yang terletak di Jl. Cisabi, dengan Surat Keputusan dari Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang berupa surat ijin lokasi dan penggunaan tanah untuk pembangunan gereja di Kawasan Perum Perumnas Tangerang dengan No: 370/PM.014.6/SIP/II/1981 tertanggal 25 Februari 1981. Dalam proses pendirian gedung tersebut maka diadakan kerja sama dengan perkumpulan STRADA dan dalam pembangunan diikutsertakan seluruh kekuatan umat di lingkungan Emanuel, pada tahun ajaran 1981 / 1982 dapat didirikan gedung serba guna tahap I sebagai tempat ibadah dan sekolah TK.
            Dalam kunjungan kegembalaannya, Bapak Uskup Agung Jakarta ke Paroki Tangerang pada bulan September 1981, beliau juga berkenan hadir di wilayah Emanuel. Beliau sangat terkesan dengan melimpah ruahnya umat yang hadir. Pertemuan diadakan dengan duduk secara lesehan di tikar. Pada kesempatan kunjungan yang pertama ini, beliau menyarankan agar segera mencari tanah yang luasnya memadai, supaya dapat menampung umat dengan segala kegiatannya. Atas saran tersebut Tim PPG mencari tanah yang sesuai. Akhirnya pada tanggal 2 Juni 1982 dapat dibeli tanah melalui Perkumpulan STRADA, sebidang tanah seluas 8.910 m2 yang terletak di Cibodas, Kecamatan Jatiuwung.
            Ternyata perkembangan umat semakin pesat, oleh Perkumpulan STRADA kemudian didirikan Gedung Serbaguna Tahap II, sekaligus sebagai gedung gereja, mengingat fasilitas tanah dan peruntukkannya adalah untuk gereja. Dengan gedung baru ini maka frekuensi misa dapat ditingkatkan menjadi 2 kali dalam satu bulan. Perkembangan pendidikanpun terus melaju pesat. Tahun 1984, Perkumpulan STRADA membeli tanah di Bencongan, tetapi karena lokasinya jauh dari jalan besar, timbul masalah dalam membangunnya. Karenanya dibangun lagi gedung darurat tahap III dengan memanfaatkan jalur hijau halaman sekolah.     
            Pada awal tahun 1985, terbetik berita bahwa tanah-tanah yang dibeli melalui perkumpulan STRADA yang berada di wilayah Emanuel akan terkena Proyek Perumnas II Tangerang. Sebagai gantinya diperoleh tanah yang berlokasi di Jl. Prambanan Perumnas II seluas 9.410 m2 dan sisanya seluas 2.290 m2 terletak di Jl. Danau Tondano. Pada bulan Mei 1988, diperoleh kabar dari keuskupan Agung Jakarta bahwa umat  di wilayah Emanuel dan sekitarnya akan dipisahkan dari Paroki Tangerang, mengingat di wilayah ini sudah ada umat, tanah dan Romo dari Ordo Salib Suci (OSC) yang telah bersedia untuk berkarya di sini.
            Sebagai persiapan pembukaan paroki baru, Keuskupan Agung Jakarta telah mempersiapkan sebuah rumah tipe M 70 di Jl. Prambanan 1 A yang dipergunakan sebagai pastoran sementara, sedangkan 2 rumah tipe M 54 di Jl. Empu Panuluh akan dipergunakan sebagai susteran. Sedangkan untuk ibadatnya sendiri, untuk sementara dibangun menempel dengan gedung darurat milik SD STRADA yang telah dibangun lebih dahulu. Pada tanggal 28 Agustus 1988, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ berkenan meresmikan Paroki St.Agustinus.

Pendirian Paroki St.Agustinus – Karawaci

Pada tanggal 28 Agustus 1988, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ meresmikan berdirinya Paroki Karawaci dengan nama pelindung Paroki St.Agustinus. Diresmikannya paroki ini secara formal tertuang dalam Surat Keputusan Keuskupan Agung Jakarta nomor 1344 / 3.25.4.39/ 88, tanggal 28 Agustus 1988 tentang pendirian Paroki Agustinus / PGDP Paroki St.Agustinus Karawaci, maka tugas tim PPG wilayah Emanuel dianggap selesai. Namun untuk mewujudkan gedung gereja yang sesungguhnya, oleh Dewan Paroki St.Agustinus dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja  (PPG) Paroki St.Agustinus yang diketuai oleh Bapak FA Sri Hartono. Perjuangan PPG memperoleh ijin mendirikan bangunan tidak semulus yang kita harapkan, banyak kendala yang dihadapi. Bahkan sampai sekarang, ijin untuk mendirikan Gereja tersebut juga belum diperoleh, sehingga seiring dengan lajunya perkembangan umat di Paroki St.Agustinus, segera dipersiapkan tempat beribadah yang baru, dalam bentuk gedung serbaguna.
            Seiring dengan pergantian Dewan Paroki yang baru, Romo Christ Tukiyat, OSC, pastor kepala paroki saat itu, pada tanggal 14 Desember 1991 telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Gedung Aula Dewan Paroki, dan telah selesai pengerjaannya 10 bulan kemudian. Pada tanggal 30 Agustus 1992, Aula serbaguna (Gedung Gereja) diresmikan penggunaannya oleh Romo A. Istiarto, OSC sebagai wakil provinsial OSC. Sampai dengan saat ini tugas untuk mewujudkan Ijin Mendirikan Gereja masih belum tercapai, semoga dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, gereja yang telah didambakan umat sejak 1988 (atau hampir 18 tahun lebih) dapat segera terealisir. Kendala utama belum terbitnya ijin mendirikan Gereja adalah karena belum adanya persetujuan dari warga sekitar, meskipun dalam batas tertentu keterlibatan paroki maupun umat katolik di sekitar Gereja telah cukup memberikan perhatian dan kerja sama dengan warga sekitar.   
Namun hal ini menjadi tantangan tersendiri, sehingga kelak hidup berdampingan dengan saling menghormati, saling bekerjasama bisa menjadi landasan di dalam persahabatan yang sejati. Meski dalam artis fisik, Paroki St. Agustinus belum memiliki gedung gereja namun sebagai kumpulan umat beriman, paroki St.Agustinus tetap diharapkan sebagai sumber pegangan iman bagi umat di wilayahnya. Bahkan dari paroki ini juga telah lahir paroki baru dengan stasinya yang sebelumnya menjadi stasi (St. Ascensio – Serpong) Paroki St.Agustinus Karawaci, yaitu: Paroki St. Monica – Bumi Serpong Damai, Stasi St. Helena – Perumahan Lippo Karawaci, serta Stasi St. Odilia – Perumahan Citra Raya.

Gereja Karawaci Sebagai Gereja Pengembangan

            Kalau menilik sejarah cikal bakal Gereja St. Agustinus Karawaci, maka berdirinya Gereja Karawaci adalah lebih disebabkan pada perkembangan umat karena proses industrialisasi yang terjadi di Tangerang yang dimulai tahun 1980-an, serta tumbuhnya perumahan-perumahan baru di wilayah Tangerang. Hal ini juga diperkuat dengan dibangunnya jalan tol Jakarta – Merak pada tahun 1985-an, yang secara tidak langsung sangat berpengaruh pada percepatan pertumbuhan wilayah Tangerang Barat dan sekitarnya. Gereja St. Agustinus yang semula hanya sebagai sebuah stasi dari Paroki St. Maria Tangerang, khususnya untuk wilayah Perumnas I dan Perumahan Cimone Permai, akhirnya melayani hampir seluruh wilayah Tangerang bagian barat, mulai dari wilayah Serpong sampai dengan Balaraja, mulai dari Cimone sampai dengan Pasar Kemis. Wilayah ini sebelumnya mempunyai radius pelayanan hampir 30 km dari pusat Gereja Karawaci. Sampai pada akhirnya dari paroki ini bersemi paroki baru beserta stasinya yang mengambil alih sebagian wilayah pelayanan Paroki St. Agustinus Karawaci, seperti: Paroki Sta. Monica yang mempunyai wilayah pelayanan di daerah Serpong dan sekitarnya, Stasi Sta. Helena dengan wilayah pelayanan perumahan Lippo Karawaci, Binong sampai dengan Legok, serta stasi Sta.Odilia Citra Raya dengan wilayah perumahan Citra Raya, Balaraja sampai dengan wilayah Tangerang Barat lainnya. Wilayah pelayanan paroki St. Agustinus Karawaci, sebelumnya adalah pecahan dari Paroki St.Maria yang Berhati Tak Bernoda. Setelah pemecahan kembali menjadi 3 wilayah pengembangan paroki baru, maka wilayah pelayanan Paroki St.Agustinus sekarang meliputi:
Sebelah Timur Gereja: Mulai dari Perumnas I, Perumahan Cimone, Jl.Teuku Umar (d.h. Karawaci) s.d. Perumahan Palem Semi dan sebagian perumahan Lippo Karawaci. (Saat ini wilayah BSD sudah menjadi Paroki Sta. Monica BSD).Sebelah Barat Gereja: Mulai dari Perumnas II, III, IV sampai dengan Perumahan Taman Cibodas, Keroncong Permai, Pasar Kemis dan Cikupa. Sebelah Selatan Gereja: Mulai Perumnas II, Perumahan Harapan Kita sampai dengan Jalan Tol Jakarta Merak. (Perumahan Lippo Karawaci s.d. Legok telah menjadi Stasi Sta. Helena Lippo Karawaci). Sebelah Utara Gereja: Mulai dari Perumahan Aster, Perumahan Cimone Mas Permai, Perumahan Ligamas Regency, daerah Jl. Sinta sampai dengan Jl.Gatot Subroto (d.h.Jl. Raya Serang). Luas cakupan wilayah pelayanan Paroki St. Agustinus Karawaci hampir mencapai jarak kurang lebih 20 km2. Luas cakupan wilayah tersebut hanya dilayani oleh 3 gembala dari Ordo Salib Suci (OSC) sejak awal paroki ini didirikan sampai dengan saat ini. Belum ada pergantian penanggungjawab reksa pastoral paroki ordo maupun konggregasi lain di paroki ini. Secara bergantian dalam suatu periode tertentu, penugasan imam-imam secara bergantian tetapi dari ordo yang sama yaitu Ordo Salib Suci (OSC).


Wednesday, January 30, 2013

JABATAN RAHMAT



Judul Buku         : Ketua Lingkungan Di Era Sibuk
Penulis                : Marcus Leonhard Supama
Penerbit              : Kanisius, Yogyakarta 2012
Tebal Buku         : 176 halaman

Ketika masa jabatan Ketua Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan  untuk tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan.   Tetapi dibalik kecemasan itu, muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi. Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah sebuah jabatan yang membebani, apalagi  tidak diimbangi dengan honorarium.  
                Membaca buku “Ketua Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk  membangun esensi panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur  untuk menjadi pewarta dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakin berbuah dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau kemauan untuk melayani.”
                Menjadi Ketua Lingkungan di era sibuk berarti  berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.   Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru  ketika disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua Lingkungan?”  
                Di tengah kesibukan kerja yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.(Valery Kopong)

PERARAKAN MASUK DAN NYANYIAN PEMBUKA



                Perarakan masuk para pelayan dan petugas sebagai tanda diawalinya perayaan Ekaristi ini disambut oleh umat beriman dengan berdiri sambil diiringi dengan nyanyian pembuka.
                Pada hari Minggu dan hari raya, perarakan masuk ini diiringi dengan nyanyian pembuka, yang memiliki beberapa fungsi:
  1. Mengiringi perarakan para petugas liturgy (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung.
  2. Membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
  3. Mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.
Berkaitan dengan fungsi kedua: membina persekutuan umat, maka perlu diperhatikan hal-hal yang menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1.       Tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. “Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dna membangun sikap batin yang sama pula.”
2.       Terlibat: seluruh umat menyanyikan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor.
3.       Berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan.

PERSIAPAN MENJELANG EKARISTI


             
                Persiapan menjelang perayaan Ekaristi  sebaiknya dengan sengaja diciptakan. Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2005 juga menyarankan adanya persiapan sebelum perayaan Ekaristi dimulai. Dikatakan: “Menjelang Perayaan Ekaristi, seyogyanya diadakan persiapan dengan menciptakan suasana ibadat yang sesuai, baik di ruang ibadat (oleh umat) maupun (oleh imam, diakon dan para petugas: asisten imam, lektor, pemazmur dan putra altar).”
                Bentuk persiapan itu bisa ditafsirkan beragam, misalnya secara fisik: busana liturgy dan perlengkapan liturgy yang berkaitan. Maksudnya tugas yang berbeda-beda dalam perayaan Ekaristi ditunjukkan dengan busana liturgi  yang berbeda-beda pula. Bentuk dan model serta kelengkapan busana liturgi tidak dibuat sesuai selera masing-masing, melainkan ada aturan baku dalam Gereja, karena busana liturgi bukan sekedar mode melainkan mengandung  arti simbolis yang sangat dalam. Demikian pula dengan warna busana liturgi disesuaikan dengan karakter perayaan yang dirayakan.
                Namun yang  utama dari berbagai persiapan menjelang perayaan Ekaristi adalah menciptakan suasana hening secara batin “agar seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.” (Pedoman Umum Misale Romawi-PUMR 45).

Tuesday, January 29, 2013

PUKENG MOE, LAMALERA



(KARENAMU, LAMALERA)
“Schreiben ist die Toten erwecken,” kata orang Jerman.  Menulis  itu menghidupkan yang mati. Menulis menjadi serupa ritual, perayaan penghidupan atau pembangkitan atas kematian. Dengan menulis, kehidupan yang (terlanjur) putus disambungkan dan dikekalkan. Karena itu, menulis bisa menjadi sebentuk perlawanan, protes atas kematian dan atau atas pelbagai bentuk pematian yang menggerogoti  manusia.
            Layaknya sebuah ritual, menulis mengandaikan partisipasi atau keterlibatan intensional penulis dalam apa yang hendak ditulisnya. Menempatkan diri sebagai pars semacam itu menghindarkan penulis dari apa yang disebut sebagai kesalahan catachonic dalam tulisannya, yaitu kesalahan untuk  ‘mengadili’sesuatu dengan kategori-kategori asing. mengadili sesuatu  dengan kategori  yang  asing bisa ‘menghambarkan’ tulisan dari dayanya  yang  menghidupkan. Tulisan menjadi  insignifikan dan irrelevan bagi konteks terhadapnya tulisan itu ditujukan.
            Dengan kesadaran ritualis semacam itulah, Bruno Dasion menelurkan   kumpulan puisi ini, “Pukeng Moe, LAMALERA.” Tapi lebih dari sekedar titian, empat puluh satu puisi dalam buku ini menjadi sebentuk perlawanan penulis terhadap arus kematian dan pematian atas tradisi khas kampungnya, Lamalera. Secara amat khas, perlawanan dengan kemasan artistik ini terentang di antara tiga struktur waktu: kemarin, hari ini dan esok. Ada kenangan berharga yang tidak bisa begitu saja diabaikan atau dibiarkan dalam kekinian orang-orang Lamalera, tetapi sebaliknya mesti menjadi energi yang membersitkan insight untuk terus melangkah ke depan.***

Thursday, January 24, 2013

MISKIN PERHATIAN



(Sumber inspirasi: Yoh.11:1-45)

                                                                                Kematian Lazarus, potret  ketakberdayaan manusia miskin. Lazarus menjadi simbol orang-orang tak berpunya, meninggal dalam kesendirian, dalam kesunyian.  Semasa hidupnya, kehidupan Lazarus jauh dari sentuhan kemewahan bahkan diperlakukan secara tidak adil oleh orang kaya. Ia makan dari rema-rema yang jatuh dari meja si kaya raya. Meja orang kaya dengan Lazarus yang ada di bawahnya, menunjukkan jarak pemisah yang jauh, sulit dipadu dalam satu kesepakatan.
                Kehidupannya penuh dengan derita dan perjuangan, dan pada saat  meninggal pun sepertinya jauh dari pantauan masyarakat sekitar. Yesus yang sebelumnya berada bersama mereka tetapi pada menjelang kematiannya, Yesus malah meninggalkan dia. Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa di sini memunculkan unsur kesengajaan Yesus. Yesus sengaja, membiarkan Lazarus meninggal, mengalami pembaringan dalam kasih Allah. Allah mengambil alih seluruh hidupnya yang penuh dengan derita. Kematiannya di dunia menjadi tanda pelepasan beban dan keterikatannya dengan simpul keangkuhan orang-orang kaya.
                Tetapi apakah kematiannya, untuk seterusnya ia pamit dari dunia ini dan tak pulang lagi? Mari kita membangunkan Lazarus yang sedang tidur. Inilah ajakan Yesus kepada para murid-Nya untuk melihat  Lazarus yang tertidur. Apa yang dikatakan Yesus dimengerti secara utuh atau harafiah? Untuk apa kita pergi membangunkannya?  Karena suatu saat ia akan bangun sendiri. Ini terjadi kesalahan persepsi antara Yesus dan murid-murid-Nya. Di sini, Yesus seakan mengajak para murid untuk tenggelam memahami arti dari rahasia tidur dalam pulasan abadi. Yesus sengaja memperlihatkan sekaligus menunjukkan ke-Allahan-Nya pada para murid tentang apa yang akan dilakukan-Nya.
                Yesus selalu memanfaatkan ketepatan “saat” untuk  memproklamirkan keallahan-Nya melalui mujizat. Tentunya Yesus tidak mengadakan “show” religius tetapi Ia menyatakan kepenuhan kerajaan Allah dalam diri orang-orang miskin. Pembangkitan Lazarus dari alam maut menjadi tanda pemerdekaan orang-orang yang tertindas dalam hidupnya setelah mengalami pengalaman Allah selama kematiannya sesaat. Di sini jelas memperlihatkan bahwa Allah sedang “memapah” umat-Nya yang telah derita dalam hidup dan tenggelam dalam dasar maut. Allah tidak membiarkan ia menjerit dalam kesendirian. Jeritan permintaan akan belas kasih juga datang dari Maria dan Marta, saudaranya.
                “Seandainya Tuhan masih ada di sini, saudaraku pasti tidak akan meninggal.” Inilah rentetan penggalan harapan yang keluar dari mulut saudara Lazarus. Harapan akan “kehadiran” Yesus menjadi tanda untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Kehadiran Yesus menjadi tanda legitimasi keberadaan atau eksistensi manusia. Tanpa kehadiran Yesus, orang merasa kehidupannya seolah-olah mengalami kesia-siaan. Kecemasan ini pada akhirnya terhapus oleh “peran” dan campur tangan Allah yang menyata dalam diri Yesus. Allah memperlihatkan mujizat lewat Yesus dengan membangkitkan Lazarus dari alam maut. Maut tunduk pada kuasa Yesus dan membiarkan kehidupan baru bersemi kembali dalam diri Lazarus.
                Lazarus hidup miskin  secara materi tetapi bukan menjadi halangan baginya untuk menerima kemurahan dan kemahakuasaan Allah. Kebangkitan Lazarus memperlihatkan betapa Allah masih memiliki rasa peduli terhadap mereka yang tersisihkan yang diwakili oleh Lazarus. “Kemiskinan terburuk zaman ini adalah  orang-orang merasa tidak dicintai lagi, jauh dari sentuhan kemanusiaan.” ***(Valery Kopong)