“Melukis
diri pada kanvas rahim sang mama”
Hari
ini dalam rentang waktu yang cukup panjang, aku merenung dalam ribaan “sapaan
ulang tahunku.” Lahir dalam sunyi dibalut “kenola” (potongan kain sederhana)
dan ditemani sang mama, Inak Uba Beda. Tak ada perawat yang membantu persalinan karena aku lahir
waktu itu, belum ada bidan desa. Tetapi bersyukurlah bahwa lewat tangan dingin
si dukun kampung, ia berani membantu persalinan tanpa takut sedikitpun. Menurut cerita mama bahwa setiap anak yang lahir, tali
pusatnya dipotong bukan dengan gunting yang steril seperti di rumah sakit mewah tetapi dengan “meran” (kulit bambu yang tajam). Cara perawatan
tali pusat sebelum terlepas dari pusat sang bayi juga sederhana, yakni membungkusnya dengan parutan kunyit.
Hidup
dalam kesederhanaan dan sapaan lembut keluarga, hanya saya rasakan sampai
dengan tingkat sekolah menengah, yakni SMP Lembah Kelapa. Di panti pendidikan ini
saya menimbah ilmu dengan segala keterbatasan. Selepas SMP Lembah Kelapa, saya
harus masuk asrama di Seminari San Dominggo-Hokeng. Di lembah Hokeng ini saya
belajar tentang kedisiplinan diri dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Empat
tahun setelah mengenyam pendidikan, saya harus memulai hidup di Novisiat SVD
Santo Yosef Nenuk-Timor. Tahun 1997 mulai memasuki kuliah Filsafat pada Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Berbekal sarjana filsafat, saya
memberanikan diri untuk melangkah ke Jakarta, kota glamour.
Walau
hidup di pinggiran kota, moment ulang tahun ini mengingatkan saya pada
keluarga, yang telah menghangatkan aku
dengan “kewatek kiwane” (sarung tenun). Saya ingat akan saudara-saudariku yang lain dan ingat akan jagung titi yang
menemaniku saat menyeduh kopi. Jauh dari Gelong-Adonara, tempat kelahiranku
tetapi moment ini menjadikan jarak semakin dekat karena ada rasa untuk
membangun memori kembali dan mengenang seluruh kisah hidup yang membawaku pada “Adaku”
sekarang ini. Terima kasih untukmu semua.***(Valery, 5 Januari 2015).
0 komentar:
Post a Comment