Friday, December 2, 2022

Air Mata dan Harapan Mesianik

 

Perhelatan demokrasi pada Pilpres 2024 semakin menarik perhatian. Di satu sisi, ada animo para kandidat untuk menawarkan janji jalan pintas mengentaskan kemiskinan pada masyarakat dan di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi warna utama tentang Indonesia. Pada pesta demokrasi ini nanti, nuansa masyarakat yang fanatik dengan para kandidat yang dijagokan masih terlena dengan tawaran jalan pintas untuk membonsai kemiskinan dan menyulapnya menjadi masyarakat yang makmur. Apakah para politisi dan kandidat yang bertarung sedang hidup di “negeri seribu satu malam” yang lebih sering menawarkan hiburan palsu? Bertitik tolak pada realita tentang kemiskinan Indonesia, maka para kandidat mesti merumuskan secara tepat mengenai program-program unggulan yang realistis dijalani nanti sebagai bentuk jawaban atas permasalahan sosial yang sedang membelenggu masyarakat. Apakah Pilpres  masih relevan, kalau hanya sekedar mencari uang dan kekuasaan? Pertanyaan sederhana ini menjadi titik refleksi yang menyadarkan kita tentang pentingnya memilih pemimpin yang kredibel.

Pemilu tidak hanya sekedar mencari kekuasaan dan memperkaya diri setelah berkuasa tetapi pemilu mestinya dimaknai secara baru, yakni sebagai proses seleksi calon pemimpin untuk menghasilkan pemimpin yang kredibel dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyat. Proses seleksi pada Pilpres  yang bermartabat adalah membiarkan hati nurani rakyat untuk menilai dan menentukan pilihan tanpa tersandera oleh tekanan dan iming-iming uang.

Seorang pemimpin harus menerjemahkan kata-kata yang terungkap pada janji-janji politis ke dalam program praktis yang dapat memenuhi kebutuhan publik. Dalam tataran politik nasional, publik masih menaruh harapan pada apa yang akan dilakukan oleh pemimpinnya. Dalam ruang demokrasi yang sumpek ini masyarakat  masih menarik nafas untuk membangun harapan baru di tengah janji-janji yang akan ditawakan para  kandidat yang sedang menjejali pola pikir publik. Dalam konteks Kristiani, masyarakat diibaratkan sebagai bani Israel pra-Mesias yang merindukan seorang penyelamat (Mesias) yang dijanjikan oleh Allah pada mereka sebagai bangsa pilihan. Allah mengutus Mesias kepada yang merindukan kehadiran-Nya, namun masyarakat Israel menolak Mesias karena tidak sesuai dengan kriteria manusiawi. Bahwa Mesias yang dirindukan dan dinantikan adalah Dia yang perkasa dan akan menumpas para musuh, namun Allah mengirim penyelamat yang datang dalam kelembutan seorang bayi Yesus.

Dalam konteks demokrasi Indonesia yang akan mengadakan Pilpres di tahun 2024 tentunya para konstituen memiliki kriteria-kriteria khusus yang menjadi karakter utama dan ciri khas yang bisa membedakan antara satu kandidat dengan kandidat lain. Untuk mengetahui ciri khas dari para kandidat maka perlu terlebih dahulu untuk mengetahui rekam jejak agar para pemilih tidak terjebak pada bilik suara saat menjatuhkan pilihannya. Untuk memberi informasi kepada publik tentang rekam jejak para kandidat, media massa dan media online secara netral memberikan keunggulan dan kelemahan yang ada dalam diri para capres dan wacapres agar para pemilih terbantu sebelum menentukan pilihan secara tepat.

Tanah Air mata dan Harapan Mesianik

Memandang Indonesia  dan membandingkan dengan negara-negara lain, terkesan masih jauh dari harapan. Keterbelakangan dalam dunia pendidikan, ekonomi dan kelayakan hidup, masih tergolong di bawah garis kemiskinan. Masih banyak ratapan tentang kemiskinan menggema di bumi ini.  Penulis memandang Indoensia  dari celah puisi Sutardji Calzoum Bachri, penyair kontemporer. Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami. Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.

Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah dihadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis.

Mereka (anakbangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari para pejabat. Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negeri  ini. Kekayaan baru bagi mereka yang miskin adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.

Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan sebagian masyarakat Indonesia untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat?


Para kandidat Capres yang akan bertarung perlu mengolah rasa untuk lebih mengenal masyarakat pinggiran. Bila perlu belajar seperti seorang penyair yang peka terhadap situasi yang dihadapi dan selalu membangun rasa gelisah ketika berhadapan dengan realitas. Mungkinkah calon pemimpin Indonesia kelak menjadi penyelamat  dari kemiskinan dan terus membangun harapan politik-mesianik? Hanya para kandidat yang tahu.***(Valery Kopong)

 

No comments: