Thursday, March 29, 2018

Demokrasi NTT Mencari “Rahim”


Membaca arah perpolitikan dalam skala NTT menjelang Pilgub, masih  terlihat  tingkat ketidakstabilan para pemilih yang bakal menentukan sikap dan memberikan suara untuk calon Pilgub tertentu. Opini publik masih menerawang  dan pertanyaan penting yang sedang menghantui masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur mana yang pantas untuk dipilih? Seberapa jauh  komitmen Cagub dan Cawagub NTT dalam upaya untuk membangun masyarakat NTT yang miskin dan mengarah ke kehidupan yang lebih baik?

Basis pemilih untuk partai tertentu yang menyebar di NTT sangat beragam.  Artinya bahwa kedekatan masyarakat dengan partai tertentu, belum tentu pasti bahwa pemilih yang bersangkutan bisa memilih figur yang diusung oleh partai yang diidolakan masyarakat tersebut. Kalau penulis bandingkan dengan basis pemilih di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,  umumnya para pemilih memiliki basis kuat berdasarkan kecintaannya pada partai tertentu.

PDIP menjadi basis utama para pemilih yang mendiami wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Faktor apa yang berpengaruh pada para pemilih sehingga menjatuhkan pilihan pada PDIP dan bahkan saking merasa memiliki partai berlambang banteng bermoncong putih ini, sehingga siapapun figur yang diusung pada setiap kali pilkada tidak terlalu berpengaruh pada iming-iming partai lain. Proses untuk menjadikan partai sebagai partai idola, ternyata melewati jalan panjang. Bahwa pada masa Orde Baru, PDI, sebelum menjadi PDIP, mendapat simpati yang luar biasa karena ketika disingkirkan dengan  cara yang tidak elok oleh rezim Orde Baru, tetap memperlihatkan keteguhan dan keberpihakkan pada masyarakat kecil.  Konsistensi PDIP dalam melawan rezim Orde Baru dan kecintaan pada “wong cilik” menjadikan  partai ini selalu ada di hati masyarakat.    

Mempertimbangkan Basis Pemilih Perempuan
                Ada beberapa aspek yang selalu menjadi pertimbangan sebelum orang menjatuhkan pilihan, baik pada partai maupun figur yang menjadi calon pemimpin, yakni adanya kesamaan suku, agama, etnis dan tak kalah penting adalah kesamaan gender. Penulis sengaja mengangkat pemilih perempuan karena dalam konstelasi politik lokal NTT, satu-satunya calon yang bertarung sebagai cawagub berasal dari kaum perempuan. Selama dalam perhelatan demokrasi di NTT, perempuan selalu menjadi penonton pasif ditengah riuhnya pesta demokrasi. Pada momentum ini, seorang cawagub tampil di pentas politik lokal dan tidak sekedar meramaikan perhelatan itu tetapi berjuang untuk memenangkan perhelatan bergengsi itu.

Isu gender menjadi daya tarik dan bahkan bisa menghipnotis para pemilih terutama kaum perempuan. Perempuan mulai sadar bahwa kepemimpinan selama ini dipegang oleh kaum laki-laki belum membawa perubahan yang signifikan. Karena itu pesta demokrasi pada tahun ini menjadi momentum bersejarah bagi kebangkitan kaum perempuan NTT. Memang, seorang perempuan petarung, sedang membangun strategi politik di tengah kesendirian. Walaupun cagub yang diusung PDIP terkena OTT, tetapi belum tentu bahwa basis pemilih terutama kaum perempuan tersandera oleh peristiwa ini.

Penulis melihat raut wajah cawagub pada media sosial ketika mendaftarkan diri ke KPUD Provinsi NTT, sempat meneteskan air mata. Tetesan air mata adalah titik awal memulai perjuangan dan bukannya menyurutkan semangat bertarung. Karena itu lengkaplah apa yang selalu didengungkan oleh para kader partai, “kami tidak akan mundur selangkahpun.” Itu berarti bahwa perjuangan untuk memenangkan perhelatan demokrasi ini bukan terletak pada figur yang sedang bertarung, melainkan terletak pada bagaimana mekanisme kerja mesin partai dalam merebut simpati para pemilih. 

Perjuangan Ibu Emi dalam pertarungan ini mengingatkan kita akan perjuangan Doglas McArthur, komandan gugus tempur Amerika Serikat di Pasifik yang terdesak dan mengalami kekalahan yang menyakitkan dalam perang Asia Timur Raya di Filipina. Ia pernah berujar, “I shall return!” (Saya akan kembali!). Sang panglima membuktikan kebenaran dan kekuatan kata-katanya. Dia kembali untuk meluluh-lantakkan kekuatan militer Jepang di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara.

Menyandingkan pertempuran dan perhelatan demokrasi memiliki kemiripan, yakni sama-sama membangun strategi dan berupaya untuk mematahkan lawan. Kalau dalam pertempuran fisik, akhir dari sebuah perjuangan menawarkan maut dan kekalahan telak, namun dalam pertarungan politik, akhir dari pertarungan adalah “menang atau kalah.” Dua kata ini, “menang atau kalah” menjadi kata kunci dalam berjuang untuk merebut kursi kekuasaan. Banyak cara dan strategi yang sedang dirancang dalam mempengaruhi massa sebagai pemilih yang pada waktunya memberikan suara yang sangat menentukan para figur untuk menang atau kalah.

Ibu Emi bisa dilihat sebagai perempuan berkarakter pemenang. Ia mendominasi dalam memperlihatkan “peran sunyi” perpolitikan dalam pentas NTT. Ia hadir di tengah terpaan korupsi yang menimpa cagub  dan membiarkan pasangannya berurusan dengan penegak hukum sebagai bagian penting dari proses pembelajaran. Masyarakat NTT melihat momentum ini sebagai cara pembersihan diri dari ikatan korupsi yang telah menstigma pada masyarakat NTT. Namun Emi, perempuan petarung hadir untuk memperlihatkan diri sebagai figur yang jauh dari wilayah korupsi dan coba berjuang dalam kesendirian untuk memenangkan pertarungan ini.

Bagi perempuan petarung, tantangan yang tengah dihadapi tidaklah merapuhkan daya juang, melemahkan semangat dan nyali untuk berjuang, melainkan justeru menaikkan andrenalin, membakarkan spirit berjuang dalam jiwa para pecintanya. Di tengah kekelaman tewasnya seorang TKI asal Timor, pada saat yang sama, seorang perempuan tampil di pentas politik NTT dan mungkin kehadiran di tengah kegersangan dan kegelisahan politik, ia berani menawarkan jalan baru yang membawa perubahan. Kehadiran perempuan selalu membawa perubahan, tidak hanya dalam lingkup keluarga tetapi juga dalam ruang demokrasi dan politik. Demokrasi NTT kini sedang mencari “rahim” sebenarnya, yang hanya dimiliki oleh seorang perempuan. *** (Valery Kopong)

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Umum Flores Pos

0 komentar: