Setiap
hari, bapak saya yang hidup di Gelong, sebuah perkampungan kecil yang terletak di atas bukit, tempat sandarnya
sang matahari pagi, harus ke kebun untuk mengiris tuak putih yang disadap dari pohon kelapa. Berbekal “nawin”
(silinder bambu) dan “mer’e” (pisau khusus) untuk mengiris kelapa yang
dijadikan tempat untuk menyadap tuak. Mengingat
kembali rutinitas hidupnya, kadang aku bertanya, untuk apa bapakku setia
mengiris tuak? Dia tidak pernah alpa mengunjungi pohon kelapa khusus yang dijadikan tempat menyadap
tuak. Jaraknya begitu jauh dengan rumahku, dan bisa ditempuh dengan jalan kaki,
menelusuri bukit dan lembah. Dia tidak pernah mengeluh capek. Yang terpancar
dari wajahnya yang penuh keringat adalah sebuah dedikasi tinggi untuk dirinya
dan terutama lewo tanah.
Di
perkampunganku, tuak putih sudah menjadi warisan leluhur dan terus
digunakan,
baik untuk seremoni adat dan minuman saat-saat pesta. Tanpa minuman tuak,
suasana menjadi hambar dan komunikasi menjadi mandek. Tuak menyulut kata dan
membangun komunikasi ketika orang-orang bertemu dalam suasana keakraban yang
luar biasa. Saya ingat akan “oring” (pondok) yang dijadikan sebagai markas (epu
oring) untuk bercerita dan bisa memecahkan banyak persoalan dengan ditemani
tuak.
Tidak
banyak tuak yang diminum oleh bapakku walau dia sendiri yang mengiris. Lewat tuak,
ia membangun persahabatan dengan orang-orang lain ketika sedang berjalan
menyusuri “epu oring” (pondok yang dijadikan sebagai rumah kedua). Banyak tertahan
dan tertawan oleh tuak yang rasanya “menera” (rasanya baik) setelah bercampur
dengan “raha” (sejenis kulit pohon kersen) yang dicampur dengan tuak.
Dalam
arti tertentu, pada tataran filosofis, “tuak”
membangun nilai-nilai peradaban melalui komunikasi yang intens. Lewat “epu
oring,” orang-orang di kampungku tidak minum saja, apalagi mabuk tetapi
menempatkan komunikasi untuk “gua gahin”
(merencanakan) sesuatu dalam membangun kampung tercinta. Dalam tuak yang
disuguhkan oleh bapakku, terpancar nilai-nilai kebaikan dari si penyedia. Orang-orang
yang pernah merasakan sentuhan rasa tuak bikinan bapakku, ia akan mengenang dan
berusaha untuk mencari kembali sumber tuak itu. Tuak, minuman lokal yang
mengedepankan kearifan lokal, menawarkan nilai filosofi hidup, tentang
perjuangan, keakraban dan rasa memiliki lewo tanah. Tuak…..tuak….ah tuak,
rasamu sudah saya cicipi. Kini, walau berada jauh dari tanah Gelong Lamaledan,
seolah aromamu memburu rasaku di tanah rantau.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment