Thursday, January 5, 2017

KANVAS RAHIM

wajah kedua orang tuaku
Merayakan  ulang  tahun, ibarat membuka lembaran kehidupan baru. Dalam lembaran kehidupan itu, sang yubilaris terus menggores  sejarah dan mengingat kenangan masa lampau, terutama  orang tua dan tempat kelahiranku. Pada rentang keheningan saat ini, kubuka lagi puisi yang pernah aku tulis, persis pada waktu merayakan ulang tahunku.  Puisi yang pernah kutulis itu mewakili jeritan kerinduan seorang “aku” yang mesti ada karena “adanya aku-ku yang  lain.”

TANGGAL LAHIR
MELUKIS DIRI
PADA KANVAS RAHIM
IBUNDA
               
Pada tangkai puisi ini, aku menganalogikan rahim ibunda sebagai kanvas yang disiapkan untuk melukis diriku sendiri oleh Allah, Sang Pelukis abadi. Sebuah kanvas kehidupan telah disediakan oleh Allah sendiri melalui ibuku. Atau meminjam bahasa sang Psalmis, “Aku telah mengenal engkau sejak engkau ditenun dalam rahim ibumu.”  Rahim seorang ibu adalah rahim khatulistiwa dan siap menerima benih kehidupan itu untuk tumbuh. Ketika aku dilahirkan di dunia ini, tepat pada 5 Januari 1973, sebuah peristiwa bersejarah bagi orang tua dan keluarga besarku. Kehadiranku dalam keluarga adalah memenuhi ungkapan kerinduan terdalam orang tua, apalagi aku dilahirkan sebagai anak laki-laki. Mengapa anak laki-laki menjadi istimewa di mata keluarga Adonara?
                Laki-laki memainkan peranan penting  dalam kehidupan keluarga, karena ia (laki-laki) melanjutkan sejarah “suku-umalango.”  Aku pun bangga dilahirkan sebagai anak laki-laki karena punya hak untuk melanjutkan sejarah panjang suku dan berhak mendapat warisan dari orang tua. Tetapi apakah aku lahir hanya sebatas untuk  menghidupkan suku? Barangkali konsep sederhana ini tumbuh ketika aku masih hidup dan berada di kampung halamanku yang jauh dari jangkauan sinyal. Tetapi sekarang, kehadiranku dalam setiap detak kehidupan harus memberi makna bagi orang lain yang aku jumpai. Pola keberpihakan dan pelayananku tidak hanya terbatas pada ego sektoral namun harus melampaui  kebesaran jiwa untuk melayani lebih banyak orang.
                Di tanah rantau ini, pada ulang tahunku, kerinduan semakin mendalam akan kampung halaman, keluarga dan orang tua. Rindu di tengah kebisingan kota dengan deru knalpot-knalpot kendaraan.   Pada kepulan asap yang membubung langit kota tua ini, aku berserah pada yang kuasa yang telah memberikan nafas kehidupan ini.***(Valery Kopong)













0 komentar: