Oleh: Valery Kopong*
Persaudaraan Siswa-siswi Negeri
Katolik atau lebih dikenal dengan nama “Persink,” merupakan kelompok siswa-siswi
yang berasal dari sekolah-sekolah negeri yang selama ini dihimpun untuk
diajarkan mengenai pelajaran Agama Katolik. Hampir semua paroki memiliki
paguyuban ini dan paguyuban ini lahir dari sebuah keprihatinan bersama yakni
bahwa anak-anak Katolik yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri,
sepertinya “dianaktirikan” oleh pihak sekolah. Mereka tidak mendapat pelajaran
Agama Katolik karena guru-guru Agama Katolik tidak disediakan oleh
pihak sekolah negeri.
Paguyuban yang dibentuk atas
dasar keprihatinan ini digarap secara baik oleh para pengajar. Para pengajar
tidak hanya mengajarkan pelajaran Agama Katolik tetapi juga pengembangan
kepribadian siswa-siswi melalui
kegiatan-kegiatan rohani. Kelompok paguyuban siswa-siswi Katolik yang
berada di Gereja Paroki Santo Gregorius yang sudah berusia 7 tahun ini,
mengadakan “rekoleksi pantai” pada
tanggal 9 Juni 2013 di pantai Pasir Putih-Anyer-Banten. Pada sesion pertama
yang dibawakan oleh Ibu Rika Nusmese, menyoroti tema: “Siapakah Aku Dalam Keluarga?” Para peserta
yang berjumlah lima puluhan orang diajak untuk melihat diri dan peranannya dalam
keluarga. Sementara itu dalam sesion kedua yang dibawakan oleh Valery Kopong,
menyoroti tema: “Siapakah Aku dalam Gereja dan Siapakah Aku Bagi Sesama”
Setiap orang yang
menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah
aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun
seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup
menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja
yang dimaksudkan di sini adalah umat
Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling
sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh
Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?
Dibaptis Untuk Gereja
Ketika
orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai
anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya
tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis
berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus
hidup dalam diri setiap orang yang sudah
dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian
melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup
Gereja maupun di luar Gereja.
Melihat
peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks
tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya
bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat
menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis
mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri
setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa
jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang
sudah dibaptis?
Konsep
Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki,
artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus
dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun
selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan
bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak
melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan
dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja
seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan
tentang Kristus.
Istilah
kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum
awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan
dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara
tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota
Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap
Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga
mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.
Dalam
refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang
memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat,
sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian
melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan
konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan
menggereja.
Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?
Ketika
ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana,
yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang
telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap
anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi
hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang
dimilikinya. Sejalan dengan ini,
lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat
sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.
Sebagai
anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh
berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan
perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan
sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai
seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda
dalam memainkan peran di Gereja. Anak-anak
bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang
dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra
altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka
yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak
memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang
yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?
Bagi
mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti
menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya
dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan
kegiatan-kegiatan doa yang lain. Sumbangan
yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita
temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama
dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan
mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita
sedang menanamkan benih-benih kebaikan.
Siapakah Aku Bagi Sesamaku?
Manusia
hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia
tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan
menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang
kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan
tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong
dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari
masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.
Kisah
orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap
orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria
mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan
leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap
primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada
akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
Membangun
sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan
diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah
pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain
selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain.
Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di
kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik
dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Dalam
lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat
sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai
alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita
punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam
mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan
tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat
dalam kisah pengorbanan Kristus.***
0 komentar:
Post a Comment