(Sumber inspirasi:
Yoh.11:1-45)
Kematian
Lazarus, potret ketakberdayaan manusia
miskin. Lazarus menjadi simbol orang-orang tak berpunya, meninggal dalam
kesendirian, dalam kesunyian. Semasa
hidupnya, kehidupan Lazarus jauh dari sentuhan kemewahan bahkan diperlakukan
secara tidak adil oleh orang kaya. Ia makan dari rema-rema yang jatuh dari meja
si kaya raya. Meja orang kaya dengan Lazarus yang ada di bawahnya, menunjukkan
jarak pemisah yang jauh, sulit dipadu dalam satu kesepakatan.
Kehidupannya
penuh dengan derita dan perjuangan, dan pada saat meninggal pun sepertinya jauh dari pantauan
masyarakat sekitar. Yesus yang sebelumnya berada bersama mereka tetapi pada
menjelang kematiannya, Yesus malah meninggalkan dia. Secara manusiawi dapat
dikatakan bahwa di sini memunculkan unsur kesengajaan Yesus. Yesus sengaja,
membiarkan Lazarus meninggal, mengalami pembaringan dalam kasih Allah. Allah
mengambil alih seluruh hidupnya yang penuh dengan derita. Kematiannya di dunia
menjadi tanda pelepasan beban dan keterikatannya dengan simpul keangkuhan
orang-orang kaya.
Tetapi
apakah kematiannya, untuk seterusnya ia pamit dari dunia ini dan tak pulang
lagi? Mari kita membangunkan Lazarus yang sedang tidur. Inilah ajakan Yesus
kepada para murid-Nya untuk melihat
Lazarus yang tertidur. Apa yang dikatakan Yesus dimengerti secara utuh
atau harafiah? Untuk apa kita pergi membangunkannya? Karena suatu saat ia akan bangun sendiri. Ini
terjadi kesalahan persepsi antara Yesus dan murid-murid-Nya. Di sini, Yesus
seakan mengajak para murid untuk tenggelam memahami arti dari rahasia tidur
dalam pulasan abadi. Yesus sengaja memperlihatkan sekaligus menunjukkan
ke-Allahan-Nya pada para murid tentang apa yang akan dilakukan-Nya.
Yesus
selalu memanfaatkan ketepatan “saat” untuk
memproklamirkan keallahan-Nya melalui mujizat. Tentunya Yesus tidak
mengadakan “show” religius tetapi Ia menyatakan kepenuhan kerajaan Allah dalam
diri orang-orang miskin. Pembangkitan Lazarus dari alam maut menjadi tanda
pemerdekaan orang-orang yang tertindas dalam hidupnya setelah mengalami
pengalaman Allah selama kematiannya sesaat. Di sini jelas memperlihatkan bahwa
Allah sedang “memapah” umat-Nya yang telah derita dalam hidup dan tenggelam
dalam dasar maut. Allah tidak membiarkan ia menjerit dalam kesendirian. Jeritan
permintaan akan belas kasih juga datang dari Maria dan Marta, saudaranya.
“Seandainya
Tuhan masih ada di sini, saudaraku pasti tidak akan meninggal.” Inilah rentetan
penggalan harapan yang keluar dari mulut saudara Lazarus. Harapan akan
“kehadiran” Yesus menjadi tanda untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri.
Kehadiran Yesus menjadi tanda legitimasi keberadaan atau eksistensi manusia.
Tanpa kehadiran Yesus, orang merasa kehidupannya seolah-olah mengalami kesia-siaan.
Kecemasan ini pada akhirnya terhapus oleh “peran” dan campur tangan Allah yang
menyata dalam diri Yesus. Allah memperlihatkan mujizat lewat Yesus dengan
membangkitkan Lazarus dari alam maut. Maut tunduk pada kuasa Yesus dan
membiarkan kehidupan baru bersemi kembali dalam diri Lazarus.
Lazarus
hidup miskin secara materi tetapi bukan
menjadi halangan baginya untuk menerima kemurahan dan kemahakuasaan Allah. Kebangkitan
Lazarus memperlihatkan betapa Allah masih memiliki rasa peduli terhadap mereka
yang tersisihkan yang diwakili oleh Lazarus. “Kemiskinan terburuk zaman ini
adalah orang-orang merasa tidak dicintai
lagi, jauh dari sentuhan kemanusiaan.” ***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment