Tanggal 18 dan 25 November 2012 yang lalu, penulis dan beberapa anggota dewan Paroki Santo
Gregorius-Tangerang mengikuti rapat karya yang diselenggarakan oleh Paroki Ibu Teresa
Cikarang. Rapat karya yang diselenggarakan
ini merupakan momentum untuk berefleksi terdapat program yang telah terlaksana
dan menyusun program baru yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya. Keikutsertaan kami dari
Tangerang tidak lain adalah mau mengadakan sebuah studi banding dan mau belajar
tentang kehidupan di Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang. Memang kedengaran aneh, di Gereja kok ada studi
banding?
Studi banding tidak hanya dilakukan oleh elit birokrat saja tetapi juga dalam
lingkup Gereja, kegiatan pembelajaran seperti ini merupakan hal yang penting
karena dalam studi banding itu, kita bisa belajar, bagaimana membuat program,
penataan pola pastoral yang benar-benar menyentuh umat. Paroki kami (Santo
Gregorius-Tangerang) masih baru, diresmikan tanggal 23 september 2012. Karena
itu sangat wajar kalau anggota dewan paroki mencoba untuk belajar dari paroki
lain sebagai cara sederhana dalam proses pembenahan diri dan pada akhirnya
menumbuhkan iman umat akan Yesus sendiri.
Ada
beberapa keunikan dari Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, salah satunya adalah
menghidupkan peran umat dalam kehidupan menggereja. Para pengurus Gereja (dewan paroki) hanya berperan sebagai fasilitator sedangkan
yang bergerak penuh adalah umat sendiri. Sistem yang berlaku adalah piramida
terbalik, artinya bahwa peran serta umat berada pada posisi yang teratas,
sedangkan dewan paroki berada di tengah-tengah umat. Memang, mengupayakan tumbuh-kembangnya kehidupan umat dengan pola seperti ini sangat
sulit. Mengapa sulit? Karena kondisi seperti ini memerlukan penataan dan persiapan secara matang.
Kalau
saya mengamati, kehadiran sang gembala (pastor) sangat penting karena
memberikan spirit dan nuasa baru dalam hidup menggereja. Gereja menyadari bahwa Gereja bisa hidup karena kekuatan keluarga
yang membentuk lingkungan dan pada akhirnya menyokong kehidupan sebuah paroki. Maka langkah utama yang ditempuh adalah membangun
kekuatan umat basis yang dimulai dari keluarga.
Menghidupkan Spiritualitas Pelindung
Ciri
khas dalam kehidupan menggeraja secara umum, yakni memiliki pelindung, entahkah
nama pelindung untuk pribadi maupun institusi religius. Tetapi menjadi
pertanyaan, seberapa jauh, orang menghidupkan spiritualitas atau semangat hidup
dari sang pelindung? Jangankan menghidupkan spiritualitas, mengetahui riwayat
hidup sang pelindung, mungkin juga belum. Tetapi gejala ini sudah ada dalam
kehidupan kita. Kita dengan seenaknya mencari dan menggunakan santo-santa
pelindung namun kurang mendalami kehidupan mereka.
Untuk
apa mendalami spiritualitas hidup mereka? Seberapa pengaruhnya terhadap
individu ataupun instansi religius yang menggunakan nama pelindung
tersebut? Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, sungguh-sungguh menghidupi semangat
hidup pelindung paroki. Hal ini jelas
terlihat dalam rumusan visi dan misi paroki. Visi Gereja Paroki Ibu Teresa
Cikarang merupakan suatu paguyuban umat beriman yang mau berbagi dan merakyat.
Sedangkan misinya adalah Gereja Paroki Ibu Teresa berkehendak untuk membangun
paguyuban umat beriman (komunitas basis beriman penuh harapan) dalam ikatan
persaudaraan sejati murid-murid Kristus, yang dijiwai oleh Roh Kudus, berani
berkata “cukup” kepada godaan duniawi, mempunyai spiritualitas berbagi dan jiwa
merakyat (inkarnatoris) sehingga kehadirannya merupakan rahmat bagi masyarakat
sekitar.
Visi dan misi yang digulirkan
itu memiliki landasan spiritual yang sangat kuat dengan mencontohkan apa yang
dilakukan oleh Ibu Teresa dari Calcuta semasa hidupnya dan kesalehan sosial
yang telah ditunjukkan kepada dunia. Tetapi lebih dari itu, Gereja dalam pola
pastoralnya berusaha mengikuti teladan Yesus Kristus sebagai Gembala yang baik
(bdk. Yoh.10). Gembala yang selalu murah hati, penuh kasih dan mencari domba
yang hilang serta menyelamatkan semua orang.
Kehendak Sang Gembala ini perlu
diwujudkan dalam suatu paguyuban umat beriman yang berpadan dengan komunitas
umat perdana (Kis 2: 41-47). Paguyuban umat beriman di Cikarang yang sehati
sejiwa berkumpul dalam kesatuan iman karena telah ditebus oleh Yesus.
Pengalaman iman tersebut memampukan umat (Gereja) untuk berempati satu sama
lain dalam persaudaraan sejati dengan siapa saja (penderitaanmu adalah penderitaanku,
kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, bdk. GS 1).
Dalam evaluasi program yang
telah terselenggara, ada dua hal yang menjadi program unggulan Paroki Ibu
Teresa Cikarang, yakni memberikan pelayanan kesehatan dan santunan pendidikan
kepada masyarakat. Apa yang dilakukan ini mencontohkan apa yang sudah dilakukan
oleh Ibu Teresa semasa hidupnya. Kepedulian terhadap mereka yang tersisih
karena sakit dan tidak diperhatikan menjadi prioritas perhatian Ibu Teresa. “Teresa adalah salah satu titik perenungan tentang kemanusiaan yang terabaikan. “ Mengenang
Teresa dan perjuangan mengumpulkan orang-orang terbuang di Calcuta, adalah
mengenang kemanusiaan yang terabaikan hingga titik nadir. Tindakan kemanusiaan
yang dilakukan, tidak membuat orang memuji kebaikannya, tetapi lebih banyak
orang mencela bahkan mencibir kebaikan yang ia curahkan kepada orang-orang
miskin di sudut-sudut kota.
Cikarang bukanlah Calcuta namun
tentu memiliki kesamaan yakni masih dijumpai orang-orang miskin dan sederhana
di wilayah itu. Apa yang dilakukan oleh pihak paroki memang jauh berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa di Calcuta. Ibu Teresa melakukan semua itu
dalam purna waktu, seluruh perhatian dan cinta kasih dicurahkan kepada
orang-orang miskin. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Gereja Paroki Ibu Teresa,
walaupun di selah-selah kesibukan namun perhatian terhadap orang-orang kecil
tidak dengan setengah hati tetapi dengan sepenuh hati. Apa yang dilakukan itu
merupakan cara sederhana untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang
menderita. Suatu waktu, mereka (orang-orang miskin) lebih tahu dan mengenal,
siapa itu Yesus Kristus dan tujuan utama kedatangan-Nya ke dunia.***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment