Monday, April 4, 2011

“AIR SUSU IBU MENGERING”

(Catatan kemanusiaan)
Oleh: Valery Kopong*

Melihat cuplikan film “Tanah Air Beta” garapan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen mengisahkan tentang detik-detik terakhir ketika Timor-Timur (Timor Leste) yang menyatakan diri merdeka dan lepas-pisah dengan NKRI. Opsi yang digulirkan pemerintahan Habibie waktu itu membuka peluang besar bagi orang-orang Timor Lorosae (Timor matahari terbit) untuk menghirup nafas kebebasan. Tetapi apakah penentuan diri untuk merdeka menjadikan orang-orang yang pro kemerdekaan dan pro integrasi sama-sama merasakan kebahagiaan? Dua kelompok ini sama-sama merasakan penderitaan. Yang pro kemerdekaan juga masih mengalami derita dalam mempertahankan hidup. Sedangkan mereka yang pro integrasi, juga sampai sekarang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Film “Tanah Air Beta” menjadi menarik dan memiliki nilai sejarah yang mendalam karena dengan film ini sanggup menggugah kesadaran masyarakat umum, baik pemerintah daerah maupun Gereja untuk dapat memperhatikan kehidupan mereka ke depan.
Menurut catatan sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Yanuarius Koli Bau, bahwa kehidupan para pengungsi eks Timor-Timur saat ini lebih memprihatinkan dari pelbagai sisi kehidupan. Banyak tindakan kriminal dan asusila mulai terkuak ke permukaan hidup karena didorong oleh kehidupan yang serba tak menentu. Kehidupan saat ini saja tidak menentu, apa yang dapat diharapkan untuk waktu yang akan datang? Banyak anak yang terjerumus dalam aksi premanisme dan cara ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri dari tuntutan ekonomi. Ada perempuan yang berani melacurkan diri dan hal ini juga dilakukan demi menyambung hidup.
Apa yang disoroti oleh seorang sosiolog ini bukanlah sebuah rekayasa tetapi merupakan sebuah fakta yang sedang berpihak pada penderitaan rakyat miskin. Kemiskinan yang sedang dialami oleh para pengungsi eks Timor-Timur merupakan kemiskinan yang terstruktur dan korban dari sebuah guliran opsi yang tidak mempertimbangkan aspek humanitas. Apa yang harus dilakukan agar kehidupan mereka sekarang dan pada masa yang akan datang dapat terus berlanjut? Pertama, pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur perlu memperhatikan secara serius kehidupan yang tengah mereka jalani. Perhatian pertama ini ditujukan untuk pemulihan kehidupan ekonomi dan penataan perumahan yang layak pakai. Barangkali pemerintah menggalang dana dari para donatur dan disalurkan pada mereka sebagai modal awal untuk mengembangkan usaha-usaha kecil. Apabila pemerintah membuka dompet kemanusiaan untuk mereka, pasti banyak orang yang membantu, asalkan bantuan yang diberikan tepat pada sasaran.
Kedua, pihak Gereja katolik juga turut membantu kehidupan mereka. Keterlibatan Gereja dalam persoalan kemanusiaan merupakan suatu panggilan. Konsili Vatikan II menegaskan ciri pelayanan klerus sebagai orang-orang terpanggil demi pelayaan (Lumen Gentium 28, Prebyterorum Ordinis,2). Imam Katolik, dalam persatuan dengan uskup, dipanggil untuk meneruskan karya pelayanan Kristus kepada umat demi pertumbuhan roh dan perwujudan keadilan (LG, 21). Imam sebagai rekan kerja Uskup memperjuangkan keadilan karena tugas ini tidak terpisahkan dari karya penginjilan. Iustitia in Mundo, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan “Bertindak atas nama keadilan dan partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu dimensi pokok untuk mewartakan Injil atau dengan kata lain, dimensi yang pokok tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan yang menekan.”
Memang, keterlibatan Gereja terutama para imam, suster dan awam yang tergabung dalam TRUK-F waktu itu, begitu banyak menyelamatkan para pengungsi yang terbengkelai hidupnya. Tetapi apakah aksi penyelamatan korban merupakan akhir dari pelayanan? Aksi-aksi pelayanan nyata kelihatan kendor saat ini dan dengan penayangan film “Tanah Air Beta” di pentas nasional turut menggugah kembali kesadaran baik pemerintah daerah NTT dan Gereja Regio Nusra untuk berpacu dalam menyelamatkan generasi bangsa yang sedang mengalami pergulatan yang tidak mengenal titik batas penyelesaian.
Karya pastoral saat ini yang paling mendesak adalah bagaimana menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan juga adalah umat Allah. Apa yang dilakukan oleh Gereja merupakan panggilan profetis sebagai bagian integral warga negara Indonesia. Bahwa demi “Merah-Putih,” para pengungsi eks Timor-Timur tetap bertahan walau dalam kondisi yang lapar. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat Allah (baca: rakyat) harus juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para gembala (bdk. Gaudium et Spes artikel No. 1). Pemerintah dan Gereja mestinya sepakat dalam mengurus warga eks Timor-Timur yang sedang menunggu uluran tangan. Kedua lembaga terhormat ini jangan berhenti melepaskan tanggung jawab di “persimpangan hidup” mereka. Mereka butuh bantuan, baik moril maupun materiil. Tanpa uluran kemanusiaan dari mereka yang peduli maka hidup yang tengah dijalani “mungkin” bertahan untuk satu generasi ini. Dalam catatan keprihatinan Yanuarius Koli Bau, ia mengisahkan bahwa seorang bayi meninggal di tengah pelukan ibunya. Bayi itu tak berdaya dan ingin meminum air susu ibu, ternyata air susu ibu kehabisan karena ibunya sudah dua minggu tidak makan dan minum. Ia akhirnya meninggal ketika mulutnya sedang menyundut puting susu ibunya yang telah kering. “Gereja mesti solider dan peka dengan masalah kemanusiaan yang terus diderita umat sederhana jika gereja tidak ingin kehilangan jati diri sebagaimana yang dicita-citakan Yesus saat mendirikannya.” ***

ADONARA DI SUATU SORE

Oleh: Valery Kopong*

Ketika berlibur di kampung halamanku, Gelong-Adonara, sebuah berita buruk menyentak kesadaran seluruh warga. Waktu itu sekitar tahun 2001, terjadi pergolakan berdarah antara Tobi dan Lewokeda. Saya masih ingat baik, pada saat terjadi ketegangan antarkampung ini, Pater Piet Payong, SVD mengadakan pendekatan agar meminimalisir pertikaian yang bakal terjadi. Upaya ini sedikit membawa hasil, namun ketegangan kembali terjadi saat Pater Piet, putera asal Lewokeda yang kini menjadi misionaris di Filipina sudah berada di Jakarta untuk seterusnya melanjutkan perjalanan ke tanah misi.
Sore itu begitu mendung. Kabut tipis menggelantung di langit Adonara seakan memberi isyarat bahwa perang terus terjadi dan korban jatuh di medan laga. Tetapi apakah para deket (julukan orang yang berani dalam perang) Adonara mengurung niat untuk ledan dopi, kenube dan gala? (meletakkan perisai, parang dan tombak). Orang-orang yang terlibat dalam perang umumnya, sepertinya haus akan darah manusia. Sebelum korban jatuh dan tubuhnya dicincang serta kepalanya dipenggal, belum ada titik kepuasan untuk mengakhiri sebuah pertandingan berdarah itu. Memang, setiap anak lelaki Adonara sudah ditanam kuat dalam dirinya untuk selalu tampil berani bahkan ketika perang berkecamuk, para lelaki perlu dipersenjatai untuk terlibat dalam perang. Bagi mereka (laki-laki dewasa) yang tidak terlibat dalam perang, diejek oleh sesamanya bahkan dikatai, “lebih baik pake rok saja.” Artinya, dalam ejekan itu tersirat bahwa setiap laki-laki dewasa perlu memperlihatkan diri sebagai penjaga yang perkasa dan terlibat aktif dalam medan peperangan yang menawarkan nyawa.
Dengan melihat kondisi lewotana (kampung halaman) yang terus menyuburkan tindakan kekerasan yang destruktif maka tak heran bahwa pada zaman dulu, Adonara pernah dijuluki sebagai “The killer island,” pulau pembunuh. Julukan ini mendapat afirmasi yang kuat ketika “kisah peperangan” semakin mendapat tempat dalam perhelatan berdarah itu. Apakah dengan jatuhnya korban maka perang tanding dapat selesai dan lenyap dari bumi berdarah itu? Tidak! Situasi berhenti dan tenang sesaat dan pada paruh waktu lain perang tentu berkecamuk lagi. Kebanyakan orang mengatakan bahwa perang terus terjadi secara turun temurun dan karena merupakan darah tanggungan maka kenyataan ini mesti dihadapi dalam terang pemikiran yang jernih.

Embrio kabupaten?

Beberapa hari terakhir ini upaya untuk membentuk dan membangun kabupaten menjadi kabupaten mandiri sedikit menampakkan titik terang perjuangan. Perjuangan ini tentu mendapat respons yang baik terutama di kalangan elite politik yang berasal dari Adonara. Lembata saja bisa menjadi sebuah kabupaten. Mengapa Adonara tidak sanggup? Kata-kata ini menjadi sumber inspirasi sekaligus menyulut kesadaran untuk terus berjuang dalam “lumpur waktu.”
Perjuangan para elite politik adalah murni sebagai perjuangan keberpihakkan pada kepentingan publik? Pertanyaan yang cukup menohok ini perlu dilontarkan sebagai cara untuk menggali logika keberpihakkan yang kian teruji. Membaca beberapa tulisan yang dimuat pada koran lokal tentang Adonara kabupaten, salah satu hal yang terkuat adalah “pembentukan kabupaten” berlandaskan kekecewaan elite politik yang tidak berhasil masuk dalam lingkup dewan perwakilan rakyat daerah Flores Timur.
Dengan pembentukan kabupaten yang bermula dari kekecewaan maka bakal akan memunculkan persoalan baru ketika Adonara berdiri penuh sebagai kabupaten, terlepas dari induknya Flores Timur. Persoalan baru muncul yaitu animo politik dari para elite yang tidak berhasil masuk dalam jajaran anggota DPRD Flotim, tentunya dengan pelbagai cara menuntut jatah kursi kekuasaan untuk menyudahi perjuangan yang dilakukan selama ini. Di sini, bakal muncul politik balas budi bagi mereka yang menamakan diri berjuang di atas “rel politik” dalam membangun Adonara sebagai sebuah kabupaten.

Politik kekerasan
Melihat peta perjalanan kehidupan orang-orang Adonara di atas maka tak dapat dipungkiri bahwa seninya berpolitik ala Adonara adalah seni untuk menjegal lawan dengan cara yang paling kejam sekalipun. Apabila selama ini terjadi peperangan dengan mempersoalkan batas tanah sebagai sumber kehidupan maka mungkin ke depan, para elite politik pun turut berperang antarmereka dengan mempersoalkan, siapa yang paling berjasa dalam memperjuangkan dan menegakkan kabupetan itu. Ruang lingkup politik adalah medan baru dan sekaligus lahan subur yang menjanjikan kehidupan bagi mereka yang pintar berbicara alias politikus.
Persoalan tanah kini semakin sempit dan dengan itu mereka terus mempertahakan diri dengan berdiri tegak di atas lahan dan ditemani oleh parang dan tombak. Apakah panorama kekerasan bakal beralih ke medan politik? Boleh jadi!! Karena yang bermain dalam pusaran politik adalah orang-orang Adonara sendiri yang hampir seluruh karakternya terpola oleh suguhan kekerasan yang dialami sejak dini. Kekerasan politik bisa juga terjadi dalam kalangan elite sendiri maupun terjadi di kalangan massa pendukung.
Ada satu hal lagi yang diperdebatkan adalah ibu kota kabupaten nanti. Apakah Waiwerang ataukah Waiwadan? Pertentangan pandangan geografis terus bermunculan dan menjadi wacana yang menggelisahkan. Orang Adonara Barat tentu tidak rela kalau ibu kota kabupaten berada di wilayah timur. Ada satu alasan sederhana yaitu, untuk urusan administrasi, ternyata memakan waktu dan biaya. Jauh lebih murah dan mudah ke Larantuka ketimbang ke Adonara Timur. Sementara itu, orang Adonara Timur memiliki kepentingan yang kuat dengan pendirian Adonara yang bakal jadi kabupaten. Karena itu pasti mereka tidak rela membangun ibu kota di wilayah Adonara Barat. Beberapa isu yang sempat saya himpun, menginformasikan bahwa kemungkinan akan dibangun pusat pemerintahan di Waikewak yang tempatnya menghubungkan antara wilayah Koli yang mewakili Adonara Timur dan Waikewak mewakili Adonara Barat.
Isu pembukaan area yang menjadi bakal pusat pemerintahan ini mengundang kecemasan bagi masyarakat Koli yang notabene berpenduduk petani yang areal pertanian mereka berada pada batas dengan Waikewak dan Waiwadan. Andaikan rumor ini terpenuhi maka sebagian wilayah Koli kehilangan areal pertanian karena bakal disunglap jadi pusat perkantoran. Isu tentang pembentukan kabupaten baru dan areal yang akan dijadikan pusat perkantoran menjadi polemik yang menegangkan sekaligus membuka konflik, sebelum memasuki konflik politik yang lebih besar.

Menyoroti masalah harmoni dan konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat. Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga perjuangan para elite politik membawa sebuah isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu mahalkah damai di bumi kampungku?***

Sunday, April 3, 2011

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek jubah-Nya menyeret luka-luka kudus
Dibelai debu tanjakan tiada lagi lurus
Kaki-kaki-Nya mememar nestapa
Ada perhentian di tikungan sini
Kembang-kembang pinggir jalanan
Tersenyum menyapanya dalam lara
Hmmm…..bunga-bunga luka semesta
Betapa bahagianya bersua tatap
Dengan yang tunggal luka penciptanya
Air dan darah bermuarah di sini
Menyegarkan kembali kembang-kembang jalanan
Jadi jumbai penghias jubah penciptanya

Thursday, March 31, 2011

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek tangan-Nya menggenggam tongkat
Tongkat berduri singgasana Daud Bapa-Nya
Wahai tangan-tangan suci!
Tak terhapus bekas-bekas kusta dunia buatannya
Sisa-sisa nista bisu-tuli-buta-lumpuh
Tak akan berhenti mewartakan ketololan ini
Wajah derita sejagat terpahat abadi di sana
Betapa beningnya pantulan cinta penuh derita
Yang disandang dari Betlehem sampai Golgota
“Aku Gembala yang baik!
Dan kau seret Aku bagai domba ke pembantaian”

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek lidah-Nya melumat kebenaran
Kala Pilatus mencuci tangan tak bersalah
Sejak itu lidah-lidah pemalsuan terus membiak
Oh! Gabatha kejam!
Betapa kujungkirbalikan keadilan
Tatkala panji-panji kebenaran kaucampakkan
Demi kuasa bertakhta di atasmu
Duhai! Sejuta kepalsuan temuruh dari sini
Ketika yang sulung lahir dalam tanda Tanya
“Apakah kebenaran itu?”

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek mulut-Nya mengatup emosi
Tersumbat pula kerongkongan-Nya emas murni
Duhai! Betapa ruangan ini diserbak sanksi
Bau ahli Taurat dan…..farisi
Sama-sama melebur dalam tengkik Saduki
Sia-sia Magdalena pecahkan pualam minyak wangi
Aromanya telah pupus dibau keringat dekil
Rakyat jengkel tersengat sanksi penggepe
Sombongkah keadilan terpancang di sini
“Mengapa Aku kau tampar?!!

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek wajah-Nya dikecup pasukan Yudas
Ludah-ludah khianat melekat di pipi-Nya
Zaitun! Zaitun….! Zaitun
Aromamu membaur dalam angkara sejagat
Dosa manca benua bergelantungan di rantingmu
O o o……wajah yang ramah
Tak pantas ditampar bara khianat
Sisa-sisa cinta masih membaur di sana
“Ya Bapa, akan kureguk semuanya
kehendakmu, jadilah!”

Tuesday, March 29, 2011

Mewaspadai Terjangan Bandit Demokrasi

Oleh Steph Tupeng Witin

TAHAPAN Pemilu Kada Lembata ternoda. Massa pendukung salah satu calon mengamuk dan merusak kantor KPUD. Alasan perusakan adalah karena calon mereka tidak mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan (Kompas, 19/3/2011). Tetapi fakta membuktikan bahwa calon yang direpresentasi oleh massa pengikutnya ini teryata mampu secara fisik untuk merusak sekaligus semakin menegaskan bahwa memang dia tidak sehat secara rohani (jiwa/mental). Maka patutlah dipahami bahwa orang yang tidak mampu dan sehat secara rohani dan jasmani membuat keonaran.
Bagi saya, massa adalah representasi dari sang calon. Calon yang sehat secara rohani dan jasmani tidak akan tega membiarkan massa pendukung membuat kekacauan karena orientasi calon yang sehat adalah masa depan umum. Argumen bahwa itu aspirasi murni massa pendukung tidak akan memaksa saya untuk percaya begitu saja. Orang-orang kampung dari desa-desa tidak mungkin begitu saja meninggalkan kebun dan ladangnya hanya untuk datang ke Lewoleba dan merusak simbol negara itu. Dan kalaupun itu adalah murni aspirasi rakyat yang kecewa, sang calon yang sehat secara rohani dan jasmani mesti mampu mencegahnya. Tapi apa daya tangan tak sampai. Calon yang mesti mencerdaskan rakyat telah divonis sakit.
Apa nasib Lembata lima tahun ke depan ketika 'terpaksa' dipimpin oleh seorang calon yang tidak sehat secara rohani dan jasmani? Belum memimpin Lembata saja, kantor KPUD sudah jadi tumbal. Kapolres Lembata mengalami luka di wajahnya. Anggota KPU, Betekeneng, bocor kepalanya (Pos Kupang.com, 18/3/2011). Apakah sang calon yang tidak sehat itu bisa bertanggung jawab atas kasus ini? Menurut saya, secara etika dan moral politik, mestinya sang calon dengan berani mengatakan: saya siap bertanggung jawab, bila perlu dipenjara bersama para tahanan karena massa adalah wakil dan wajah dari saya. Apalagi, massa itu bergerak dari kediaman sang calon. Soal tanggung jawab ini hanya bisa terpenuhi kalau calon dalam kondisi sehat terutama secara rohani, bukan hanya sebatas sehat fisik.
Pertanyaannya adalah apakah KPUD yang menjadi simbol negara mesti tunduk pada kehendak massa yang kehilangan rasionalitasnya di hadapan banalitas kekerasan? Yang pasti adalah bahwa KPUD berlandas di atas aturan formal yang berlaku untuk semua. Maka para calon dituntut sehat secara rohani dan jasmani supaya memahami proses demokrasi pemilu ada dan tidak egois dengan memaksakan diri mati-matian, bila perlu dengan merusak fasilitas negara hanya untuk melayani nafsu kuasa yang tak tertahankan lagi. Maka logis jika calon yang tidak sehat akan menampakkan wajahnya yang tidak sehat juga dalam aksi massa yang brutal. Supaya mereka sehat kembali, polisi dan aparat penegak hukum lainnya mesti bertindak tegas. Hanya dengan ketegasan yang adil masa depan Lembata bisa dipastikan dan orang-orang yang tidak sehat itu bisa sembuh lagi. Lebih jauh, rupanya, aksi massa itu juga menjadi gambaran bahwa Lembata selama ini berjalan di bawah kendali yang tidak sehat. Lalu mereka berusaha mempertahankan ketidaksehatan itu dengan cara-cara yang semakin menegaskan bahwa mereka sesungguhnya sudah lama hingga saat ini sedang tidak sehat. Maka jika KPUD tunduk pada calon dan massa yang tidak sehat, itu sirene bagi bencana kehancuran Lembata yang lebih dahsyat.

Bandit Berkeliaran
Fakta kerusakan dan kecurangan pemilu kada di negeri ini menggelisahkan nurani demokrasi. Setiap tahun Mahkamah Konstitusi kebanjiran kasus pemilu kada. Hal ini mengindikasikan bahwa demokrasi kita masih dalam tahap percobaan yang tak tentu waktu. Proses konsolidasi demokrasi ini memberi ruang hadirnya para bandit demokrasi yang berani bermain dalam wilayah formal demokrasi. Gerombolan penjahat ini telah mengkristal dalam kubangan mafioso politik yang berjabat erat dengan kapitalis. Dalam banyak kasus kerusuhan pemilu kada, publik yang kritis mampu membaca geliat para bandit ini yang akan terus mengumbar keserakahan melalui jalur politik dan birokrasi.
Suatu saat kita akan disadarkan bahwa kesejahteraan sebagai kulminasi proses demokrasi berada dalam genggaman para mafioso kapitalisme yang tega memperpanjang banditismenya melalui orang-orang lokal. Sudah lebih dari satu dasawarsa ini demokrasi kita didorong oleh segenap komponen bangsa untuk tumbuh dan berkembang. Tetapi hingga detik ini paham itu tak kunjung tegak karena terus saja direcoki oleh para bandit demokrasi yang berkeliaran di berbagai level institusi.
Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity (2000) mengawali tesisnya tentang demokrasi dengan pertanyaan: mengapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tak kunjung datang? Ia menjawabnya dengan menunjukkan fakta adanya dua jenis bandit, yaitu bandit yang mengembara (roving bandits) dan bandit menetap (stationary bandits) di Rusia. Keduanya sama-sama jahat dan bergantian menjarah kekayaan dan demokrasi yang diikhtiarkan menghadirkan kesejahteraan (Wibowo: 2011, hlm 78-82). Pada zaman represif, hiduplah bandit yang menetap (stationary bandits) yang tidak akan menjarah habis wilayahnya. Bahkan ia akan menjaga wilayahnya dengan kekuatan militer dan memberi keleluasaan kepada penduduk untuk maju. Lalu dia berkuasa dengan menarik berbagai pungutan sebagai sandaran hidupnya sambil membangun 'kerajaannya'. Ketika rezim represif ini runtuh, muncullah bandit berkeliaran (roving bandits) yang selama ini mengabdi bandit menetap yang berkuasa. Jenis bandit ini terkenal sadis dan buas : menjarah habis sebuah wilayah berpindah ke tempat lain, bila perlu manusia (wanita) pun dijarah. Bandit berkeliaran ini leluasa meneror kelompok yang mencoba menghalangi kekuasaannya dan bertindak sebagai pemalak dan pemeras.
Menurut Ignas Wibowo, hadirnya demokratisasi dan otonomi daerah sejak tahun 1999 (sama dengan berdirinya Kabupaten Lembata) berperan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini pasca runtuhnya bandit menetap berkuasa (Soeharto) 1998. Ruang ini memunculkan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia yang entah bergabung dalam parpol atau tidak terus 'belajar' bagaimana memanipulasi pemilu/pemilu kada menjadi kepala eksekutif/legislatif. Sistem demokrasi kita yang tidak stabil menyadarkan elite politik bahwa kursinya hanya sekali itu saja karena akan ada rotasi masa kepemimpinan. Maka mumpung masih berkuasa mereka menggunakan kesempatan untuk menghabiskan uang rakyat (Wibowo: 2011, hlm 29-31).

Cerdas Memilih
Saya berpendapat, salah satu akar dari kerusuhan menjelang, selama dan akhir dari sebuah pemilu/pemilu kada adalah kegelisahan dari para bandit (meminjam Olson) yang mulai sadar bahwa saat berkuasa kian mendekati akhirnya. Mereka ingin tetap berkuasa. Segala cara mereka tempuh, tentu dengan pengorbanan uang yang tidak sedikit yang telah mereka dulang selama berkuasa. Mereka akan kalap ketika jalan yang ditempuh tidak meloloskan hasrat. Bahkan medium demokrasi pun dipaksa untuk mengikuti kemauan mereka. Jalan terakhir ketika dialog sudah mampet adalah kekerasan yang bisa merusak simbol-simbol negara dan menumbalkan manusia. Aksi mereka kadang sadis dan buas tapi tanpa dibarengi dengan keberanian untuk bertanggung jawab. Malah mereka tampil sebagai sosok yang infantil yaitu mengemis ruang kebebasan sebagaimana yang dinikmati semasa menjadi bandit.
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hadirnya kebusukan aksi para bandit politik dalam ruang proses demokrasi kita? Pertama, publik mesti menjadi pemilih yang kritis dan cerdas dalam setiap momen pemilu/pemilu kada. Sikap kritis dan cerdas perlu ketika republik ini pasca kejatuhan Soeharto masih berkutat pada item-item primordialisme : daerah, suku, agama, etnis, ras, meski calon itu bobrok secara moral dan sempit dalam kancah wawasan.
Pemilih yang cerdas akan tahu siapa sesungguhnya yang ia pilih. Kepentingan publik mesti mengalahkan interese primordial yang sempit. Bahkan ini juga momen bagi pemilih yang cerdas untuk menghukum parpol yang menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan pemerintahan hanya untuk mempertebal pundi-pundi partai. Bila perlu rakyat menghukum juga parpol yang menggadaikan nama besarnya hanya untuk mengeruk modal dari para calon pemimpin eksekutif. Pemilih yang cerdas tidak akan memilih calon (independen) yang memanipulasi dukungan dari mayat-mayat yang tinggal namanya tertera di salib pekuburan.
Kedua, publik mesti diadvokasi oleh kelompok kritis agar memahami hak mereka untuk berpartisipasi dalam membangun kehidupan bersama secara benar dan jujur. Aktivis LSM, agama, media/pers, intelektual/ilmuwan dan mahasiswa bersatu hati dalam mendampingi dan membangun kesadaran kritis. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap proses pembodohan yang selama dalam kenyataan pemilu/pemilu kada dilakukan secara struktural dan sistematis oleh parpol pengusung, tim sukses dan relawan yang dibayar para calon.
Prinsip para bandit adalah menempuh segala cara asalkan lolos ke kursi kekuasaan. Inilah alarm bahaya bagi kehidupan berdemokrasi kita. Saat berkuasa nanti, para bandit akan terus menjarah kekayaan rakyat. Maka advokasi kritis adalah medium politik untuk menghentikan laju kejahatan para bandit. Demokrasi memang memiliki banyak kelemahan tapi hingga detik ini masih diyakini sebagai jalan terbaik untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Hanya dengan kecerdasan, kita dapat mempersempit ruang terjang para bandit yang akan terus berkeliaran menguras kekayaan sambil menetaskan bandit-bandit berikutnya. *

Mahasiswa Magister Jurnalistik IISIP Jakarta

Ke Masyarakat, Bukan ke Barak

Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD

SETELAH kematian Charles Mali dan ibunya, Modesta Mau, muncul reaksi masyarakat dalam berbagai bentuk. Berbagai demonstrasi, pernyataan sikap lembaga-lembaga masyarakat maupun DPRD serta opini koran berusaha menyuarakan pengutukan masyarakat atas kejadian tersebut dan menyampaikan tuntutan warga baik mengenai penyelesaian kasus ini maupun konsekuensi yang diambil pasca tindak kejahatan ini.
Ada tuntutan untuk menempuh jalur hukum sipil untuk proses peradilan terhadap para pelaku yang dikawal masyarakat dan DPRD dan dilaksanakan di Atambua. Ada yang mendesak TNI untuk membubarkan Yonif 774/Satya Yudha Bakti (SYB) karena lebih banyak meresahkan daripada memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap warga. Mgr. Dominikus Saku, Pr, Uskup Atambua, menuntut dengan tegas bahwa TNI sebagai lembaga harus bertanggung jawab atas kasus ini.
Tuntutan tanggung jawab kelembagaan ini tampaknya sangat berdasar, apabila kronologi peristiwa yang dipaparkan Heri Mali, kakak kandung Charles sebagaimana diberitakan media ini benar (PK 19/3/2011). Mali mengungkapkan bagaimana mereka disiksa di tempat dan dalam ruangan umum lembaga. Kendati boleh jadi tidak ada perintah resmi, namun pembiaran atas tindak kekerasan yang dilaksanakan secara terbuka merupakan satu masalah yang mesti menjadi tanggung jawab TNI sebagai lembaga.
Seruan dan pernyataan sikap tidak hanya datang dari dalam negeri. Dari luar negeri pernyataan sikap misalnya datang dari kelompok yang menyebut diri Forum Peduli Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup (FPK&LH), Melbourne, Australia. Yang menarik, forum ini melihat kematian Ibu Modesta Mau, mama dari Charles Mali, sebagai bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI.
Forum yang mengeluarkan pernyataannya pada tanggal 19 Maret 2011 ini menyampaikan lima butir pernyataan sikap. Pertama, forum menilai tindakan anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB) yang berakibat pada kematian Charles Mali sebagai tindakan pelanggaran HAM berat.
Kedua, Forum mendukung pernyataan Mgr. Domi Saku, Pr, Uskup Atambua, yang menuntut agar para pelaku dalam kasus ini dihukum dalam proses peradilan sipil.
Ketiga, agar para anggota TNI yang terlibat baik sebagai pelaku penganiayaan maupun sebagai pemberi perintah segera diproses secara hukum dan dikenakan sanksi.

Keempat, mendesak TNI untuk memberikan ganti rugi kepada keluarga korban seperti biaya perawatan dan pemakaman serta biaya sekolah anak-anak yang ditinggalkan. Butir terakhir pernyataan sikap forum berkaitan dengan Komnas HAM yang didesak untuk memperhatikan persoalan ini, melakukan investigasi atasnya dan menyampaikannya secara terbuka kepada masyarakat.
Kendati tidak secara eksplisit, pernyataan sikap forum ini pun sebenarnya menghendaki agar TNI harus menyadari dirinya sebagai alat pertahanan negara yang memiliki peran dan fungsi yang diatur berdasarkan perundangan yang telah ditetapkan. Apa yang perlu dilakukan agar TNI dapat semakin berkonsentrasi pada tugas utamanya dan tidak menjadi lembaga yang dimusuhi rakyat karena tindakan para anggotanya yang arogan dan penuh kekerasan?
Salah satu tajuk Pos Kupang beberapa hari setelah kejadian di Atambua diberi judul Kembali ke Barak. Kembali ke barak dilihat sebagai jalan untuk menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang mesti bebas dari peran politik. Tajuk itu menulis "Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja." Kembali ke barak membiarkan tentara tinggal di wilayah sendiri, bersosialisasi terutama dengan kelompok dari jenis pekerjaan yang sama.
Hemat saya, untuk mengembalikan TNI sebagai alat pertahanan negara, tidak tepat kalau opsi yang diambil adalah mengembalikan tentara ke barak. Barak sebagai tempat pemukiman tentara dibangun dengan uang negara. Ini berarti para anggota TNI adalah satu dari sedikit kelompok dalam negara ini yang mendapat privilese mendapat fasilitas negara sebagai tempat tinggal dan bersosialisasi.
Bukan hanya itu. Barak-barak biasanya dijaga dengan pos pengamanan khusus oleh tentara yang juga dibayar oleh negara. Petugas penjaga keamanan barak adalah petugas negara. Dengan ini, tentara masuk ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi dari warga negara kita yang diberi hak istimewa seperti ini.
Dengan cara seperti ini, sebenarnya kehidupan privat para tentara dan peran publik mereka sebagai alat negara tidak dibedakan secara tegas. Tentara bukan sekadar pekerjaan yang harus ditangani secara profesional, tetapi serentak satu gaya hidup pribadi secara keseluruhan. Akibatnya, sedang bertugas atau tidak, seorang tentara selalu dan di mana-mana menampilkan diri, berperilaku dan menuntut diperlakukan sebagai tentara.
Ketidaktegasan pemisahan kehidupan privat dan peran publik para tentara sebenarnya merupakan akibat lanjut dari dikotomi yang ada dalam negara kita antara sipil dan militer. Warga dibagi dalam kelompok sipil dan militer. Dengan ini, kita tidak melihat militer sebagai jenis pekerjaan, tetapi sebagai jenis warga negara. Kita mengeksklusifkan tentara dari kehidupan warga yang lain.

Reformasi militer di Indonesia baru akan sungguh mengubah citra TNI dan pola pendekatan mereka dengan seluruh warga, apabila menjadi tentara dilihat sebagai pekerjaan yang dilaksanakan seperti jenis pekerjaan lain yang dibutuhkan negara demi pelayanannya kepada para warga. Dalam pelayanan tersebut, negara memerlukan jenis pekerjaan sipil dan militer. Yang dikategorikan dalam sipil dan militer adalah jenis pekerjaan, bukan warga negara. Kalau kita menentukan ketentaraan sebagai jenis pekerjaan, maka negara diwajibkan untuk memberikan fasilitas kepada tentara sebagaimana kepada para abdi negara lainnya. Tidak ada pembedaan yang tidak masuk akal dan tidak membantu pelaksanaan tugas pelayanan negara.
Termasuk dalam revisi atas dikotonomi sipil dan militer adalah hak yang diberikan untuk melaksanakan pengadilan militer. Pengadilan militer boleh jadi dibutuhkan untuk memberikan sanksi disipliner kelembagaan. Tetapi sanksi ini tidak meniadakan proses hukum kewargaan yang lazim disebut sebagai hukum sipil. Seperti seorang guru yang mendapat pengaduan karena memukul muridnya, diberikan sanksi oleh instansinya, demikian pun tentara yang kedapatan dan terbukti melakukan kekerasan terhadap warga perlu mendapat sanksi dari lembaganya, yang bisa berupa pemecatan dari statusnya sebagai tentara. Namun, sebagaimana sanksi yang dijatuhkan oleh lembaga pendidikan tidak membatalkan hak keluarga si murid untuk memroses sang guru secara hukum, demikian pun keputusan lembaga TNI sama sekali tidak dapat dilihat sebagai kata akhir yang menutup satu perkara kekerasan yang dilakukan anggota TNI. Proses hukum 'sipil' yang dilaksanakan secara terbuka dan dikawal oleh elemen warga adalah langkah yang mesti dilakukan atas tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI.
Yang mesti kita usahakan dalam reformasi TNI adalah mengembalikan para tentara ke masyarakat, bukan ke barak. Mengembalikan TNI ke barak berarti menjadikan mereka entitas yang tidak terkontrol oleh warga. Para tentara harus menjadi bagian utuh dari warga, yang tinggal bersama warga, membagi hak dan kewajiban kewarganegaraan yang sama dengan para negara lainnya.
Menolak mengembalikan TNI ke barak tidak berarti menolak adanya markas TNI. TNI, sebagaimana semua instansi negara lainnya, perlu mempunyai lokasi pelayanan tersendiri. TNI pun memerlukan fasilitas untuk melatih para anggotanya melaksakan tugas pertahanan dan gudangnya sendiri. Namun, semua itu adalah lokasi ini adalah tempat kerja para tentara yang harus dibedakan dari tempat hidup para tentara.*

Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores