Oleh: Valery Kopong
Golkar, sebuah partai tua
terus dilanda dengan pelbagai persoalan.
Tahun 2015 dan mengawali tahun 2016, Golkar tetap mengusung persoalannya
sendiri dan terkesan sulit untuk
diselesaikan. Menatap Golkar saat ini sepertinya berada pada wilayah abu-abu dan
sulit ditemukan solusi terbaik. Siapa yang bertanggung jawab dalam proses
penyelesaian masalah internal yang terus
mendera? Strategi mana yang perlu dicari untuk menyelesaikan masalah
ini? Beberapa pengamat politik dan juga
hukum ketatanegaraan menilai bahwa
dengan berakhirnya kepengurusan Golkar
hasil Munas Riau dan juga dicabutnya SK Menteri Hukum dan HAM tentang
kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol
maka dengan demikian terjadi kekosongan kepengurusan Golkar. Atau secara gamblang
dikatakan bahwa Golkar berjalan tanpa tuan dan nahkoda. Untuk mengimbangi
situasi ini menurut Refly Harun, pengamat hukum tata Negara, agar Kemenkum HAM
mengeluarkan SK untuk memperpanjang kepengurusan Golkar hasil Munas Riau sambil
menata kembali Golkar dengan mempersiapkan Munas Golkar untuk memilih kepengurusan baru.
Golkar
yang hadir saat ini seakan kehilangan arah ketika berada di luar jalur
penguasa. Ada tarik-menarik kepentingan kubu dan meninggalkan kepentingan
publik, melahirkan Golkar yang berjalan
penuh ambigu. Apakah Golkar berjalan mengikuti taring sang pemimpin kubu yang
berlainan arah? Atau haruskah berjalan seadanya hanya untuk menyelamatkan
partai yang berjalan tanpa tuan? Selama bertahun-tahun bekerja, Golkar cukup
memberikan kontribusi penting bagi dunia politik saat ini terutama para kader
partai yang walaupun berkecimpung di partai lain tetapi pernah belajar pada
partai berlambang pohon beringin itu. Golkar telah menghasilkan para politisi
handal yang kemudian bertarung memperebutkan kekuasaan melalui partai lain
tetapi Golkar sendiri belum sanggup memimpin dirinya sendiri dengan pemimpin dari
internal partai Golkar. Inilah sebuah litani
politik Golkar yang sedang meratap mencari seorang figur pemimpin yang
tepat, yang memiliki visi-misi yang lebih luas dan tidak mementingkan
kepentingan kubunya masing-masing.
Keberadaan partai politik
diharapkan mampu mewujudkan fungsi-fungsinya, yakni mengadakan sosialisasi
politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, komunikasi politik, pengatur
konflik dan kontrol politik. Mencermati
fungsi-fungsi partai yang ada maka secara sederhana dapat dikatakan
bahwa sebuah partai bisa berdiri kokoh dan mendapat legitimasi publik bila
menjalankan fungsi-fungsi itu sebagaimana yang digariskan dalam ilmu politik. Salah satu
fungsi yang mau ditekankan oleh penulis adalah keberadaan partai sebagai
pengatur konflik. Memang, apabila ditelusuri
makna dibalik fungsi ini, keberadaan partai lebih bertujuan mengelola konflik yang
terjadi dalam masyarakat. Itu berarti
bahwa setiap persoalan dalam masyarakat bisa diselesaikan secara baik oleh
partai-partai yang berdiri
mengatasnamakan aspirasi masyarakat. Tetapi sayang keberadaan partai umumnya tidak secara
langsung terlibat dalam proses menyelesaikan konflik yang terjadi dalam
masyarakat.
Setiap
partai yang berkiprah belum memperlihatkan
proses penyelesaian sebuah konflik secara baik. Ini merupakan sebuah ironi karena sebuah
partai dan terutama Golkar telah
kehilangan rasa dalam mengelola sebuah konflik. Konflik dalam masyarakat
maupun konflik internal partai mestinya diselesaikan secara produktif tetapi
sayang, persoalan internal Golkar dibiarkan berlarut-larut atau sengaja
diperkeruh karena dua kubu berusaha untuk
menjadi penguasa dalam partai itu. Memang, seperti seorang tabib (dokter) tidak
bisa menyembuhkan dirinya sendiri ketika jatuh sakit, demikian juga Golkar
tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Apabila Golkar mau menyelesaikan
masalah ini maka jalan satu-satunya adalah menanggalkan sikap ego dari
masing-masing kubu dan mendengarkan masukan dari dewan pertimbangan partai dan
poros muda Golkar untuk segera melaksanakan munas Golkar. Munas, musyawarah
nasional atau
musyawarah naas?***
0 komentar:
Post a Comment