Tuesday, March 29, 2011

Ke Masyarakat, Bukan ke Barak

Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD

SETELAH kematian Charles Mali dan ibunya, Modesta Mau, muncul reaksi masyarakat dalam berbagai bentuk. Berbagai demonstrasi, pernyataan sikap lembaga-lembaga masyarakat maupun DPRD serta opini koran berusaha menyuarakan pengutukan masyarakat atas kejadian tersebut dan menyampaikan tuntutan warga baik mengenai penyelesaian kasus ini maupun konsekuensi yang diambil pasca tindak kejahatan ini.
Ada tuntutan untuk menempuh jalur hukum sipil untuk proses peradilan terhadap para pelaku yang dikawal masyarakat dan DPRD dan dilaksanakan di Atambua. Ada yang mendesak TNI untuk membubarkan Yonif 774/Satya Yudha Bakti (SYB) karena lebih banyak meresahkan daripada memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap warga. Mgr. Dominikus Saku, Pr, Uskup Atambua, menuntut dengan tegas bahwa TNI sebagai lembaga harus bertanggung jawab atas kasus ini.
Tuntutan tanggung jawab kelembagaan ini tampaknya sangat berdasar, apabila kronologi peristiwa yang dipaparkan Heri Mali, kakak kandung Charles sebagaimana diberitakan media ini benar (PK 19/3/2011). Mali mengungkapkan bagaimana mereka disiksa di tempat dan dalam ruangan umum lembaga. Kendati boleh jadi tidak ada perintah resmi, namun pembiaran atas tindak kekerasan yang dilaksanakan secara terbuka merupakan satu masalah yang mesti menjadi tanggung jawab TNI sebagai lembaga.
Seruan dan pernyataan sikap tidak hanya datang dari dalam negeri. Dari luar negeri pernyataan sikap misalnya datang dari kelompok yang menyebut diri Forum Peduli Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup (FPK&LH), Melbourne, Australia. Yang menarik, forum ini melihat kematian Ibu Modesta Mau, mama dari Charles Mali, sebagai bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI.
Forum yang mengeluarkan pernyataannya pada tanggal 19 Maret 2011 ini menyampaikan lima butir pernyataan sikap. Pertama, forum menilai tindakan anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB) yang berakibat pada kematian Charles Mali sebagai tindakan pelanggaran HAM berat.
Kedua, Forum mendukung pernyataan Mgr. Domi Saku, Pr, Uskup Atambua, yang menuntut agar para pelaku dalam kasus ini dihukum dalam proses peradilan sipil.
Ketiga, agar para anggota TNI yang terlibat baik sebagai pelaku penganiayaan maupun sebagai pemberi perintah segera diproses secara hukum dan dikenakan sanksi.

Keempat, mendesak TNI untuk memberikan ganti rugi kepada keluarga korban seperti biaya perawatan dan pemakaman serta biaya sekolah anak-anak yang ditinggalkan. Butir terakhir pernyataan sikap forum berkaitan dengan Komnas HAM yang didesak untuk memperhatikan persoalan ini, melakukan investigasi atasnya dan menyampaikannya secara terbuka kepada masyarakat.
Kendati tidak secara eksplisit, pernyataan sikap forum ini pun sebenarnya menghendaki agar TNI harus menyadari dirinya sebagai alat pertahanan negara yang memiliki peran dan fungsi yang diatur berdasarkan perundangan yang telah ditetapkan. Apa yang perlu dilakukan agar TNI dapat semakin berkonsentrasi pada tugas utamanya dan tidak menjadi lembaga yang dimusuhi rakyat karena tindakan para anggotanya yang arogan dan penuh kekerasan?
Salah satu tajuk Pos Kupang beberapa hari setelah kejadian di Atambua diberi judul Kembali ke Barak. Kembali ke barak dilihat sebagai jalan untuk menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang mesti bebas dari peran politik. Tajuk itu menulis "Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja." Kembali ke barak membiarkan tentara tinggal di wilayah sendiri, bersosialisasi terutama dengan kelompok dari jenis pekerjaan yang sama.
Hemat saya, untuk mengembalikan TNI sebagai alat pertahanan negara, tidak tepat kalau opsi yang diambil adalah mengembalikan tentara ke barak. Barak sebagai tempat pemukiman tentara dibangun dengan uang negara. Ini berarti para anggota TNI adalah satu dari sedikit kelompok dalam negara ini yang mendapat privilese mendapat fasilitas negara sebagai tempat tinggal dan bersosialisasi.
Bukan hanya itu. Barak-barak biasanya dijaga dengan pos pengamanan khusus oleh tentara yang juga dibayar oleh negara. Petugas penjaga keamanan barak adalah petugas negara. Dengan ini, tentara masuk ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi dari warga negara kita yang diberi hak istimewa seperti ini.
Dengan cara seperti ini, sebenarnya kehidupan privat para tentara dan peran publik mereka sebagai alat negara tidak dibedakan secara tegas. Tentara bukan sekadar pekerjaan yang harus ditangani secara profesional, tetapi serentak satu gaya hidup pribadi secara keseluruhan. Akibatnya, sedang bertugas atau tidak, seorang tentara selalu dan di mana-mana menampilkan diri, berperilaku dan menuntut diperlakukan sebagai tentara.
Ketidaktegasan pemisahan kehidupan privat dan peran publik para tentara sebenarnya merupakan akibat lanjut dari dikotomi yang ada dalam negara kita antara sipil dan militer. Warga dibagi dalam kelompok sipil dan militer. Dengan ini, kita tidak melihat militer sebagai jenis pekerjaan, tetapi sebagai jenis warga negara. Kita mengeksklusifkan tentara dari kehidupan warga yang lain.

Reformasi militer di Indonesia baru akan sungguh mengubah citra TNI dan pola pendekatan mereka dengan seluruh warga, apabila menjadi tentara dilihat sebagai pekerjaan yang dilaksanakan seperti jenis pekerjaan lain yang dibutuhkan negara demi pelayanannya kepada para warga. Dalam pelayanan tersebut, negara memerlukan jenis pekerjaan sipil dan militer. Yang dikategorikan dalam sipil dan militer adalah jenis pekerjaan, bukan warga negara. Kalau kita menentukan ketentaraan sebagai jenis pekerjaan, maka negara diwajibkan untuk memberikan fasilitas kepada tentara sebagaimana kepada para abdi negara lainnya. Tidak ada pembedaan yang tidak masuk akal dan tidak membantu pelaksanaan tugas pelayanan negara.
Termasuk dalam revisi atas dikotonomi sipil dan militer adalah hak yang diberikan untuk melaksanakan pengadilan militer. Pengadilan militer boleh jadi dibutuhkan untuk memberikan sanksi disipliner kelembagaan. Tetapi sanksi ini tidak meniadakan proses hukum kewargaan yang lazim disebut sebagai hukum sipil. Seperti seorang guru yang mendapat pengaduan karena memukul muridnya, diberikan sanksi oleh instansinya, demikian pun tentara yang kedapatan dan terbukti melakukan kekerasan terhadap warga perlu mendapat sanksi dari lembaganya, yang bisa berupa pemecatan dari statusnya sebagai tentara. Namun, sebagaimana sanksi yang dijatuhkan oleh lembaga pendidikan tidak membatalkan hak keluarga si murid untuk memroses sang guru secara hukum, demikian pun keputusan lembaga TNI sama sekali tidak dapat dilihat sebagai kata akhir yang menutup satu perkara kekerasan yang dilakukan anggota TNI. Proses hukum 'sipil' yang dilaksanakan secara terbuka dan dikawal oleh elemen warga adalah langkah yang mesti dilakukan atas tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI.
Yang mesti kita usahakan dalam reformasi TNI adalah mengembalikan para tentara ke masyarakat, bukan ke barak. Mengembalikan TNI ke barak berarti menjadikan mereka entitas yang tidak terkontrol oleh warga. Para tentara harus menjadi bagian utuh dari warga, yang tinggal bersama warga, membagi hak dan kewajiban kewarganegaraan yang sama dengan para negara lainnya.
Menolak mengembalikan TNI ke barak tidak berarti menolak adanya markas TNI. TNI, sebagaimana semua instansi negara lainnya, perlu mempunyai lokasi pelayanan tersendiri. TNI pun memerlukan fasilitas untuk melatih para anggotanya melaksakan tugas pertahanan dan gudangnya sendiri. Namun, semua itu adalah lokasi ini adalah tempat kerja para tentara yang harus dibedakan dari tempat hidup para tentara.*

Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

1 comment:

Anonymous said...

tulisan bagus