Kamis, 14 Maret 2013 | 02:36 WIB
Hugo Chavez sebelum dan sesudah
wafat mendapat perhatian istimewa. Alasan utama: wawasan dan praktik politiknya
merupakan tanda perbantahan dari sebuah tatanan yang peninggalannya adalah
sebuah mosaik sosialisme kerakyatan.
Eduardo Galeano, penulis prestisius
asal Uruguay, pernah menjuluki Amerika Latin sebagai benua dengan urat nadi
yang terbuka. Sebuah metafora tentang luka lama benua ini sebagai akibat penjajahan
yang ragamnya sekarang disebut neokolonialisme, penjajahan baru. Istilah ini
terhubung dengan kondisi Amerika Latin: ibarat sapi perah yang susunya, hasil
pertumbuhan ekonomi, dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional.
Venezuela bukan kekecualian. Akibat
rontoknya boom minyak pada 1970-an, negara vino tinto ini mengalami krisis
ekonomi. Presiden Andres Perez waktu itu mengikuti resep dogmatis IMF yang
bukan solusi, melainkan problem. Pada akhirnya yang meningkat adalah angka
kemiskinan yang memprihatinkan, sementara perdagangan minyak Venezu- ela di
tangan perusahaan asing.
Runtuhnya ekonomi mendapat protes
masyarakat yang berakhir dengan kudeta militer yang mengusung Chavez pada 1993.
Meritokrasi Chavez untuk menyembuhkan urat nadi yang terbuka patut dicemburui
pemimpin negara apa pun yang menganggap diri pujangga ekonomi kapitalis.
Menurut laporan Komisi PBB bagi
Ekonomi Amerika Latin (CEPAL), Venezuela berhasil menurunkan 44 persen angka
kemiskinan: 5 juta jiwa dari total penduduk tidak lagi miskin. Dalam hal
kesadaran berdemokrasi, partisipasi elektoral mencapai lebih dari 88 persen
penduduk, yang pada pemilu terakhir 55 persen suara untuk Chavez.
Menyangkut anggaran dana sosial,
negara-negara sosial demokrat Eropa tak bisa menyaingi Venezuela yang
mengalokasikan 60 persen dari total produk domestik bruto. Sebanyak 14 juta
penduduk mendapat subsidi pangan, dan tahun ini 61 persen penduduk membeli
pangan di pusat- pusat perbelanjaan milik negara. Selama 2011 Chavez
menyerahkan 146.022 rumah kepada penduduk paling miskin.
Rekam jejak terpuji di atas
menjadikan Chavez seorang pemimpin politik yang diterima di kalangan rakyat
kecil dan berhasil memenangi pemilu empat kali beruntun. Sangat lumrah bila ada
kelompok yang punya barometer politik ekonomi yang berseberangan dengannya,
terutama yang kepentingan mereka dirugikan karena negara mengambil alih kendali
PDVSA, perusahaan minyak Venezuela.
Sosialisme kerakyatan
Chavez pernah mengatakan, ”Tak bisa
dimengerti bagaimana dapat mendistribusikan kekayaan negara kalau institusi tak
diubah. Apakah ada alternatif lain?” Pertanyaan yang dituntun oleh jawaban yang
hendak dicari. Model negara sosialis dan sosialisme kerakyatan merupakan dua
pokok penting yang harus tepat diartikulasi menjadi jawaban alternatif terhadap
ekonomi laissez- faire.
Negara dengan para pemimpinnya yang
dipilih rakyat untuk memerintah atas nama rakyat tidak melayani kepentingan
perusahaan-perusahaan transnasional, melainkan melayani rakyat. Rancang bangun
sebuah ekonomi sosial pertama-tama ditempuh Chavez adalah dengan merombak
institusi negara yang birokratis dan koruptif menjadi negara sosialis yang
kerakyatan. Dalam tahun-tahun pertama, Chavez tak mudah menempuh jalan ini,
bahkan kudeta sekelompok militer yang didukung oposisi hampir menjatuhkannya.
Peran negara tidak seperti dalam
paham sosialisme terpimpin dan doktriner (model sosialisme bekas Uni Soviet),
tetapi memberi peran yang lebih besar, dinamis, dan relevan kepada pemerintah
untuk mengatur ekonomi. Dengan PDVSA sebagai jantung ekonomi, Chavez memilih
cara klasik: menaikkan permintaan agregat. Artinya, negara mengeluarkan banyak
anggaran untuk sektor-sektor pembangunan padat karya sehingga meningkatkan
lapangan kerja dan pendapatan per kapita. Perusahaan swasta dapat untung juga
karena saat konsumsi meningkat (faktor yang sangat bergantung pada pendapatan
per kapita), permintaan akan barang dan jasa juga meningkat. Akhirnya produksi
terdongkrak.
Di samping itu, meningkatnya
anggaran dana sosial sangat membantu masyarakat miskin. Politik sosial seperti
ini memberi warna khusus bagi Chavez karena mayoritas orang miskin di banyak
negara maju sekalipun tak disentuh kebijakan ekonomi pemerintah.
Faktor rakyat sangat menentukan
dalam ekonomi sosialis. Selama politik ekonomi yang berciri karitatif dan
asistensialistis merupakan pilihan utama, kega- galan mudah diprediksi sebab
yang hilang ialah gejala dari kemiskinan, bukan sebabnya. Chavez
mengorganisasikan koperasi produktif yang dibantu kredit lunak untuk
memberantas sebab kemiskinan. Ke dalam koperasi itu demokratis, ke luar
kompetitif sesuai dengan hukum pasar.
Peran pemerintah dan rakyat yang
proaktif dalam produksi dan distribusi barang dan jasa sungguh merupakan mosaik
ekonomi sosial kerakyatan. Indonesia mungkin tak dapat meniru model ini karena
banyak sebab. Di anta- ranya mental kerakyatan yang minim dari pemerintah.
Dengan sistem pemerintah yang sangat parlementaristis, kekuasaan eksekutif ke
dalam takut akan teka- nan primordial sejumlah golongan; ke luar berkiblat ke
negara Barat dan bangsa kita terbiasa dengan apa yang ada.
Sebab kedua adalah kurangnya pengalaman signifikan bagai- mana hidup cukup
sejahtera. Kecuali sampai akhir 1980-an, ekonomi Indonesia mengalami
pertumbuhan secara akumulatif, tetapi ekonomi yang trickle down seperti ini tak
menyentuh periuk nasi orang miskin. Berbeda dengan Venezuela, sebelum krisis
minyak, pertumbuhan ekonomi berkarakter sosial, dan masyarakat tahu bagaimana
dampak positif ekonomi kerakyatan. Hal ini menjadi pembelajaran kolektif yang
ujungnya adalah revolusi sosial melawan pemerintah koruptif selama krisis
minyak.
Mungkin mosaik sosialisme kerakyatan Venezuela bisa menjadi inspirasi bagi
Pemerintah Indonesia mendatang. Namun, ini bergantung sepenuhnya kepada rakyat
yang berwawasan sosialis memilih orang yang berpihak kepada kaum jelata.
Martin Bhisu SVD Rohaniwan: Berkarya di Paraguay
0 komentar:
Post a Comment