Thursday, July 2, 2020

Melampaui Cinta

Seorang perempuan cacat tanpa tangan, hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh seorang laki-laki yang adalah anak dari seorang pejabat. Pernikahan mereka direstui oleh kedua orang tua laki-laki. Pesta pernikahan terlaksana begitu meriah. Para undangan yang datang, umumnya merasa terharu sekaligus bangga atas keputusan mempelai laki-laki.  Para undangan terharu melihat kondisi mempelai wanita yang tidak memiliki kedua tangannya.

Wanita ini hidup di panti asuhan karena sejak dilahirkan oleh ibunya di rumah sakit dan ternyata kondisi tubuhnya yang cacat, terutama kedua tangan, membuat kedua orang tua meninggalkan bayi itu. Bayi itu kemudian dititipkan pada salah satu panti asuhan di Yogyakarta. Ia dididik dan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi, perempuan ini tidak mau mencari pekerjaan lain tetapi memutuskan untuk kembali bekerja pada panti asuhan yang telah membesarkannya.

Pernikahan mereka merupakan sebuah keputusan yang baik dan unik karena pasti melewati proses yang panjang. Proses itu memberikan sebuah pencerahan baru untuk bagaimana memahami dan menerima orang lain sebagai bagian penting dalam hidup. Mencintai orang yang cacat dan memutuskan untuk menikahinya adalah upaya menggempur ego dan berani keluar dari diri untuk menerima orang lain dengan apa adanya. Pernikahan mereka merupakan sebuah cara untuk mengingatkan pada publik bahwa orang-orang cacat, karena cinta  juga mencintai orang-orang normal secara fisik.

Cinta itu melampaui segala-galanya. Karena cinta maka si lelaki itu berani memutuskan untuk menikahi perempuan cacat itu. Yang membuat pernikahan itu sedikit bergengsi karena laki-laki (mempelai laki-laki) berasal dari golongan kaya dan anak dari orang terpandang. Keputusannya didukung juga oleh keluarganya, terutama ayanya  yang memiliki jabatan penting. Cinta mengalahkan segala-galanya, termasuk jabatan. Cinta menjadi daya tarik dan masuk ke dalam seluruh lini kehidupan.

Pernikahan mereka merupakan bagian penting untuk menerima diri dan orang lain. Cinta itu bisa hidup dan bersemi ketika kedua belah pihak bisa menerima dan menghidupkannya. Tanpa sikap penerimaan yang baik maka cinta tidak bisa bertumbuh secara baik. Cinta itu tumbuh di mana ada lahan subur, tempat berseminya benih-benih cinta itu. “Cinta bukanlah untuk mengharapkan pemberian. Cinta adalah tentang keanggunan hati untuk memberi. “Tidak sedikit orang baru belajar mencintai dengan lembut dan mesra hanya setelah kekasih mereka mencintai orang lain.” ***(Valery Kopong)

 

 

 

Rahmat Pengampunan

Pada saat saya mengikuti " live in" di lereng gunung merapi, saya merasa ada praktek rohani yang pantas diteladani. Apa itu? Beberapa umat katolik yang akan mengikuti perayaan ekaristi melaksanakan pengakuan dosa. Mereka menyadari betapa hati mereka rapuh dan banyak dosa, maka mereka mengaku dosa sebelum menerima komuni suci, sehingga mereka merasa pantas untuk menyambut Yesus.

Saya rasa praktek rohani ini hendaknya menjadi refleksi kita bersama. Banyak umat saat ini yang diberi kesempatan untuk menerima sakramen pengakuan dosa tidak memanfaatkan rahmat sakramen pengampunan dosa itu dengan baik. Kapan terakhir kita menerima sakramen pengakuan dosa?

Bacaan Iniil pada hari  ini mengajarkan dan mengingatkaan kepada kita betapa rahmat sakramen pengampunan dosa sangat dibutuhkan bagi pemulihan kehidupan rohani kita. Yesus menyembuhkan orang sakit lumpuh. Yesus bersabda, "Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni."

Dosa membuat hati kita lumpuh, hati kita terbebani rasa tidak damai. Dosa membuat langkah hidup kita  makin terasa berat, sehingga kita tidak semangat untuk menjalani kehidupan kita. Pasti kita tidak ingin hati kita terasa lumpuh dan langkah kehidupan kita makin berat. Marilah kita datang kepada Yesus dalam ruang bilik pengakuan dosa, melepaskan hati kita dari dosa dan meringankan kelumpuhan rohani yang kita rasakan, sehingga kita dapat berjalan dan melangkah dengan bahagia serta memuliakan Allah.***

(Inspirasi :Matius 9:1-8, 02 Juli, Suhardi )

Wednesday, July 1, 2020

Jalan Kemiskinan

Ketika berkorban untuk orang lain, setiap kita pasti mempertimbangkan untung-rugi dari nilai sebuah pengorbanan yang kita berikan padanya. Apakah pengorbanan diri yang saya berikan itu bisa mendatangkan keuntungan bagi diriku atau sebaliknya mendatangkan kerugian? Pertimbangan-pertimbangan seperti ini lahir dari sebuah aspek kemanusiaan yang tidak bisa dihindari. Dalam proses mempertimbangakan dua sisi dari pengorbanan itu, memunculkan pertanyaan sebagai bahan pergumulan refleksi kita. Untuk apa dan siapa kita berkorban? Pertanyaan ini  menjadi penting ketika seluruh tindakan kita yang mengarah pada orang lain kita refleksikan secara mendalam. Karena di balik refleksi itu, kita menggali nilai dari sebuah pengorbanan.

Santo Fransiskus dari Asisi misalnya, sudah memperlihatkan nilai pengorbanan di mana ia berani melepaskan kelekatan duniawi dan berani untuk menjalani jalan kemiskinan yang terarah kepada Kristus yang telah mengorbankan diri di kayu salib demi menebus dosa-dosa manusia. Salib yang membahasakan kisah pengorbanan diri secara utuh sekaligus menjadi sebuah daya tarik bagi mereka yang benar-benar secara radikal mengikuti-Nya. Salib menjadi sebuah bentuk sapaan dan  mengandung nilai edukasi mendalam terhadap para pengikut-Nya. Santo Fransiskus yang sebelumnya hidup dalam kelimpahan kekayaan namun pada akhirnya berani melepaskan kekayaan itu demi tujuan yang lebih mulia.

Kekayaan yang menjadi kelekatan selama itu sebagian besar dijual dan hasilnya dibagi kepada orang-orang miskin yang dijumpainya di  jalan. Orang-orang miskin sepertinya membuka ruang dan jalan bagi Fransiskus Asisi untuk bermati raga serta beramal baik. Karena orang-orang miskin pula maka bisa menggerakkan kesadarannya untuk berbuat sesuatu terutama bagaimana berkorban untuk mereka dan melepaskan kenikmatan duniawi yang terkadang membelenggu kebebasan bagi orang-orang kaya untuk tidak menatap orang-orang miskin.

Ketika dipilih menjadi Paus, Kardinal Jorge Mario Borgoglio, memilih nama Paus Fransiskus. Memang, latar belakang wilayah keuskupan Argentina, Amerika Latin telah mengantarnya untuk lebih banyak berpihak dan terlibat dengan orang-orang miskin  serta berani menyuarakan kebenaran bagi mereka yang tertindas untuk rezim penguasa. Pengalaman pergumulan dan sentuhan dengan orang-orang miskin sepertinya ada ikatan emosional yang sangat kuat dengan kehidupan Fransiskus Asisi di saman lampau. Paus Fransiskus adalah seorang Jesuit (Serikat Jesuit) namun semangat yang ada di dalam dirinya adalah semangat Fransiskan, yang lebih memilih untuk menjalani jalan kemiskinan.

Misi Gereja adalah bergumul dan membela orang-orang kecil. Semangat ini coba dihidupkan lagi oleh Paus Fransiskus dan mungkin juga mengingatkan Gereja akan  roh pergerakan yang bermuara pada orang-orang miskin. Paus  yang “Jesuit”  namun bersemangat “Fransiskan”  hadir untuk menggugah kesadaran baru pada Gereja yang terkesan tenggelam dalam elitisme.*** (Valery Kopong)