Wednesday, January 11, 2017

ELEGI MALAM PISAH



Setiap  hari, sepertinya penanggalan bergerak maju dan pada akhirnya menemukan titik puncak, akhir tahun.  Semua mata tertuju pada kalender  bisu yang terus melekat pada dinding-dinding kumal. Pada tanggal terakhir di bulan Desember ini, kalender  2016 perlahan diturunkan  dan siap diganti dengan kalender yang baru, 2017.  Tetapi sebelum mengakhiri tahun 2016, setiap kita sepertinya  ingin memaknai tahun ini sebagai momentum penting untuk merefleksikan diri dan mengenang setiap kejadian yang telah kita lalui. Berapa langkah dan jejak kaki, kita torehkan dalam sejarah perjalanan hidup kita terutama mengisi hari-hari hidup di tahun 2016 ini?  Jika itu pengalaman menarik maka keinginan kuat bagi kita untuk mengulangi pengalaman yang sama. Tetapi jika sebaliknya, pengalaman yang kita alami adalah pengalaman yang  tidak mengenakan bagi kita, maka pelan tetapi pasti, kita  akan berusaha untuk melupakan pengalaman itu, sambil berharap bahwa  di tahun baru, 2017 itu akan lebih baik.
           
“Apa gunanya seluruh jerih lelah kita di bawah terik matahari?  Sungai-sungai mengalir ke laut tetapi laut tidak juga menjadi penuh. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.” Bersama Sang Pengkhotbah, kita merenungi malam ini dan coba untuk berefleksi tentang arti dan makna hidup ini. Hidup dan kehidupan ini dimaknai secara berbeda oleh masing-masing  kita yang hadir di sini. Sebagai orang beriman, kita yakini bahwa hidup adalah sebuah anugerah, dunia adalah medan bakti kita. Sejauh mana saya melaksanakan tugas, baik untuk diri sendiri, keluarga dan lewo tanah?  Tentang lewo tanah Gelong, kita mesti bersyukur bahwa tahun 2016 merupakan tahun perubahan yang luar biasa. Kampung kita yang sejak dulu dianggap sebagai terpencil dan jauh dari transportasi tetapi sekarang kita boleh menikmatinya karena mobil tidak hanya masuk kampung kita tetapi bisa sampai ke pusat-pusat komoditi.  Apakah dengan kemajuan ini saya hanya berpangku tangan dan berbangga? Ataukah melihat perubahan ini sebagai momentum penting  bagi kita untuk mempercepat pertumbuhan roda ekonomi kita?
          Geliat perekonomian cepat mengalami pertumbuhan jika ada kemauan dari diri kita. Kita mulai membuka peluang-peluang usaha untuk digarap sebagai sumber ekonomi yang bisa menghidupi  diri dan keluarga dan pada akhirnya lewo tanah kita menjadi lebih baik. Tetapi perubahan ini butuh proses dan ada yang harus dikorbankan demi sebuah perubahan itu. Masih ingatkah kita tentang  pembukaan jalan dari kampung menuju “Dai Edun?” Ketika membuka jalan panjang itu, banyak dari kita yang dengan berat hati merelakan  sebidang tanahnya bahkan merelakan beberapa pohon kelapa maupun pinang harus ditumbangkan demi pembukaan jalan. Tanpa kerelaan itu maka perubahan tak pernah terjadi.  Dampak dari pembukaan jalan, kampung kita menjadi terminal bagi kampung lain untuk  menikmati perjalanan  ke kebun dengan naik truk bersama. Sebuah pemandangan yang berbeda. Puluhan tahun masyarakat kita belum pernah menikmati  perjalanan ke kebun dengan naik truk dan tahun 2016 merupakan tahun jawaban akan keinginan kita. Tahun 2016 juga dilihat sebagai tahun kepenuhan mimpi-mimpi lewo tanah tentang kemajuan.
          Tetapi  kemajuan fisik seperti yang kita rasakan saat ini membawa dampak yang kurang baik  bagi perkembangan mental anak-anak lewo tanah. Kemajuan telah menjauhkan anak-anak muda dari kebun dan bahkan enggan untuk mengolah tanah. Akibatnya kita tidak memiliki lagi kebun bahkan tidak mengenal lagi jagung. Apakah orang-orang kecewa terhadap hama tikus sehingga tidak mau berkebun lagi?  Atas serangan hama ini,  mestinya kita mencari solusi untuk mengatasinya terutama  mengadakan seremoni adat dan bahkan mempersembahkan panen pertama untuk Tuhan. Belum pernah terjadi dalam sejarah bahwa masyarakat kita mempersembahkan panen pertama kepada Tuhan sebelum dinikmati oleh keluarga. Tuhan harus mendapat tempat utama pada setiap kali merayakan panen. Namun berbeda dengan kondisi saat ini, yakni hampir kita lupa mempersembahkan panen kepada Tuhan dengan merayakan Ekaristi dan menyatakan syukur atas panen.
          Pada zaman dahulu, seremoni adat juga dilakukan untuk mengusir  hama tikus, yakni mengadakan upacara “Odo dopen,” Apakah karena kemajuan maka seremoni adat ini kita lupakan? Semakin kita melupakan upacara “odo dope” maka  “ata perema-perogene”  terus menagih jatah mereka, yang  nampak dalam mata kita berupa hama tikus.   Melihat kondisi yang semakin rapuh ini, pada malam perenungan bersama ini saya mengajak kita semua untuk bekerja dengan mengolah tanah kembali dan pada akhirnya kita mendirikan lumbung-lumbung jagung dan padi sebagai basis pertahanan kita terhadap terpaan musim kelaparan. Sudah waktunya kita mandiri dan tidak lagi  mengandalkan lumbung-lumbung pasar “Lagaloe” yang tidak memberikan kita kemandirian secara ekonomis. Sudah waktunya kita tidak lagi membeli sayuran di pasar karena di tanah yang kita pijak ini, begitu banyak tanaman tumbuh dengan suburnya tetapi karena kemalasan kita maka kita tidak pernah menanam.    Air yang begitu melimpah dan menjadi kebanggaan lewo tanah tetapi kita cuma memanfaatkannya hanya untuk mandi dan minum. Sementara orang-orang lain yang menikmati air dari mata air kita, begitu kreatif memanfaatkan air untuk menyiram sayuran yang kemudian dijual kepada kita.
            Pada malam pergantian tahun ini, kita tidak hanya menyampaikan sayonara kepada tahun yang lama, 2016 tetapi pada tepian tahun ini kita membangun komitmen kembali, membangun motivasi diri untuk bekerja secara giat untuk menghidupi keluarga dan membangun lewo tanah. Hanya ada dua hal yang bisa mensejahterakan hidup kita, yakni mula  sed’a, noon lo’ok pasin. Ketahanan ekonomi  bisa mapan karena  mula sed’a dan lo’ok pasin ta’aro gike gewak  ti ta’an  hide  suku uma lango. Pai hama-hama, pupu koda, tal’i  kirin, ta’an on’e to’o, te’te lo’ok tu’n nolhon, pai hipuka hode bawak tu’n murine, 2017.    (Valery Kopong, Tangerang, 8 Desember 2016)


0 komentar: