Wednesday, September 7, 2011

Mendidik Manusia Berkualitas atau Pembohong?

Oleh: Y.P. Priyanahadi


Masih segar dalam ingatan kita adanya sebuah kasus tragis yang dialami oleh sebuah keluarga di Surabaya, belum lama ini. Mereka diusir masyarakat dari kampungnya karena melapor ke walikota soal penyontekan massal saat mengerjakan soal ujian yang direstui sebuah Sekolah Dasar, tempat anaknya menuntut ilmu. Anak dan orangtua yang jujur tersebut malah mendapat celaka. Ajur/kojur jadi bubur.

Itu hanyalah salah satu dari banyak tragedi yang terjadi di sekolah pada masa akhir ujian kenaikan kelas. Banyak guru pusing karena harus menyerahkan nilai jadi untuk ditulis di rapor yang tidak sesuai dengan kemampuan atau prestasi belajar siswa. Anak yang kurang pandai justru akan diberi nilai sangat bagus supaya kalau dimasukkan dalam rumus penentuan kenaikan/kelulusan bisa membuat siswa itu naik atau lulus. Guru yang berpegang pada objektivitas dan kejujuran, tak mau menambah atau tepatnya mengubah nilai, akan dikatakan tidak solider dan tak punya hati. Semua takut, paham, dan maklum.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ujian berarti suatu tindakan untuk mendapatkan gambaran kualitas sekolah atau penyelenggara pendidikan itu, juga memberikan gambaran kualitas (pemerintah) daerah yang melingkupi sekolah itu. Bahkan, akhirnya orang akan sampai pada mengetahui kualitas (penyelenggara) negara.

Kita menangkap fakta bahwa ujian itu menakutkan. Siswa takut tidak lulus, orangtua takut anaknya tidak lulus. Sekolah pun takut kalau banyak anak yang tidak lulus dan mendapat nama jelek di mata masyarakat dan pemerintah. Untuk sekolah swasta, takut kalau akhirnya sekolahnya tidak laku, tak ada orang mau menyekolahkan anaknya di situ.

Pemerintah daerah /Dinas Pendidikan takut dianggap tidak becus. Menteri takut dianggap gagal mengangkat pendidikan bangsanya, negara pun takut kalau dikatakan sebagai negara orang bodoh. Begitulah ujian menebar ketakutan struktural secara nasional.

Untuk mengatasi rasa takut itu, banyak dilakukan usaha. Baik usaha positif, namun juga dengan cara negatif. Para calon peserta ujian belajar keras non stop, kalau perlu tak usah istirahat, hilangkan jadwal bermain, berolah raga, rekreasi. Semua waktu diisi dengan satu kegiatan belajar. Mereka juga mengikuti bimbingan belajar, tak hanya di satu tempat, tetapi di banyak tempat; guru les privat pun didatangkan ke rumah. Secara rohani pun dilakukan untuk mengatasi ketakutan. Ziarah ke tempat suci, ke makam leluhur, untuk mohon berkat dan restu. Misa, istiqosah pun digelar di sekolah untuk mohon berkat Tuhan. Orangtua pun mengundang umat seagama setempat untuk dimintai tolong supaya mendoakannya. Usaha rohani itu dilakukan untuk memberi ketenangan batin dan menghilangkan ketakutan.

Apakah dengan usaha positif itu, rasa takut hilang? Tidak juga. Ujian tetap menakutkan. Maka, ada yang menambah usaha lain, sayangnya dengan cara negatif: siswa yang akan menempuh ujian menyiapkan catatan kecil, entah di lipatan kertas entah di ponsel yang dimilikinya, bila ada kesempatan (saat izin ke WC, penjaga lengah atau ngantuk saat menjaga ujian) catatan dibuka. Mereka juga berupaya mendapatkan (bocoran) soal ujian, bahkan berusaha setengah mati untuk mendapatkan (bocoran) jawaban soal yang diperjual-belikan. Sekolah juga berusaha mencari jalan keluar. Ada sekolah yang menyiapkan jawaban dan siswa diminta untuk menyebarkan contekan itu ke siswa lain.

Ada usaha lain, dengan memberi tambahan jam belajar di sekolah, mengabaikan mata pelajaran lain yang tidak dipakai untuk ujian, memberikan nilai tambahan yang signifikan (baca: tak masuk akal) sehingga kalau nilai itu dimasukkan rumus kriteria kelulusan atau kenaikan yang telah ditetapkan siswa lulus atau naik kelas. guru dimintai pengertiannya untuk mengorbankan objektivitasnya, karena nilai yang diberikan bukan nilai sesungguhnya. Guru dihimbau untuk rela melakukan itu semua (ternyata, mau juga) untuk menghilangkan ketakutan kolektif di sekolah itu.

Parahnya lagi, pemerintah pun secara terselubung merestui kebijaksanaan sekolah seperti itu. Maka, sebenarnya kebohongan itu menjadi kebohongan struktural. Demikianlah ujian telah menimbulkan ketakutan struktural dan diobati dengan kebohongan/ketidakjujuran struktural yang bersifat nasional.

Hasil akhir dari semuanya bisa diduga, yakni pendidikan yang menghasilkan generasi pem bohong, koruptor, penipu, dan seterusnya. Relakah kita?

Bagaimana sekolah Katolik? Maukah menjadi pionir mengatasi masalah ini? Ataukah sekolah Katolik juga tetap menjadi pendukung penyebaran pendidikan kebohongan di negeri ini? Tentu saja tidak semua sekolah Katolik ikut berbohong, tetapi baiklah kalau sekolah Katolik sungguh bertanya pada diri sendiri, di mana posisi masing-masing. Setuju dengan kejujuran atau menjadi pro antikejujuran dan menjadi pendukung kebohongan? Ikut andil dalam membangun bangsa atau andil dalam menghancurkan bangsa? Sejauh mana penyelenggaraan sekolah Katolik melaksanakan cita-cita Gereja?

Kini, sekolah akan memasuki tahun ajaran baru. Semangat dan roh apa yang akan menuntun sekolah Katolik? Pertanyaan ini biarlah menjadi pertanyaan terbuka untuk didiskusikan para penyelenggara sekolah dan para pemimpin Gereja. Di tingkat KWI ada Komisi Pendidikan, secara nasional ada MNPK, di keuskupan ada MPK, ada Komisi Pendidikan bahkan sampai tingkat paroki, ada kelompok umat peduli pendidikan. Kita semua pasti menunggu apa kata mereka tentang masalah gawat ini, dan apa langkah mereka ke depan.

Penulis adalah mantan Direktur Redaksi Penerbit Kanisius Yogyakarta

No comments: