Ketika berkorban untuk orang lain, setiap kita pasti mempertimbangkan untung-rugi dari nilai sebuah pengorbanan yang kita berikan padanya. Apakah pengorbanan diri yang saya berikan itu bisa mendatangkan keuntungan bagi diriku atau sebaliknya mendatangkan kerugian? Pertimbangan-pertimbangan seperti ini lahir dari sebuah aspek kemanusiaan yang tidak bisa dihindari. Dalam proses mempertimbangakan dua sisi dari pengorbanan itu, memunculkan pertanyaan sebagai bahan pergumulan refleksi kita. Untuk apa dan siapa kita berkorban? Pertanyaan ini menjadi penting ketika seluruh tindakan kita yang mengarah pada orang lain kita refleksikan secara mendalam. Karena di balik refleksi itu, kita menggali nilai dari sebuah pengorbanan.
Santo Fransiskus dari Asisi misalnya, sudah memperlihatkan nilai pengorbanan di mana ia berani melepaskan kelekatan duniawi dan berani untuk menjalani jalan kemiskinan yang terarah kepada Kristus yang telah mengorbankan diri di kayu salib demi menebus dosa-dosa manusia. Salib yang membahasakan kisah pengorbanan diri secara utuh sekaligus menjadi sebuah daya tarik bagi mereka yang benar-benar secara radikal mengikuti-Nya. Salib menjadi sebuah bentuk sapaan dan mengandung nilai edukasi mendalam terhadap para pengikut-Nya. Santo Fransiskus yang sebelumnya hidup dalam kelimpahan kekayaan namun pada akhirnya berani melepaskan kekayaan itu demi tujuan yang lebih mulia.
Kekayaan yang menjadi kelekatan selama itu sebagian besar dijual dan hasilnya dibagi kepada orang-orang miskin yang dijumpainya di jalan. Orang-orang miskin sepertinya membuka ruang dan jalan bagi Fransiskus Asisi untuk bermati raga serta beramal baik. Karena orang-orang miskin pula maka bisa menggerakkan kesadarannya untuk berbuat sesuatu terutama bagaimana berkorban untuk mereka dan melepaskan kenikmatan duniawi yang terkadang membelenggu kebebasan bagi orang-orang kaya untuk tidak menatap orang-orang miskin.
Ketika dipilih menjadi Paus, Kardinal Jorge Mario Borgoglio, memilih nama Paus Fransiskus. Memang, latar belakang wilayah keuskupan Argentina, Amerika Latin telah mengantarnya untuk lebih banyak berpihak dan terlibat dengan orang-orang miskin serta berani menyuarakan kebenaran bagi mereka yang tertindas untuk rezim penguasa. Pengalaman pergumulan dan sentuhan dengan orang-orang miskin sepertinya ada ikatan emosional yang sangat kuat dengan kehidupan Fransiskus Asisi di saman lampau. Paus Fransiskus adalah seorang Jesuit (Serikat Jesuit) namun semangat yang ada di dalam dirinya adalah semangat Fransiskan, yang lebih memilih untuk menjalani jalan kemiskinan.
Misi Gereja adalah bergumul dan membela orang-orang kecil. Semangat ini coba dihidupkan lagi oleh Paus Fransiskus dan mungkin juga mengingatkan Gereja akan roh pergerakan yang bermuara pada orang-orang miskin. Paus yang “Jesuit” namun bersemangat “Fransiskan” hadir untuk menggugah kesadaran baru pada Gereja yang terkesan tenggelam dalam elitisme.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment