Membaca arah perpolitikan dalam skala NTT menjelang
Pilgub, masih terlihat tingkat ketidakstabilan para pemilih yang
bakal menentukan sikap dan memberikan suara untuk calon Pilgub tertentu. Opini publik
masih menerawang dan pertanyaan penting
yang sedang menghantui masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah calon Gubernur dan
calon Wakil Gubernur mana yang pantas untuk dipilih? Seberapa jauh komitmen Cagub dan Cawagub NTT dalam upaya
untuk membangun masyarakat NTT yang miskin dan mengarah ke kehidupan yang lebih
baik?
PDIP menjadi basis utama para pemilih yang mendiami
wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Faktor apa yang berpengaruh
pada para pemilih sehingga menjatuhkan pilihan pada PDIP dan bahkan saking
merasa memiliki partai berlambang banteng bermoncong putih ini, sehingga
siapapun figur yang diusung pada setiap kali pilkada tidak terlalu berpengaruh
pada iming-iming partai lain. Proses untuk menjadikan partai sebagai partai
idola, ternyata melewati jalan panjang. Bahwa pada masa Orde Baru, PDI, sebelum
menjadi PDIP, mendapat simpati yang luar biasa karena ketika disingkirkan
dengan cara yang tidak elok oleh rezim
Orde Baru, tetap memperlihatkan keteguhan dan keberpihakkan pada masyarakat
kecil. Konsistensi PDIP dalam melawan
rezim Orde Baru dan kecintaan pada “wong cilik” menjadikan partai ini selalu ada di hati masyarakat.
Mempertimbangkan
Basis Pemilih Perempuan
Ada
beberapa aspek yang selalu menjadi pertimbangan sebelum orang menjatuhkan
pilihan, baik pada partai maupun figur yang menjadi calon pemimpin, yakni
adanya kesamaan suku, agama, etnis dan tak kalah penting adalah kesamaan
gender. Penulis sengaja mengangkat pemilih perempuan karena dalam konstelasi
politik lokal NTT, satu-satunya calon yang bertarung sebagai cawagub berasal dari
kaum perempuan. Selama dalam perhelatan demokrasi di NTT, perempuan selalu
menjadi penonton pasif ditengah riuhnya pesta demokrasi. Pada momentum ini,
seorang cawagub tampil di pentas politik lokal dan tidak sekedar meramaikan
perhelatan itu tetapi berjuang untuk memenangkan perhelatan bergengsi itu.
Isu gender menjadi daya tarik dan bahkan bisa
menghipnotis para pemilih terutama kaum perempuan. Perempuan mulai sadar bahwa
kepemimpinan selama ini dipegang oleh kaum laki-laki belum membawa perubahan
yang signifikan. Karena itu pesta demokrasi pada tahun ini menjadi momentum
bersejarah bagi kebangkitan kaum perempuan NTT. Memang, seorang perempuan
petarung, sedang membangun strategi politik di tengah kesendirian. Walaupun
cagub yang diusung PDIP terkena OTT, tetapi belum tentu bahwa basis pemilih
terutama kaum perempuan tersandera oleh peristiwa ini.
Penulis melihat raut wajah cawagub pada media sosial ketika
mendaftarkan diri ke KPUD Provinsi NTT, sempat meneteskan air mata. Tetesan air
mata adalah titik awal memulai perjuangan dan bukannya menyurutkan semangat
bertarung. Karena itu lengkaplah apa yang selalu didengungkan oleh para kader
partai, “kami tidak akan mundur selangkahpun.” Itu berarti bahwa perjuangan
untuk memenangkan perhelatan demokrasi ini bukan terletak pada figur yang
sedang bertarung, melainkan terletak pada bagaimana mekanisme kerja mesin
partai dalam merebut simpati para pemilih.
Perjuangan Ibu Emi dalam pertarungan ini mengingatkan
kita akan perjuangan Doglas McArthur, komandan gugus tempur Amerika Serikat di
Pasifik yang terdesak dan mengalami kekalahan yang menyakitkan dalam perang
Asia Timur Raya di Filipina. Ia pernah berujar, “I shall return!” (Saya akan kembali!). Sang panglima membuktikan
kebenaran dan kekuatan kata-katanya. Dia kembali untuk meluluh-lantakkan
kekuatan militer Jepang di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara.
Menyandingkan pertempuran dan perhelatan demokrasi
memiliki kemiripan, yakni sama-sama membangun strategi dan berupaya untuk
mematahkan lawan. Kalau dalam pertempuran fisik, akhir dari sebuah perjuangan
menawarkan maut dan kekalahan telak, namun dalam pertarungan politik, akhir
dari pertarungan adalah “menang atau kalah.” Dua kata ini, “menang atau kalah”
menjadi kata kunci dalam berjuang untuk merebut kursi kekuasaan. Banyak cara
dan strategi yang sedang dirancang dalam mempengaruhi massa sebagai pemilih
yang pada waktunya memberikan suara yang sangat menentukan para figur untuk
menang atau kalah.
Ibu Emi bisa dilihat sebagai perempuan berkarakter
pemenang. Ia mendominasi dalam memperlihatkan “peran sunyi” perpolitikan dalam
pentas NTT. Ia hadir di tengah terpaan korupsi yang menimpa cagub dan membiarkan pasangannya berurusan dengan
penegak hukum sebagai bagian penting dari proses pembelajaran. Masyarakat NTT
melihat momentum ini sebagai cara pembersihan diri dari ikatan korupsi yang
telah menstigma pada masyarakat NTT. Namun Emi, perempuan petarung hadir untuk
memperlihatkan diri sebagai figur yang jauh dari wilayah korupsi dan coba
berjuang dalam kesendirian untuk memenangkan pertarungan ini.
Bagi perempuan petarung, tantangan yang tengah
dihadapi tidaklah merapuhkan daya juang, melemahkan semangat dan nyali untuk
berjuang, melainkan justeru menaikkan andrenalin, membakarkan spirit berjuang
dalam jiwa para pecintanya. Di tengah kekelaman tewasnya seorang TKI asal
Timor, pada saat yang sama, seorang perempuan tampil di pentas politik NTT dan
mungkin kehadiran di tengah kegersangan dan kegelisahan politik, ia berani
menawarkan jalan baru yang membawa perubahan. Kehadiran perempuan selalu
membawa perubahan, tidak hanya dalam lingkup keluarga tetapi juga dalam ruang
demokrasi dan politik. Demokrasi NTT kini sedang mencari “rahim” sebenarnya,
yang hanya dimiliki oleh seorang perempuan. *** (Valery Kopong)
Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Umum Flores Pos
0 komentar:
Post a Comment