Tuesday, November 22, 2022

Romero dan Jalan Martyria

 

Membaca Kisah Para Rasul yang mengisahkan tentang kehidupan Jemaat Perdana, terlihat jelas tugas-tugas Gereja yang perlu dilakukan oleh Gereja saat ini. Ada persekutuan (koinonia) yang memperlihatkan sebuah persaudaraan sejati. Mereka hidup secara bersama dalam kelompok, tentu memperlihatkan sebuah aspek yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Ada gerak bersama seperti doa secara bergilir (liturgya) dari rumah yang satu ke rumah yang lain sambil memecah-mecahkan roti. Doa menjadi kekuatan yang bisa menopang ziarah perjalanan paguyuban itu. Selain itu mereka mendengarkan pengajaran para rasul (kerygma) dan  melayani (diakonia) satu dengan yang lain. Ada satu hal penting yang dilakukan adalah kesaksian (martyria) dan menjadi penting serta  memberikan ciri tersendiri pada kelompok Jemaat Perdana ini.

Tulisan sederhana ini hendak menyoroti kesaksian, tidak hanya dilakukan oleh Gereja perdana tetapi dalam Gereja masa kini, justeru seorang Uskup Agung Romero memberikan pembelaan pada kaum miskin dan upaya menghadirkan wajah Kristus yang berpihak, namun  pada akhirnya mengantarkan dirinya pada ujung senjata yang mematikan. Uskup Romero yang hidup di El Salvador menjadi terkenal di daerah Amerika Latin dan memberikan opsi keberpihakkannya pada orang kecil yang tanah-tanah mereka dikuasai oleh penguasa. Romero tak tinggal diam. Beliau tidak membangun menaruh gading untuk membentengi diri dari kebisingan hidup luar biara, namun beliau terlibat dengan caranya tersendiri, yakni berpihak pada mereka yang kecil dan tersingkirkan.

Suara profetisnya menyoroti tindakan represif dari mereka yang berkuasa. Ternyata suara sang gembala ini selalu mengusik ketenangan mereka yang menamakan diri sebagai penguasa. Karena itu ketika Ia sedang merayakan Ekaristi dan persis pada saat konsekrasi, Ia ditembak mati. Ia jatuh tersungkur di altar bersama tubuh dan darah Kristus yang sedang dihunjukkan itu. Kematian yang dialami oleh Romero bukanlah kematian sia-sia. Namun kematiannya merupakan kematian berharga karena telah membela orang-orang kecil. Memang, menjadi imam, nabi dan raja, tidak berhadapan dengan jalan hidup yang mulus, tetapi justeru selalu mendapatkan tantangan dan ancaman sehingga nyawa menjadi taruhan.    


Romero belajar dari Kristus yang datang mewartakan Kerajaan Allah dengan penuh resiko. Seperti Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah harus menerima konsekuensi tragis sebagai bagian dari perutusan-Nya, demikian juga Romero.  Kisah korban Yesus menjadi kisah inspiratif sepanjang waktu. Kematian Yesus di atas kayu salib bukanlah kematian sia-sia, tetapi ada nilai lain di balik kematian-Nya. Upaya dari salib adalah keselamatan manusia. Semoga darah Romero menjadi benih bagi iman umat Kristiani.***(Valery Kopong)

 

No comments: