Wednesday, September 7, 2011

Eureka! Imam yang Mencari Wajahnya

Oleh: Josh Kokoh Prihatanto Pr

Archimedes, sekitar 200 SM, dipanggil Raja Yunani. Raja meminta Archimedes agar bisa membuktikan volume dan keaslian mahkota raja. Suatu hari ia begitu bingung hingga mencemplungkan diri ke bak mandi yang penuh air. Waktu itu ilham pencerahan turun: bukankah volume air yang luber sama dengan volume tubuhku? Ia menemukan rumus ’Berat Jenis’ guna menjawab tantangan raja. Ia segera meloncat dari bak mandi dan berlari kegirangan sambil berteriak-teriak, ’Eureka, eureka, eureka!’ (sudah kutemukan!).

Setiap orang dalam setiap komunitas kerap berhasrat ber-eureka: menemukan pelbagai core values, semacam nilai dasar bersama yang melandasi isi hati (core, cordis) setiap anggotanya. Nilai-nilai dasar ini membimbing para anggotanya untuk memahami apa yang paling penting, bagaimana memperlakukan orang lain dan bagaimana cara bekerja bersama. Nilai-nilai dasar ini menjadi dasar budaya sebuah komunitas, juga komunitas para imam, karena bukankah para imam adalah alter christi, tapi juga sekaligus seseorang yang terpenjara dalam kelemahan insaninya? (Ibrani 5:2).

Berangkat dari hal inilah, di Wisma Erema, Cisarua, 6-8 Juni 2011, Uskup Agung Jakarta Mgr I. Suharyo bersama 40-an imam KAJ berproses bersama: mencari dan mengadakan refleksi pendalaman Arah Dasar Pastoral dan Landasan Nilai Budaya Imam KAJ yang dipandu Didiek Dwinarmiyadi dkk dari KOMPAS, karena bukankah tepat seperti kata Socrates, ”Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani?”

Menyitir semboyan Uskup Agung Jakarta,” Serviens Domino Cum Omni Humilitate” (Aku Melayani Tuhan Dengan Segala Rendah Hati, Kisah Para Rasul 20:19), muncullah sebuah core values, nilai dasar yang ditemukan dan dijadikan sebagai wajah para imam yang berkarya di KAJ, yakni: ”HAMBA”. Bukankah Yesus sendiri telah mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia? (Filipi 2:7). Kata ”HAMBA” ini sendiri merupakan sebuah akronim dari lima dimensi wajah imam yang mau ditampil-kenangkan, yakni: Hangat, Andal, Misioner, Bahagia dan Andil.

Hangat

Dasar kehangatan adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:7-12). Hangat di sini bukan sekadar keramahan kata dan kemurahan tindakan. Bukan pula sekadar kemanisan senyum dan kehangatan pandangan. Hangat itu sendiri lebih pada suatu sikap imam yang tulus dan bersahabat: akrab-dekat, mendukung, dan meneguhkan orang lain. Sikap hangat ini bisa dipetakan menjadi empat tataran sederhana: hangat terhadap Allah, diri sendiri, orang lain, dan terhadap lingkungan hidup.

Diri sendiri: menerima, merawat, mengolah, dan mengembangkan potensi (rohani, jasmani) sebagai warga Gereja, warga negara, warga dunia.

Orang lain: menerima dengan aktif, merawat, menolong, berlaku ramah, bersetia kawan, mengembangkan potensi, memajukan martabat, memperjuangkan HAM.

Lingkungan: mengenal, menerima (tidak merusak), melestarikan alam, baik secara personal, sosial, maupun legal (politis).

Allah: dekat dan mempercayai, terbuka dan terarah, bersyukur sekaligus memuliakan Allah, mengandalkan pun bertaut pada Allah, rela dibentuk oleh Allah

Buah kehangatan sendiri adalah persaudaraan sejati. Kehangatan itu sendiri bersumber dan berbuah pada kasih. Dan, ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (1 Kor 13:4-5).

Andal

Andal (baik dalam persaudaraan/intern, maupun pengutusan/extern) merupakan rentangan bersambung dari availabilitas (kesiapsediaan) sampai dengan akuntabilitas (pertanggungjawaban). Setiap imam diharapkan memiliki kecakapan pastoral, serta mampu mengelola diri dengan segenap kemampuan dan kelemahan diri, peka dan tanggap zaman (bukan malahan gagap zaman). Gereja akan hadir secara nyata kalau para imamnya juga mau memperbarui diri terus-menerus. Setiap imam diharapkan menjadi hamba setia, yang berkomitmen dan andal mengembangkan semua talenta. Spiritualitas yang bisa dihayati adalah: dialektis. Di satu pihak, berakar dalam hidup iman dan doa, sekaligus pada saat yang sama, dituntut dalam pelayanan yang bisa membaca tanda-tanda zaman dan bahasa masyarakat.

Misioner

Seorang imam mestinya sehati sejiwa (cor unum et anima una) dengan gerak keuskupan dan Gerejanya. Mengacu pada pesan Kardinal Darmojuwono, seorang imam (dalam hal ini: imam Diosesan) adalah imamnya uskup, uskup yang tidak punya imam ibarat macan tanpa gigi. Maka, setiap imam diharapkan semakin berakar dalam Kristus, Sang Misionaris Agung; semakin bertumbuh sekaligus berdaya tahan dalam kesetiaan yang kreatif kepada uskup dan pembesarnya (creative fidelity); semakin berbuah dalam karya pelayanan yang lebih bermutu, dan siap sedia untuk diutus. Kata Yesus, ”Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Lk 9:62).

Bahagia

Pengalaman bersyukur atas rahmat imamat dan kesadaran untuk mau berbagi pengalaman syukur inilah dimensi keempat dari spiritualitas ”HAMBA”. Belajar bersyukur juga dalam penderitaan dan kerapuhan, karena Tuhan sebenarnya dapat membuat para imam bersyukur tanpa sebab: ”benar, mengikuti-Mu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah KAU lewati….” Setiap imam pun diajak semakin mudah bersyukur dan takjub akan pelbagai karya Tuhan lewat umatnya, karena bukankah hati memang selalu punya alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata Blaise Pascal, ”le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”. Jelasnya, setiap imam diajak menghayati imamat dengan bahagia dan menjalani karya dengan gembira.

Andil

Setiap imam diharapkan terlibat tanpa terlipat dalam pergulatan dan suka duka Gereja dan dunianya. Tugas seorang imam adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antarmanusia yang membentuk Gereja. Dari peran ini lahir peran kedua yang tidak kalah penting, yakni andil/keterlibatan. Seorang imam perlu melakukan keterlibatan di tengah carut-marut kehidupan yang kerap hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan, karena memang tak punya sesuatu.

Seorang imam perlu memiliki keterlibatan sekaligus keberpihakan, karena Yesus yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Itu tak berarti seorang imam lalu melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini, karena jelaslah menjadi seorang imam tidak hanya sibuk pada urusan altar (dimensi vertikal) tapi juga ikut terlibat di tengah pasar (dimensi horisontal).

Mengacu pada para Bapa Konsili, di sinilah perlu semacam concientization: penyadaran terus-menerus, bahwa para imam diharapkan menjadi mediator concientization, sebuah komunitas yang menunjang dialog antara altar dan pasar, antara Gereja dan dunianya (Gravissimum Educationis 8). Karl Rahner, dalam A Faith that Loves the Earth, 77-83, menegaskan bahwa Gereja mesti terlibat dalam kenyataan harian karena benarlah Gereja tidak hanya ada di awang-awang. Mengambil istilah Martin Buber, setiap imam harus berani mengambil keputusan untuk ’berbalik’, mengubah arah (turning-reversal). Para imam jangan malah asyik dengan ”armchair spirituality”, ongkang-ongkang kaki, puas dengan merenung-menung saja. Keberpihakan menjadi kata kunci, sehingga Gereja sungguh menjadi kota di atas gunung dan cahaya di atas kaki dian bagi dunianya (Mat 5:13).

Akhirnya, seperti pernyataan terakhir Mgr Suharyo kepada para imamnya di Erema, ”Bicaralah, hambamu mendengarkan”, semoga Gereja lewat para imamnya yang mau memaknai spiritualitas ”HAMBA”, juga semakin menampil-kenangkan wajah Gereja yang mendengarkan. Yang jelas, di situlah harapannya, In nomine Dei feliciter – dalam nama Tuhan semoga berbuah. Eureka!!!

Penulis adalah imam Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Paroki Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara

No comments: