Monday, January 5, 2015

LAHIR DALAM SUNYI


      “Melukis diri pada kanvas rahim sang mama”
Hari ini dalam rentang waktu yang cukup panjang, aku merenung dalam ribaan “sapaan ulang  tahunku.” Lahir  dalam  sunyi  dibalut “kenola” (potongan kain sederhana) dan ditemani sang mama, Inak Uba Beda. Tak ada  perawat  yang membantu persalinan karena aku lahir waktu itu, belum ada bidan desa. Tetapi bersyukurlah bahwa lewat tangan dingin si dukun kampung, ia berani membantu persalinan tanpa takut sedikitpun.  Menurut  cerita mama bahwa setiap anak yang lahir, tali pusatnya dipotong bukan dengan gunting yang steril seperti  di rumah sakit mewah tetapi dengan  “meran” (kulit bambu yang tajam). Cara perawatan tali pusat sebelum terlepas dari pusat sang bayi juga sederhana, yakni  membungkusnya dengan parutan kunyit.
Sebuah nuansa kesederhanaan yang dibangun dalam diriku ketika lahir. Dalam rumah yang sederhana penuh kedamaian, saya dididik untuk menerima apa adanya tanpa harus mengeluh untuk meminta sesuatu yang berlebihan. Maklum, orang tuaku petani, yang sehari-hari mengolah ladang, untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Jagung adalah andalan hidup kami dan masyarakat Adonara keseluruhan. Setiap pagi, mamaku selalu “titi jagung” sebagai hidangan untuk menemaninya dengan kopi. Terasa nikmat menyeduh kopi dengan jagung titi sebagai santapan utama.
Hidup dalam kesederhanaan dan sapaan lembut keluarga, hanya saya rasakan sampai dengan tingkat sekolah menengah, yakni  SMP Lembah Kelapa. Di panti pendidikan ini saya menimbah ilmu dengan segala keterbatasan. Selepas SMP Lembah Kelapa, saya harus masuk asrama di Seminari San Dominggo-Hokeng. Di lembah Hokeng ini saya belajar tentang kedisiplinan diri dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Empat tahun setelah mengenyam pendidikan, saya harus memulai hidup di Novisiat SVD Santo Yosef Nenuk-Timor. Tahun 1997 mulai memasuki kuliah Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Berbekal sarjana filsafat, saya memberanikan diri untuk melangkah ke Jakarta, kota glamour.

Walau hidup di pinggiran kota, moment ulang tahun ini mengingatkan saya pada keluarga, yang telah menghangatkan  aku dengan “kewatek kiwane” (sarung tenun). Saya ingat akan saudara-saudariku  yang lain dan ingat akan jagung titi yang menemaniku saat menyeduh kopi. Jauh dari Gelong-Adonara, tempat kelahiranku tetapi moment ini menjadikan jarak semakin dekat karena ada rasa untuk membangun memori kembali dan mengenang  seluruh kisah hidup yang membawaku pada “Adaku” sekarang ini. Terima kasih untukmu semua.***(Valery, 5 Januari 2015).         

0 komentar: