Memasuki
bulan Desember, memori publik diingatkan akan Natal, kelahiran Yesus Kristus.
Bayangan tentang Natal tidak lain adalah sebuah
kandang hewan yang pengap dan penuh kesederhanaan. Tak ada lampu gemerlap
dan nyanyian merdu para artis yang menyongsong kedatangan Yesus yang lahir di
kandang papa. Ia lahir dalam sunyi, lahir dalam kesederhanaan. Maria dan Yosef harus lelah mencari
penginapan sebagai tempat bagi Maria
untuk melahirkan Sang Juru Selamat. Tak ada rumah warga yang menjadi tumpangan
bagi Maria dan Yosef. Dunia seakan menutup pintu rumahnya untuk tidak
membiarkan Sang Juru Selamat itu lahir dalam rumah mereka. Tetapi ketika
semakin mereka menutup rapat pintu rumah mereka, pada saat yang sama, Allah
membiarkan Putera-Nya lahir dalam sunyi, lahir dalam kesederhanaan di kandang
hewan penuh kotoran itu.
Kesederhanaan
menjadi pesan tunggal dalam merayakan Natal. Allah tidak meminta sebuah rumah sakit mewah
sebagai tempat untuk melahirkan Putera-Nya. Allah membiarkan Maria dan Yosef untuk
mengetuk kesadaran warga agar mendapatkan tempat yang layak bagi kelahiran Sang
Putera. Perjalanan Maria yang tengah mengandung adalah sebuah perjalanan derita
dan pada akhirnya tersenyum legah setelah bayi Sang Putera Yesus lahir dalam dekapannya.
Peristiwa
kelahiran Yesus menunjukkan betapa Allah
begitu dekat dengan umat manusia. Allah yang kita imani bukanlah Allah yang
jauh (transenden) melainkan melalui peristiwa Natal menjadikan Allah begitu dekat, (imanen). Karena itu
memaknai pesan Natal tidak lebih sebagai “Allah menyapa dan ada bersama kita, “
Allah yang sejalan dengan manusia dalam suka dan duka. Apakah setiap kita merayakan Natal, aroma kesederhanaan dan keberpihakkan
Allah dirasakan oleh umat manusia? Natal di zaman modern, seakan menggiring
umat manusia untuk jauh dari esensi Natal. Natal telah menjadi ruang komersial
dan iklan penuh kemewahan. Natal telah memperlihatkan kelap-kelip lampu kota dengan iringan musik yang aduhai.
Rupanya
Natal dan pesan kesederhanaan yang diperlihatkan oleh Allah melalui kelahiran
Putera-Nya, terus dimaknai oleh mereka yang tersingkir dan hidup di bawah
kolong-kolong jembatan. Dalam deru mesin dan gemerlapnya kehidupan kota yang
riuh, para pemulung dan orang-orang miskin lainnya tetap bersorak dalam
rintihan pedih untuk membuka diri bagi kelahiran Sang Putera dalam hati mereka
masing-masing. Apakah kita berani menerima bayi Yesus untuk lahir kembali dalam
hati kita? Dalam kesederhanaan dan
keterbukaan, bayi Yesus memberanikan diri dan menjadikan hati kita sebagai palungan baru, tempat Ia
berbaring.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment