Setiap
hari, sepertinya penanggalan bergerak maju dan pada akhirnya menemukan
titik puncak, akhir tahun. Semua mata
tertuju pada kalender bisu yang terus
melekat pada dinding-dinding kumal. Pada tanggal terakhir di bulan Desember ini,
kalender 2016 perlahan diturunkan dan siap diganti dengan kalender yang baru,
2017. Tetapi sebelum mengakhiri tahun
2016, setiap kita sepertinya ingin
memaknai tahun ini sebagai momentum penting untuk merefleksikan diri dan
mengenang setiap kejadian yang telah kita lalui. Berapa langkah dan jejak kaki,
kita torehkan dalam sejarah perjalanan hidup kita terutama mengisi hari-hari
hidup di tahun 2016 ini? Jika itu
pengalaman menarik maka keinginan kuat bagi kita untuk mengulangi pengalaman
yang sama. Tetapi jika sebaliknya, pengalaman yang kita alami adalah pengalaman
yang tidak mengenakan bagi kita, maka
pelan tetapi pasti, kita akan berusaha
untuk melupakan pengalaman itu, sambil berharap bahwa di tahun baru, 2017 itu akan lebih baik.
Geliat
perekonomian cepat mengalami pertumbuhan jika ada kemauan dari diri kita. Kita mulai
membuka peluang-peluang usaha untuk digarap sebagai sumber ekonomi yang bisa
menghidupi diri dan keluarga dan pada
akhirnya lewo tanah kita menjadi lebih baik. Tetapi perubahan ini butuh proses
dan ada yang harus dikorbankan demi sebuah perubahan itu. Masih ingatkah kita
tentang pembukaan jalan dari kampung
menuju “Dai Edun?” Ketika membuka jalan panjang itu, banyak dari kita yang
dengan berat hati merelakan sebidang
tanahnya bahkan merelakan beberapa pohon kelapa maupun pinang harus
ditumbangkan demi pembukaan jalan. Tanpa kerelaan itu maka perubahan tak pernah
terjadi. Dampak dari pembukaan jalan,
kampung kita menjadi terminal bagi kampung lain untuk menikmati perjalanan ke kebun dengan naik truk bersama. Sebuah
pemandangan yang berbeda. Puluhan tahun masyarakat kita belum pernah
menikmati perjalanan ke kebun dengan
naik truk dan tahun 2016 merupakan tahun jawaban akan keinginan kita. Tahun
2016 juga dilihat sebagai tahun kepenuhan mimpi-mimpi lewo tanah tentang
kemajuan.
Tetapi kemajuan fisik seperti yang kita rasakan
saat ini membawa dampak yang kurang baik
bagi perkembangan mental anak-anak lewo tanah. Kemajuan telah menjauhkan
anak-anak muda dari kebun dan bahkan enggan untuk mengolah tanah. Akibatnya
kita tidak memiliki lagi kebun bahkan tidak mengenal lagi jagung. Apakah
orang-orang kecewa terhadap hama tikus sehingga tidak mau berkebun lagi? Atas serangan hama ini, mestinya kita mencari solusi untuk
mengatasinya terutama mengadakan
seremoni adat dan bahkan mempersembahkan panen pertama untuk Tuhan. Belum
pernah terjadi dalam sejarah bahwa masyarakat kita mempersembahkan panen
pertama kepada Tuhan sebelum dinikmati oleh keluarga. Tuhan harus mendapat
tempat utama pada setiap kali merayakan panen. Namun berbeda dengan kondisi
saat ini, yakni hampir kita lupa mempersembahkan panen kepada Tuhan dengan
merayakan Ekaristi dan menyatakan syukur atas panen.
Pada
zaman dahulu, seremoni adat juga dilakukan untuk mengusir hama tikus, yakni mengadakan upacara “Odo
dopen,” Apakah karena kemajuan maka seremoni adat ini kita lupakan? Semakin
kita melupakan upacara “odo dope” maka
“ata perema-perogene” terus
menagih jatah mereka, yang nampak dalam
mata kita berupa hama tikus. Melihat
kondisi yang semakin rapuh ini, pada malam perenungan bersama ini saya mengajak
kita semua untuk bekerja dengan mengolah tanah kembali dan pada akhirnya kita
mendirikan lumbung-lumbung jagung dan padi sebagai basis pertahanan kita
terhadap terpaan musim kelaparan. Sudah waktunya kita mandiri dan tidak
lagi mengandalkan lumbung-lumbung pasar
“Lagaloe” yang tidak memberikan kita kemandirian secara ekonomis. Sudah
waktunya kita tidak lagi membeli sayuran di pasar karena di tanah yang kita
pijak ini, begitu banyak tanaman tumbuh dengan suburnya tetapi karena kemalasan
kita maka kita tidak pernah menanam. Air
yang begitu melimpah dan menjadi kebanggaan lewo tanah tetapi kita cuma
memanfaatkannya hanya untuk mandi dan minum. Sementara orang-orang lain yang
menikmati air dari mata air kita, begitu kreatif memanfaatkan air untuk
menyiram sayuran yang kemudian dijual kepada kita.
Pada
malam pergantian tahun ini, kita tidak hanya menyampaikan sayonara kepada tahun
yang lama, 2016 tetapi pada tepian tahun ini kita membangun komitmen kembali,
membangun motivasi diri untuk bekerja secara giat untuk menghidupi keluarga dan
membangun lewo tanah. Hanya ada dua hal yang bisa mensejahterakan hidup kita, yakni mula sed’a, noon lo’ok pasin. Ketahanan
ekonomi bisa mapan karena mula sed’a dan lo’ok pasin ta’aro gike
gewak ti ta’an hide
suku uma lango. Pai hama-hama, pupu koda, tal’i kirin, ta’an on’e to’o, te’te lo’ok tu’n
nolhon, pai hipuka hode bawak tu’n murine, 2017. (Valery Kopong, Tangerang, 8 Desember 2016)
0 komentar:
Post a Comment