Friday, July 3, 2020

Mementingkan Tuhan Dalam Hidup

Beberapa tahun lalu, ketika masih berkecimpung di gereja untuk mengelola sebuah media cetak, redaksi sempat mewawancarai seorang koster yang hidupnya sederhana. Sehari-hari ia menyiapkan peralatan misa untuk digunakan oleh imam dalam mempersembahkan Ekaristi. Di samping itu juga ia  membersihkan gereja dan area seputar gereja. Pekerjaan sebagai koster ia lakoni dengan cinta penuh tulus. Karena baginya melayani Tuhan dengan mempersiapkan seluruh keperluan yang digunakan dalam perayaan Ekaristi merupakan suatu nilai lebih di hadapan Tuhan.

Namun pengorbanan tulus seorang koster ini belum tentu diimbangi dengan kehidupan ekonomi yang baik dan mapan. Sejak jadi stasi, koster ini terus menghidupi gereja dengan berbekal kepercayaan dari seorang romo berkebangsaan Jerman. Namun sejak kematian romo yang mempercayakan untuk mengurusi stasi ini, ia merasa kehilangan. Namun hari demi hari dilakoni dengan tulus terutama melayani Tuhan dengan menempatkan diri sebagai seorang koster.

Sejak pergantian romo, pada saat yang sama, perhatiannya juga sedikit berbeda, terutama dalam kaitan dengan finansial. Ketika gereja itu beralih status menjadi sebuah paroki maka pada saat yang sama terjadi pembenahan secara menyeluruh. Koster ini dikasih honor yang terbilang sedikit. Walaupun honorarium ini terbilang sedikit tapi lumayan untuk mencukupi satu orang ketika hidup di kota-kota besar. Tetapi menjadi persoalan adalah bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya dengan mengandalkan uang itu? Pertanyaan ini terus menghantuinya ketika melakoni pekerjaan di seputar altar, terutama menyiapkan peralatan misa.

Memang, “mamon” selalu memberikan rasa gelisah pada setiap orang. Mamon yang cukup bisa memberikan ketenangan hidup tetapi jika mamon itu berkurang maka pikiran setiap orang yang menggunakan mamon itu pun semakin gelisah. Hal yang sama juga dialami oleh koster itu. Suatu malam ia merenung di dalam gereja dan pada akhirnya mengambil sebuah keputusan untuk bekerja di luar gereja agar  kebutuhan hidup bisa tercukupi. Baginya, gereja hanya memberikan ketenangan hidup secara batiniah tetapi tidak memberikan kemapanan hidup secara finansial.

Keputusannya sudah bulat dan tekadnya semakin teguh untuk segera mengeksekusi keputusan itu. Koster itu mencoba untuk melamar pekerjaan di luar. Hampir enam bulan ia mencari pekerjaan melalui sahabat / kenalan dan juga melamar. Namun perjuangannya sia-sia belaka karena semakin ia gencar melakukan pencarian pekerjaan tetapi pada saat yang sama ia menemukan jalan buntu. Ia kecewa terhadap Tuhan. Ia lelah di hadapan-Nya.

Dalam suasana kecewa dan dibalut dengan pikiran yang carut-marut, ia kembali bersimpuh pada Tuhan dalam doa-doa pribadi. Dia masuk ke dalam gereja, tempat ia melayani setiap hari, ia mulai memanjatkan doa agar Tuhan memberikan jalan terbaik baginya. Dalam doa itu, ia pada akhirnya menemukan sebuah gagasan baru. Karena di luar gereja ia tidak pernah mendapatkan pekerjaan maka ia memutuskan untuk tetap bekerja sebagai koster. Namun untuk mengimbangi kehidupan ekonomi, ia mulai menghimpun beberapa orang tukang batu. Team tukang batu yang dibentuknya merupakan wadah baginya untuk bisa bekerja membangun rumah-rumah warga dan koster ini berperan sebagai pemborong.

Sambil bekerja sebagai koster, ia mencoba mencari rumah-rumah yang hendak dibangun dan menawarkan tukang-tukangnya untuk membangun rumah itu. Ternyata, orderan semakin banyak, bahkan ia kewalahan melayani permintaan warga untuk mengerjakan rumah-rumah.

Pesan penting dari pengalaman koster bahwa ketika kita bekerja dan mementingkan Tuhan dalam hidup maka semuanya akan terlaksana secara baik. Atau meminjam bahasa kitab suci, “carilah dahulu kerajaan Allah maka semua akan mengikutinya.” Pengalaman iman yang sederhana ini mengajarkan kita bahwa melayani Tuhan di seputar altar merupakan hal pertama yang harus dilakoni. Karena itu setelahnya Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih pada kita. Pengalaman iman dari sang koster juga menjadi pengalaman berharga buat kita dalam menjalani hidup ini. *** (Valery Kopong)    

 

Bersikap Kritis dan Selektif

Dari kisah Injil pada hari ini,mungkin kita dapat merefleksikan bahwa Tomas adalah salah satu murid Yesus yang selektif dan kritis terhadap berita yang dia terima. Sikap selektif dan kritis itu untuk menunjukkan kebenaran berita itu. Hal itu nampak ketika dia mendengar berita tentang kebangkitan Yesus, dia tidak langsung percaya. Dia tidak menerima begitu saja berita itu. Dia harus menunjukkan kebenaran berita itu. Dia berkata,"Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya, dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya,aku sama sekali tidak akan percaya." Dan ketika Yesus berdiri di depan dirinya sambil menunjukkan tangan dan lambung-Nya,barulah dia percaya bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati. Yesus bersabda,"Karena telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat,namun percaya."

Sikap kritis dan selektif Tomas ini dapat kita teladani,karena dalam dunia saat ini,kita begitu mudah mendapat atau mendengar informasi dari orang lain. Kita harus bersikap kritis dan selektif terhadap berita itu, apakah berita itu hanya sebuah hoax atau sebuah fakta.Kita ngak boleh menerima sebuah gosip, bisa jadi itu hanya sebuah fitnah untuk menjatuhkan nama baik orang lain. Dengan kata lain, kebenaran berita itu harus dicari kebenarannya dan diketahui bahwa berita itu benar adanya, barulah kita mempercayai kebenaran berita itu.

( inspirasi:Yohanes 20:24-29, 03 Juli,Suhardi )

Thursday, July 2, 2020

Melampaui Cinta

Seorang perempuan cacat tanpa tangan, hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh seorang laki-laki yang adalah anak dari seorang pejabat. Pernikahan mereka direstui oleh kedua orang tua laki-laki. Pesta pernikahan terlaksana begitu meriah. Para undangan yang datang, umumnya merasa terharu sekaligus bangga atas keputusan mempelai laki-laki.  Para undangan terharu melihat kondisi mempelai wanita yang tidak memiliki kedua tangannya.

Wanita ini hidup di panti asuhan karena sejak dilahirkan oleh ibunya di rumah sakit dan ternyata kondisi tubuhnya yang cacat, terutama kedua tangan, membuat kedua orang tua meninggalkan bayi itu. Bayi itu kemudian dititipkan pada salah satu panti asuhan di Yogyakarta. Ia dididik dan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi, perempuan ini tidak mau mencari pekerjaan lain tetapi memutuskan untuk kembali bekerja pada panti asuhan yang telah membesarkannya.

Pernikahan mereka merupakan sebuah keputusan yang baik dan unik karena pasti melewati proses yang panjang. Proses itu memberikan sebuah pencerahan baru untuk bagaimana memahami dan menerima orang lain sebagai bagian penting dalam hidup. Mencintai orang yang cacat dan memutuskan untuk menikahinya adalah upaya menggempur ego dan berani keluar dari diri untuk menerima orang lain dengan apa adanya. Pernikahan mereka merupakan sebuah cara untuk mengingatkan pada publik bahwa orang-orang cacat, karena cinta  juga mencintai orang-orang normal secara fisik.

Cinta itu melampaui segala-galanya. Karena cinta maka si lelaki itu berani memutuskan untuk menikahi perempuan cacat itu. Yang membuat pernikahan itu sedikit bergengsi karena laki-laki (mempelai laki-laki) berasal dari golongan kaya dan anak dari orang terpandang. Keputusannya didukung juga oleh keluarganya, terutama ayanya  yang memiliki jabatan penting. Cinta mengalahkan segala-galanya, termasuk jabatan. Cinta menjadi daya tarik dan masuk ke dalam seluruh lini kehidupan.

Pernikahan mereka merupakan bagian penting untuk menerima diri dan orang lain. Cinta itu bisa hidup dan bersemi ketika kedua belah pihak bisa menerima dan menghidupkannya. Tanpa sikap penerimaan yang baik maka cinta tidak bisa bertumbuh secara baik. Cinta itu tumbuh di mana ada lahan subur, tempat berseminya benih-benih cinta itu. “Cinta bukanlah untuk mengharapkan pemberian. Cinta adalah tentang keanggunan hati untuk memberi. “Tidak sedikit orang baru belajar mencintai dengan lembut dan mesra hanya setelah kekasih mereka mencintai orang lain.” ***(Valery Kopong)

 

 

 

Rahmat Pengampunan

Pada saat saya mengikuti " live in" di lereng gunung merapi, saya merasa ada praktek rohani yang pantas diteladani. Apa itu? Beberapa umat katolik yang akan mengikuti perayaan ekaristi melaksanakan pengakuan dosa. Mereka menyadari betapa hati mereka rapuh dan banyak dosa, maka mereka mengaku dosa sebelum menerima komuni suci, sehingga mereka merasa pantas untuk menyambut Yesus.

Saya rasa praktek rohani ini hendaknya menjadi refleksi kita bersama. Banyak umat saat ini yang diberi kesempatan untuk menerima sakramen pengakuan dosa tidak memanfaatkan rahmat sakramen pengampunan dosa itu dengan baik. Kapan terakhir kita menerima sakramen pengakuan dosa?

Bacaan Iniil pada hari  ini mengajarkan dan mengingatkaan kepada kita betapa rahmat sakramen pengampunan dosa sangat dibutuhkan bagi pemulihan kehidupan rohani kita. Yesus menyembuhkan orang sakit lumpuh. Yesus bersabda, "Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni."

Dosa membuat hati kita lumpuh, hati kita terbebani rasa tidak damai. Dosa membuat langkah hidup kita  makin terasa berat, sehingga kita tidak semangat untuk menjalani kehidupan kita. Pasti kita tidak ingin hati kita terasa lumpuh dan langkah kehidupan kita makin berat. Marilah kita datang kepada Yesus dalam ruang bilik pengakuan dosa, melepaskan hati kita dari dosa dan meringankan kelumpuhan rohani yang kita rasakan, sehingga kita dapat berjalan dan melangkah dengan bahagia serta memuliakan Allah.***

(Inspirasi :Matius 9:1-8, 02 Juli, Suhardi )