Thursday, January 21, 2016

LITANI GOLKAR


Oleh: Valery Kopong
Golkar, sebuah partai tua terus dilanda dengan pelbagai persoalan.  Tahun 2015 dan mengawali tahun 2016, Golkar tetap mengusung persoalannya sendiri  dan terkesan sulit untuk diselesaikan.  Menatap Golkar  saat ini  sepertinya berada pada wilayah abu-abu dan sulit ditemukan solusi terbaik. Siapa yang bertanggung jawab dalam proses penyelesaian masalah internal yang terus  mendera? Strategi mana yang perlu dicari untuk menyelesaikan masalah ini?  Beberapa pengamat politik dan juga hukum ketatanegaraan menilai  bahwa dengan berakhirnya kepengurusan  Golkar hasil Munas Riau dan juga dicabutnya SK Menteri Hukum dan HAM tentang kepengurusan  Golkar hasil Munas Ancol maka dengan demikian terjadi kekosongan kepengurusan Golkar. Atau secara gamblang dikatakan bahwa Golkar berjalan tanpa tuan dan nahkoda. Untuk mengimbangi situasi ini menurut Refly Harun, pengamat hukum tata Negara, agar Kemenkum HAM mengeluarkan SK untuk memperpanjang kepengurusan Golkar hasil Munas Riau sambil menata kembali Golkar dengan mempersiapkan Munas Golkar untuk memilih  kepengurusan baru.  
           
Persoalan mendasar  dari carut-marutnya Golkar saat ini bisa diprediksi bahwa hal utama yang  dipersoalkan adalah figur sang pemimpin. Selama 32 tahun kekuasaan Soeharto dengan Golkar sebagai mesin politik kekuasaan, telah melahirkan Golkar yang mapan dalam asuhan tangan dingan sang diktator. Karena kelamaan berada  dalam lingkaran kekuasaan dan berada di bawah satu komando telah menjadikan  Golkar sebagai partai yang solid dan memampukannya sebagai pemenang tunggal pemilu selama Orde Baru, walaupun kemenangan yang diraih bukanlah sebuah kemenangan sesungguhnya. Di sini bisa dilihat bahwa kepentingan sang penguasa  dan partai yang mendukungnya (Golkar) membesarkan Golkar tanpa riak-riak politik yang mengganggu stabilitas.
            Golkar yang hadir saat ini seakan kehilangan arah ketika berada di luar jalur penguasa.   Ada tarik-menarik  kepentingan kubu dan meninggalkan kepentingan publik, melahirkan  Golkar yang berjalan penuh ambigu. Apakah Golkar berjalan mengikuti taring sang pemimpin kubu yang berlainan arah? Atau haruskah berjalan seadanya hanya untuk menyelamatkan partai yang berjalan tanpa tuan? Selama bertahun-tahun bekerja, Golkar cukup memberikan kontribusi penting bagi dunia politik saat ini terutama para kader partai yang walaupun berkecimpung di partai lain tetapi pernah belajar pada partai berlambang pohon beringin itu. Golkar telah menghasilkan para politisi handal yang kemudian bertarung memperebutkan kekuasaan melalui partai lain tetapi Golkar sendiri belum sanggup memimpin dirinya sendiri dengan pemimpin dari internal partai Golkar. Inilah sebuah litani  politik Golkar yang sedang meratap mencari seorang figur pemimpin yang tepat, yang memiliki visi-misi yang lebih luas dan tidak mementingkan kepentingan kubunya masing-masing. 
               Keberadaan partai politik diharapkan mampu mewujudkan fungsi-fungsinya, yakni mengadakan sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, komunikasi politik, pengatur konflik dan kontrol politik. Mencermati  fungsi-fungsi partai yang ada maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah partai bisa berdiri kokoh dan mendapat legitimasi publik bila menjalankan fungsi-fungsi itu sebagaimana  yang digariskan dalam ilmu politik. Salah satu fungsi yang mau ditekankan oleh penulis adalah keberadaan partai sebagai pengatur konflik. Memang, apabila ditelusuri  makna dibalik fungsi ini, keberadaan partai  lebih bertujuan mengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat.  Itu berarti bahwa setiap persoalan dalam masyarakat bisa diselesaikan secara baik oleh partai-partai yang berdiri  mengatasnamakan aspirasi masyarakat. Tetapi sayang  keberadaan partai umumnya tidak secara langsung terlibat dalam proses menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat.  
            Setiap partai yang berkiprah belum memperlihatkan  proses penyelesaian sebuah konflik secara baik.  Ini merupakan sebuah ironi karena sebuah partai dan terutama Golkar telah  kehilangan rasa dalam mengelola sebuah konflik. Konflik dalam masyarakat maupun konflik internal partai mestinya diselesaikan secara produktif tetapi sayang, persoalan internal Golkar dibiarkan berlarut-larut atau sengaja diperkeruh  karena dua kubu berusaha untuk menjadi penguasa dalam partai itu. Memang, seperti seorang tabib (dokter) tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri ketika jatuh sakit, demikian juga Golkar tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Apabila Golkar mau menyelesaikan masalah ini maka jalan satu-satunya adalah menanggalkan sikap ego dari masing-masing kubu dan mendengarkan masukan dari dewan pertimbangan partai dan poros muda Golkar untuk segera melaksanakan munas Golkar. Munas, musyawarah nasional atau   

musyawarah naas?***

No comments: