Thursday, June 19, 2008

Jalan


Jalan
Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan, ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, jalan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak.
Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar bagaimana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau mengikuti rasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus mengalihkan fokus.
Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivitas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan Le Spleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting dalam telaah ilmu sosial dan filsafat, karena ia dapat menggambarkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi modern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie seakan-akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Paris mengikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua dasawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai, dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar mempertahankan yang sepele, percuma, lemah, dan kuno. Sang flâneur, seraya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi sekaligus memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara menakjubkan dan mencemaskan itu.
Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama dengan flâneurie. Di sini kontras antara kota dan udik bisa begitu besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-kota. Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Jakarta tak cuma mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Rancangan yang rasional, ketertiban yang efisien, kapital yang mencoba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-rugi, tak henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah yang datang dari desa-desa, barisan yang tiap kali kalah tapi tiap kali menyerbu kembali.
Kota ini sendiri bukanlah tauladan rasionalitas. Birokrasi begitu korup dan tak becus hingga planologi tak ada artinya. Kelas menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan begitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang terjadi, melainkan involusi.
Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: dalam ruang yang sempit, dalam pekerjaan yang terbatas, dalam milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup dalam keadaan berjejal.
Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah ”kluyuran”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi di sana, terpisah tapi terpaut.
Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat, hingga mereka yang duduk di meja VIP (dengan gelas berisi anggur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke sela-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band, pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan berdandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata. Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna ”jejalan”.
Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering melihatnya, setidaknya di berita televisi dan koran. Tapi itu justru menunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang eksotis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita menemukannya tiap kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah sebuah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin dan kawan-kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan hal yang menakjubkan.
Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap apa yang tak menakjubkan yang kita temukan di tiap sudut. Realisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas” bukanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia dihadirkan oleh bahasa dan percakapan. Maka di pentas, kluyuran merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi bentuk jadi sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka peluang bagi dunia yang tampil sebagai beda, juga ketika ia seakan-akan menampilkan yang itu-itu juga.
Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamasya yang tertangkap secara panoptik, bukan gambaran utuh yang hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar untuk mengikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang yang mencemooh perubahan budaya dalam ”urbanisasi”.
Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu statemen, misalnya sebuah protes sosial karena kemiskinan. Pidato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang diputar tak mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri dibacakan, tapi si pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak menimbulkan perubahan di pentas itu.
Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan yang banal, antara teriak dan sikap acuh tak acuh, memantulkan kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman, sebuah khaos dalam perhatian.
Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran dalam hidup sehari-hari, seakan-akan berbicara tentang jalanan kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota memungut fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian mengaktualisasikannya dalam rahasia”.
~Majalah Tempo Edisi. 15/XXXVII/02 - 8 Juni 2008~

0 komentar: