Monday, December 14, 2015

N A T A L


Memasuki bulan Desember, memori publik diingatkan akan Natal, kelahiran Yesus Kristus. Bayangan tentang Natal tidak lain adalah sebuah  kandang hewan yang pengap dan  penuh kesederhanaan. Tak ada lampu gemerlap dan nyanyian merdu para artis yang menyongsong kedatangan Yesus yang lahir di kandang papa. Ia lahir dalam sunyi, lahir dalam kesederhanaan.  Maria dan Yosef harus lelah mencari penginapan  sebagai tempat bagi Maria untuk melahirkan Sang Juru Selamat. Tak ada rumah warga yang menjadi tumpangan bagi Maria dan Yosef. Dunia seakan menutup pintu rumahnya untuk tidak membiarkan Sang Juru Selamat itu lahir dalam rumah mereka. Tetapi ketika semakin mereka menutup rapat pintu rumah mereka, pada saat yang sama, Allah membiarkan Putera-Nya lahir dalam sunyi, lahir dalam kesederhanaan di kandang hewan penuh kotoran itu.
Kesederhanaan menjadi pesan tunggal dalam merayakan Natal. Allah  tidak meminta sebuah rumah sakit mewah sebagai tempat untuk melahirkan Putera-Nya. Allah membiarkan Maria dan Yosef untuk mengetuk kesadaran warga agar mendapatkan tempat yang layak bagi kelahiran Sang Putera. Perjalanan Maria yang tengah mengandung adalah sebuah perjalanan derita dan pada akhirnya tersenyum legah setelah bayi Sang  Putera Yesus lahir dalam dekapannya.
Teks Kitab Suci Perjanjian Baru secara dramatis mengisahkan perjuangan keluarga Nazareth yang berusaha untuk menghadirkan bayi Yesus dalam kondisi apa adanya. Allah menyapa manusia dalam bayi mungil. Tangisan perdana di kandang Betlehem adalah tangisan keberpihakan terhadap mereka yang juga  lahir dan disingkirkan oleh dunia. Allah yang menjelma menjadi manusia telah menunjukkan keberpihakkan pada yang lemah karena penindasan yang dilakukan oleh penguasa.
Peristiwa kelahiran  Yesus menunjukkan betapa Allah begitu dekat dengan umat manusia. Allah yang kita imani bukanlah Allah yang jauh (transenden) melainkan melalui peristiwa Natal menjadikan  Allah begitu dekat, (imanen). Karena itu memaknai pesan Natal tidak lebih sebagai “Allah menyapa dan ada bersama kita, “ Allah yang sejalan dengan manusia dalam suka dan duka. Apakah setiap  kita merayakan   Natal, aroma kesederhanaan dan keberpihakkan Allah dirasakan oleh umat manusia? Natal di zaman modern, seakan menggiring umat manusia untuk jauh dari esensi Natal. Natal telah menjadi ruang komersial dan iklan penuh kemewahan. Natal telah memperlihatkan  kelap-kelip lampu  kota dengan iringan musik yang aduhai.
Rupanya Natal dan pesan kesederhanaan yang diperlihatkan oleh Allah melalui kelahiran Putera-Nya, terus dimaknai oleh mereka yang tersingkir dan hidup di bawah kolong-kolong jembatan. Dalam deru mesin dan gemerlapnya kehidupan kota yang riuh, para pemulung dan orang-orang miskin lainnya tetap bersorak dalam rintihan pedih untuk membuka diri bagi kelahiran Sang Putera dalam hati mereka masing-masing. Apakah kita berani menerima bayi Yesus untuk lahir kembali dalam hati kita?  Dalam kesederhanaan dan keterbukaan, bayi Yesus memberanikan diri dan menjadikan  hati kita sebagai palungan baru, tempat Ia berbaring.***(Valery Kopong)  










0 komentar: