Thursday, September 12, 2013
Tuesday, August 13, 2013
SIAPAKAH AKU DALAM GEREJA?
Oleh: Valery Kopong*
Persaudaraan Siswa-siswi Negeri
Katolik atau lebih dikenal dengan nama “Persink,” merupakan kelompok siswa-siswi
yang berasal dari sekolah-sekolah negeri yang selama ini dihimpun untuk
diajarkan mengenai pelajaran Agama Katolik. Hampir semua paroki memiliki
paguyuban ini dan paguyuban ini lahir dari sebuah keprihatinan bersama yakni
bahwa anak-anak Katolik yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri,
sepertinya “dianaktirikan” oleh pihak sekolah. Mereka tidak mendapat pelajaran
Agama Katolik karena guru-guru Agama Katolik tidak disediakan oleh
pihak sekolah negeri.
Paguyuban yang dibentuk atas
dasar keprihatinan ini digarap secara baik oleh para pengajar. Para pengajar
tidak hanya mengajarkan pelajaran Agama Katolik tetapi juga pengembangan
kepribadian siswa-siswi melalui
kegiatan-kegiatan rohani. Kelompok paguyuban siswa-siswi Katolik yang
berada di Gereja Paroki Santo Gregorius yang sudah berusia 7 tahun ini,
mengadakan “rekoleksi pantai” pada
tanggal 9 Juni 2013 di pantai Pasir Putih-Anyer-Banten. Pada sesion pertama
yang dibawakan oleh Ibu Rika Nusmese, menyoroti tema: “Siapakah Aku Dalam Keluarga?” Para peserta
yang berjumlah lima puluhan orang diajak untuk melihat diri dan peranannya dalam
keluarga. Sementara itu dalam sesion kedua yang dibawakan oleh Valery Kopong,
menyoroti tema: “Siapakah Aku dalam Gereja dan Siapakah Aku Bagi Sesama”
Setiap orang yang
menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah
aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun
seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup
menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja
yang dimaksudkan di sini adalah umat
Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling
sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh
Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?
Dibaptis Untuk Gereja
Ketika
orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai
anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya
tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis
berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus
hidup dalam diri setiap orang yang sudah
dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian
melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup
Gereja maupun di luar Gereja.
Melihat
peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks
tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya
bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat
menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis
mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri
setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa
jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang
sudah dibaptis?
Konsep
Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki,
artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus
dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun
selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan
bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak
melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan
dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja
seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan
tentang Kristus.
Istilah
kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum
awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan
dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara
tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota
Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap
Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga
mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.
Dalam
refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang
memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat,
sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian
melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan
konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan
menggereja.
Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?
Ketika
ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana,
yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang
telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap
anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi
hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang
dimilikinya. Sejalan dengan ini,
lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat
sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.
Sebagai
anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh
berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan
perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan
sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai
seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda
dalam memainkan peran di Gereja. Anak-anak
bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang
dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra
altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka
yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak
memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang
yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?
Bagi
mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti
menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya
dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan
kegiatan-kegiatan doa yang lain. Sumbangan
yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita
temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama
dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan
mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita
sedang menanamkan benih-benih kebaikan.
Siapakah Aku Bagi Sesamaku?
Manusia
hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia
tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan
menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang
kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan
tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong
dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari
masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.
Kisah
orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap
orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria
mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan
leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap
primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada
akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
Membangun
sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan
diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah
pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain
selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain.
Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di
kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik
dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Dalam
lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat
sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai
alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita
punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam
mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan
tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat
dalam kisah pengorbanan Kristus.***
DOA ORANG YANG TERLUKA
Judul
Buku : Doa Yang Menyembuhkan
Penulis : Jean Maalouf
Penerjemah : Wilhelmus David
Penerbit : Orbit Media, Tangerang, 2013
ISBN : 978-602-17548-8-7
Doa
memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Doa bekerja untuk
menyembuhkan, mengubah dan membuat
mungkin untuk setiap hal yang dianggap mustahil. Allah menyembuhkan orang yang
butuh disembuhkan. “Doa tidak mengubah Allah tetapi mengubah orang yang berdoa,
“ kata Soren Kiekegaard. Karenanya, untuk mencapai titik puncak pengubahan diri
maka dalam doa perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bagaimana membangun
relasi intim dengan Allah. Dalam doa, sepertinya pendoa sedang berada di
beranda Allah, membiarkan dirinya untuk hanyut dan larut dalam ribaan Allah.
Dalam doa-doa
Katolik, begitu banyak mistikus merintis jalan panjang untuk mencari jati diri
Allah melalui cara-cara baru dalam berdoa. Model doa seperti apakah yang kita
perlihatkan di hadapan Allah sebagai cara dalam meraih kekhusyukan dan
mengalami kehadiran-Nya? Apakah doa yang tenang penuh meditatif yang kita
gandrungi? Doa Benediktin, yang
pertama kali diperkenalkan oleh Santo Benediktus, menyentuh kesadaran manusia. Tipe doa ini menyentuh semua tipe
kepribadian: lectio menyentuh pikiran
kita, meditatio menyentuh akal kita, oratio menyentuh perasaan kita dan contemplatio menyentuh naluri kita.
Selain
doa Benediktin, dikenal juga doa Agustinus yang lebih menggunakan kekuatan Sabda Allah sebagai
bagian dari kehidupan mereka sehari-hari dan mengajarkan kepada para murid agar
menggunakan cara doa ini untuk mengenal kehendak Allah bagi mereka. Sementara
itu, doa Fransiskan mengarahkan semua orang untuk percaya penuh kepada Allah,
terbuka kepada bimbingan Roh Kudus dan memuliakan Allah dalam keindahan-keindahan
alam.
Masih
banyak lagi cara-cara berdoa dan bermeditasi yang ditawarkan oleh para
mistikus. Tetapi yang terpenting di sini adalah bagaimana setiap kita memilih
cara-cara yang tepat dalam berdoa. Sebelum menerapkan cara-cara berdoa,
mestinya si pendoa harus tahu dan mengenal karakter pribadi. Karena dengan
mengenal karakter pribadi maka seseorang akan memilih metode atau cara yang
tepat dalam berdoa. Semua cara yang ditawarkan hanyalah jalan untuk mengalami
kedekatan dengan Allah. Dalam berdoa, ibarat kita “bermain kartu terbuka dengan
lawan main.” Karena sebelum kita menyampaikan sesuatu, Allah lebih dulu tahu
tentang maksud dan tujuan kita berdoa. Ketika orang berdoa dalam kondisi sakit,
sebenarnya si pendoa membawa luka dan
beban hidup untuk ditunjukkan pada Allah. Dengan suatu harapan penuh bahwa
Allah akan menyembuhkan luka-luka itu.***(Valery
Kopong)
Saturday, August 10, 2013
PEMBINAAN KAUM MUDA BANTEN
Kaum
muda adalah tulang punggung Gereja dan negara. Di pundak merekalah, masa depan
Gereja dan negara dipertaruhkan. Masa depan Gereja dan negara menjadi lebih
baik bila generasi muda, calon-calon pemilik masa depan dipersiapkan secara
baik. Menyadari pentingnya peranan kaum muda di masa yang akan datang maka tanggal 7 dan 8 Juni 2013, Bimas Katolik,
Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten menyelenggarakan pembinaan terhadap mereka.
Kegiatan yang berlangsung di “The Banten Hotel,” Anyer-Banten, mengusung tema: “Melalui Pembinaan Pemuda
Katolik, Kita Tingkatkan Peran dan Tanggung Jawab Pemuda dalam Gereja Katolik.” Acara ini
dibuka secara resmi oleh Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, Bapak
Haji Iding. Dalam acara pembukaan itu
beliau berpesan agar kaum muda terus memperdalam keimanan dan sebagai warga negara perlu menghidupkan empat pilar kebangsaan
dan mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Hadir sebagai pembicara adalah Bapak
Osner Purba, S.Fil.M.Si dan Bapak Yohanes Masgur, S.Fil. Di hadapan peserta
yang lebih dari tiga puluhan orang, Osner Purba menekankan pentingnya
mengakrabi Kitab Suci. Kitab Suci tidak hanya dibaca dan direnungkan saja tetapi
juga sebagai media rohani untuk lebih jauh mengenal Tuhan. “Tidak membaca Kitab
Suci berarti tidak mengenal Kristus,” tegas Osner yang mengutip kata-kata Santo
Hieronimus. Kitab Suci itu kaya makna
dan memberikan pesan-pesan berharga sekaligus menjadi pedoman dalam hidup.
Sementara itu, Bapak Yohanes Masgur
mengajak kaum muda yang semuanya adalah mahasiswa dari pelbagai perguruan
tinggi negeri maupun swasta yang ada di Serang dan Cilegon, untuk melihat
cara-cara yang dilakukan Yesus sebagai pastoral yang baik dalam mengenal dan
memahami kehidupan sekitarnya. “Duc in Altum, “ bertolaklah lebih ke
dalam, merupakan ajakan yang baik untuk memahami lingkungan dan orang lain.
Menurut Yohanes Masgur, ajakan untuk bertolak
lebih ke dalam dipahami sebagai sebuah perutusan untuk ada bersama dan
memperkenalkan Kristus kepada orang lain dan menjala mereka yang ingin
mengikuti Kristus. Acara yang
berlangsung selama dua hari itu ditutup oleh Pembimas Katolik, Kanwil
Kementerian Agama Provinsi Banten, Bapak Stanislaus Lewotoby.***(Valery Kopong)
Saturday, July 27, 2013
TERORISME: DULU, KINI DAN HARI ESOK
“Dulu
kita mendengar bom bunuh diri hanya terjadi di daerah Afganistan dan Irak tetapi sekarang bom bunuh diri ada di dekat
dengan kita, bahkan ada di tetangga kita,” demikian dikatakan oleh Dr.Rumadi
Ahmad dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Lintas Agama Kota
Tangerang Selatan. Diskusi publik yang berlangsung pada Kamis, 23 Mei 2013 di
Restoran Telaga Seafood Bumi Serpong Damai, dihadiri sekitar ratusan orang yang mewakili
pelbagai unsur / elemen masyarakat,
terutama tokoh agama Kristen, Katolik, Budha, dan Islam. Diskusi publik
ini dibuka oleh kabag kesbangpolimas Kota Tangerang Selatan, H.Budi Dedi
Hirawan yang mewakili Ibu Wali Kota Tangerang Selatan yang tidak berkesempatan
hadir. Pada kesempatan itu, Dedi Hirawan menghimbau kepada seluruh elemen
masyarakat agar tetap menjaga lingkungannya agar bebas dari gangguan terorisme
dan sekaligus menginginkan agar Tangerang Selatan tetap kondusif.
Secara organisatoris, terorisme
sudah dilumpuhkan tetapi tidak berarti mati secara total. Ada gerakan terorisme
yang muncul secara sporadis. Dengan berkaca pada kenyataan ini maka mendorong Abdul Rojak, MA sebagai
moderator, yang menekankan bahwa
terorisme menjadi musuh bersama. Dalam memberantas terorisme ini perlu
meningkatkan partisipasi masyarakat yang melihat dan mengawasi orang-orang yang
berada di sekitarnya. Ketika masyarakat semakin cuek dengan situasi ini maka
pada saat yang sama, teroris muncul lagi, sepertinya membangunkan masyarakat
dari sikap apatisnya.
Diskusi publik ini menghadirkan
dua pembicara, yakni Dr. Rumadi Ahmad dari Wahid Institut dan Zora A. Sukabdi,
M.Psi, dosen psikologi Universitas Indonesia. Dalam pemaparan makalahnya,
Rumadi Ahmad mengatakan bahwa “terorisme menjadi musuh bersama tetapi
terkadang, kita tidak mengerti, siapa itu musuh kita.” Apa yang dikatakan ini
berkaitan dengan gerakan pemberantasan terorisme yang terkadang menemui jalan buntu karena para teroris yang
bergerak secara sempalan dan ini menjadi sulit terdeteksi. Lebih jauh Rumadi mempertanyakan, “mengapa
orang mati karena bom bunuh diri diperdebatkan secara berlebihan, sedangkan
orang yang mati ditabrak ditanggapi secara dingin?” Padahal esensinya sama,
yakni sama-sama mati, hanya cara atau proses kematiannya beda.
Sedangkan Zora A. Sukabdi,
selain sebagai dosen psikologi di Universitas Indonesia, ia juga dikenal
sebagai pegiat yang terjun langsung mendampingi kelompok-kelompok teroris yang
tertangkap dan masih dipenjarakan. Dalam proses pendampingan, ia mengatakan
bahwa para teroris yang dipenjara ketika dimintai pendapat mengenai apa yang
dilakukan, mereka menceritakan dengan penuh semangat dan seolah-olah apa yang
dilakukannya sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka. Mereka
menceritakan tindakan sadis yang dilakukan tetapi mereka tidak melihatnya
sebagai tindakan yang salah. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Zora A.
Sukabdi menjadi bagian penting dalam proses penyadaran kembali tentang apa yang
dilakukan dan meluruskan pemahaman yang salah yang terbangun dalam dirinya. Di
akhir diskusi publik itu, Zora A. Sukabdi mengajak para peserta untuk melihat
“musuh” bersama ada dalam diri kita masing-masing. Kita memusuhi egoisme kita,
dan memusuhi paham-paham yang membenarkan sebuah tindakan sadis atas nama agama
tertentu.***(Valery Kopong, http://viretabahasa.blogspot.com)
Tuesday, June 11, 2013
GEREJA-BURUH, SIAPA PEDULI SIAPA?
misa kaum buruh di aula Tarakanita-Citra Raya-Tangerang |
“Gereja-Buruh, Siapa Peduli Siapa?” Inilah tema umum perayaan
Ekaristi bagi kaum buruh se-dekenat Tangerang-Banten. Perayaan Ekaristi bagi
kaum buruh bertepatan dengan Pesta
Kenaikan Yesus, Kamis 9/5/2013 berlangsung meriah di aula Sekolahan Tarakanita
Citra Raya-Cikupa-Tangerang-Banten. Hadir dalam perayaan itu Mgr. Ignatius
Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta dan sekaligus bertindak sebagai selebran
utama. Di samping itu pula hadir romo deken untuk dekenat Tangerang, Rm. Bernadus Yusa Bimo Hanto, OSC
dan enam imam lain yang turut hadir sebagai konselebran dalam perayaan Ekaristi
kudus.
Penyelenggaraan perayaan Ekaristi
bersama para buruh ini digagas sebagai rangkaian acara dalam memperingati hari
buruh sedunia yang jatuh pada 1 Mei yang lalu. Dalam kesempatan melaksanakan
acara akbar ini menunjukkan bahwa kaum buruh tidak hanya berdemo menuntut
hak-haknya di jalanan tetapi juga membangun solidaritas dalam semangat Ekaristi
kudus. Dalam kata pembukaannya, Mgr. Ignatius
Suharyo mengatakan bahwa “kita adalah satu keluarga, sebagai murid Kristus.
Kita berkumpul di sini untuk saling meneguhkan dalam iman, harapan dan kasih.”
Pertemuan bersama para buruh merupakan kesempatan langka dan karenanya
dimanfaatkan secara baik dalam upaya membangun solidaritas sesama kaum buruh.
Di hadapan 650 kaum buruh yang
hadir, lebih jauh di awal khotbahnya, Mgr. Suharyo mengajak kaum buruh untuk
menjalankan tugas perutusan dengan baik di tempat kerja masing-masing dan selalu mensyukuri anugerah kehidupan. Membangun
rasa syukur dan mensyukuri anugerah
kehidupan merupakan suatu keharusan bagi setiap kita orang beriman. “Ketika
Yesus hidup pada waktu itu, keadaannya mirip dengan kehidupan kita sekarang,”
tegas Uskup Keuskupan Agung Jakarta. Keadaan
apa yang mirip dengan keadaan yang kita alami sekarang? Kalau zamannya
Yesus, kehidupan waktu itu penuh dengan penjajah asing. Ada penindasan dan perampasan
terhadap hak-hak asasi manusia. Banyak orang miskin, sakit dan tertekan
terdepak dari masyarakat.
Yesus tidak menutup mata terhadap seluruh persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat pada waktu itu. Ia justeru membuka mata dan berani berpihak pada mereka yang
disisihkan. Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus adalah kerajaan kasih
yang bisa menyapa semua orang. Yesus berpihak pada orang-orang kecil, dan hal
ini menunjukkan bahwa Allah sedang berpihak dan mencintai semua orang. Allah
dengan caranya sendiri untuk mau membebaskan orang-orang dari penjajah. Kita
juga sedang dijajah oleh kekuatan lain, yakni kekuasaan dan para pemodal, yang terkadang bersikap kurang manusiawi
terhadap kaum buruh.
Perayaan Ekaristi akbar kaum buruh ini dimeriahkan oleh
paduan suara dari ibu-ibu WKRI Santa
Odilia-Citra Raya-Tangerang. Setelah perayaan Ekaristi masih dilanjutkan dengan
acara sarasehan. Dalam acara sarasehan, diminta kesediaan beberapa buruh untuk
membagi pengalaman terutama tentang perjuangan menempuh jalan jauh menuju
tempat kerja. Sedangkan Handono, salah seorang buruh mensyeringkan pengalaman
kerja dalam tekanan waktu tetapi masih menyempatkan diri untuk mengurus Gereja
dan lingkungannya.
Dalam sarasehan itu juga dibuka kesempatan untuk tanya jawab
bersama Mgr. Suharyo. Kiranya dalam
momentum ini, Gereja juga semakin peduli terhadap kaum buruh dan kaum buruh
juga bisa menyisihkan waktu untuk semakin terlibat dalam kehidupan menggereja. “Kita
berkumpul di sini untuk menumbuhkan spiritualitas gembala baik dan
mudah-mudahan kita mendapat sentuhan yang baik dari teman-teman yang hadir,”
demikian harapan Bapak Frederikus Hary Mulyono, ketua panitia penyelenggara
misa kaum buruh dekenat Tangerang.***(Valery Kopong)
Subscribe to:
Posts (Atom)